Jemblung Sebagai Sebuah Sistem

Jemblung Sebagai Sebuah Sistem

Oleh Saptono (Dosen PS Seni Karawitan)

Teori Fungsional Struktural yakni adanya berbagai struktur dan peranan dalam masyarakat cenderung berhubungan selaras. Perspektif Fungsional Struktural sebenarnya juga menerangkan perubahan. PandanganVan den Berghe mengenai perubahan. telah merangkum menjadi 7 ciri-ciri umum perubahan dalam perspektif, yaitu:

  1. Masyarakat harus dianalisis secara keseluruhan, selaku “sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan”.
  2. Hubungan sebab akibat bersifat “jamak dan timbal balik”.(garap dialog dalam istrumen, vokal antara sindenan, senggakan
  3. Sistem sosial senantiasa bearada dalam keadaan “keseimbangan dinamis” penyesuaian terhadap kekuatan yang menimpa sistem menimbulkan perubahan minimal di dalam sistem itu.
  4. Integrasi sempurna tak pernah terwujud, setiap sistem mengalami ketegangan dan penyimpangan namun cenderung dinetralisir melalui institusional.

Hal ini yang menjadi keunikan dan identitas dalam diri jemblung. Sistem yang dibangun melalui ruang dan waktu baik dalam setiap adegan cerita maupun gending. Dalam adegan misalnya penyampaian dialog-dialog yang serius dan wigati, secara spontan atau dengan sengaja akan selalu “diganggu” oleh peran lain. Dalam ruang dan waktu sifat gangguan itu muncul dengan tujuan lawakan baik dengan kata-kata sindiran atau kritikan. Kemudian sistem yang dibangun dalam ruang (reportoar) gending, mereka bermain dalam lancaran, ladrang, ketawang, palaran, jineman, tembang macapat dan sebagainya. Contoh konkrit ketika pertunjukan Jemblung menyajikan sebuah gending, mereka bermain dalam peran instrumen tidak pernah lengkap dan utuh. Dan ini merupakan unsur sengaja dari para pelaku, karena dengan sesuka hati mereka ingin menjelajah peranan instrumen lain yang diinginkan (termasuk vokal tembang).

  1. Perubahan pada dasarnya berlangsung secara lambat, lebih merupakan proses penyesuaian ketimbang perubahan revolusioner.
  2. Perubahan adalah hasil penyesuaian atas perubahan yang terjadi di luar sistem, pertumbuhan melalui deferensi, dan melalui penemuan-penemuan internal (dari daya intelektual di dalam improfisasi atau sepontan oleh “si pengendang” yang tanpa direncanakan namun kemudian didukung oleh pemeran ricikan pemangku irama yang mendukung struktur untuk berubah seperti yang dikehendaki karena dari situasi)Misalnya dalam Jemblung ada perubahan irama(dari lancar, dadi, wilet rangkep atau sebaliknya), perubahan tempo(cepat/seseg atau lambat) mandeg berhenti belum habis di tengah-tengah gending,  karena tapsir garap
  3. Masyarakat terintegrasi melalui nilai-nilai bersama. (dalam Jemblung secara etika dan estetika sadar ada kesepakatan tentang simbol-simbol, tanda atau kyue di dalam menafsir garap “kreativitas” dari peranan si senimannya)Misalnya: sirep, udar, suwuk, buka, kalajengaken dsb.

Jemblung Sebagai Sebuah Sistem Selengkapnya

Beberapa Catatan Kecil Tentang Raden Mahyar Angga Kusumadinata (RMAK)

Beberapa Catatan Kecil Tentang Raden Mahyar Angga Kusumadinata (RMAK)

Oleh: Hendra Santosa (Dosen PS Seni Karawitan)

Rd. Mahyar Angga Kusumadinata (RMK) seorang guru musik yang tentunya sangat mengenal antara teori dan prakteknya. Ketika beliau mencoba mengiringi lagu Sunda, seperti yang dikenalnya ketika masih kecil, pikirannya agak terhenyak, karena iringan musik itu terasa tidak pas dengan lagu yang dibawakannya. Dari rasa penasaran itu, EMK kemudian mencari tahu, di mana dan bagaimana hal itu bisa terjadi. Bukankah musik barat (diatonis) bisa mengiringi lagu apa saja, karena apa yang disebut musik intinya sama, yaitu seni suara (Nano S, dalam Gelitik Dalam Karawitan Sunda seperti yang tercantum dalam  http://www. pikiran-rakyat.com/cetak/0304/09/0806.htm).

Rd. Muhyar Angga Kusumadinata yang mengenal ilmu musik dengan relung-relung hitungannya, mulai dengan ukuran centi sampai dengan interval-intervalnya, kemudian mengukur susunan tangga nada (laras) Sunda, pada waditra (instrumen) gamelan, secara cermat dan teliti. Dari telaahannya akhirnya membuahkan hasil, bahwa swarantara (interval) pada tangga nada karawitan Sunda, berbeda dengan interval musik. Mulailah beliau berguru pada seniman gamelan, sekaligus mengenal tabuh dan lagu gamelan di pendopo Kabupaten Sumedang. Dengan terjun langsung belajar, baik vokal dan tabuhannya, akhirnya Rd Muhyar AK membuat kesimpulan, bahwa antara musik dan karawitan teu harib-harib acan! (jangankan sama, dekatpun tidak-red). Itulah sekelumit uraian Rd Muhyar AK yang mengawali latar belakang mengapa beliau menggeluti karawitan Sunda, seperti yang diungkapkannya dalam buku “Pangawikan Rinengga Swara”, dan “Sari Raras”. Konon sejak tahun 1916 Rd Muhyar AK mulai merintis penelitiannya yang kemudian dikembakgkan menjadi teori karawitan Sunda. Dibuatlah serat kanayagan (notasi) Da Mi Na Ti La, yang membedakan dengan musik yang mempergunakan Do Re Mi Fa So La Ti Do. Untuk mencoba penggunaan serat kanayagan yang dibuatnya, RMK mencoba mengajarkannya kepada Abdul Gafur orang Sumatera Barat, dengan lagunya “Suba Kastawa”.  Ternyata Abdul Gafur bisa membacanya dengan baik dan legalah hatinya karena apa yang dibuatnya ternyata tidak sia-sia. Dari sana Rd Muhyar AK mulai menuliskan lagu-lagu Sunda dengan serat kanayagan ciptaannya. Tangga pada pelog ditentukan jumlahnya 9 swara. Selendro pada awalnya jumlahnya beragam, ada yang 10 swara, 15 swara, dan 17 swara. Di mana akhirnya ditetapkan bahwa tangga nada selendro jumlahnya 17 swara (musik 12 swara), (Heri Herdini, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0902/26/khazanah/utama2.htm).

Rd Muhyar AK pernah pula mencoba menulis lagu dengan angka huruf Arab, mempergunakan not balok dengan mempergunakan kunci loloran, dan akhirnya tetaplah mempergunakan angka 1 (da) 2 (mi) 3 (na) 4 (ti) 5 (la). “Daminatila” disebut nada relatif, artinya bisa berpindah-pindah, sedangkan istilah Tugu. Loloran, Panelu, Galimer dan Singgul disebut nada mutlak. Itstilah kritis dan mol pada musik, identik dengan kata miring dan malang. Dari buku nyanyian yang ditulisnya Rd Muhyar AK tidak hanya menuliskan lagu-lagu anak-anak saja, tetapi juga menulis lagu pupuh dan tembang, seperti terungkap dalam bukunya Kawih Murangkalih dan Sari Arum (Heri Herdini, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0902/26/khazanah/utama2.htm).

Selain itu beliau pun membuat beberapa lagu yang abadi dikenal sampai sekarang, di antaranya lagu “Lemah Cai” dan “Dewi Sartika”. Gamelan Ki Pembayun yang dibuatnya pada akhir taun 60-an, merupakan realisasi dari teorinya tentang lara salendro beda antara 17 swara. Sayang dokumen besar yang begitu tinggi nilainya itu, hilang tak tahu rimbanya, dan tidak ada instansi yang bertanggung jawab, padahal biaya untuk pembuatan gamelan itu didukung oleh salah satu instansi di Pemda Jabar (Heri Herdini, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0902/26/khazanah/utama2.htm).

Beberapa Catatan Kecil Tentang Raden Mahyar Angga Kusumadinata (RMAK) Selengkapnya

Pelatihan Pembelajaran Multikultural Bagi Guru-guru SMP/MTs se- Provinsi Bali Berlangsung di ISI Denpasar

Pelatihan Pembelajaran Multikultural Bagi Guru-guru SMP/MTs se- Provinsi Bali Berlangsung di ISI Denpasar

Denpasar- Sebagai salah satu tindak lanjut dari Launching dan Pengukuhan Pengurus CMC Perwakilan Denpasar tanggal 20 Mei 2008 di Denpasar, serta realisasi program kerja dan arahan dari CMC Pusat, CMC Perwakilan Denpasar akan menyelenggarakan “Pelatihan Pembelajaran Multikultural bagi Guru-guru SMP/MTs se Provinsi Bali” pada tanggal 10 Juli 2010, bertempat di Gedung Natya Mandala Kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar Jalan Nusa Indah Denpasar.

Pelatihan pembelajaran multikultural ini sejalan dengan Visi CMC yaitu terwujudnya anak-anak Indonesia dengan wawasan kebangsaan yang kuat, hidup berdampingan secara harmonis, serta saling menghormati perbedaan antar etnis, agama, bahasa, budaya, dan wilayah geografis, dalam rangka mempertahankan dan memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk mencapai visi tersebut, dirumuskan misi dan program kerja, antara lain bidang pendidikan dan pelatihan, termasuk pelatihan pembelajaran multikultural bagi guru-guru SMP/MTs.

Sementara tujuan dari pelatiha ini adalah peserta memiliki wawasan pendidikan dan pembelajaran multikultural, dapat merumuskan topik-topik dalam mata pelajaran yang bermuatan nilai-nilai multikultural, dapat membuat“Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Multikultural”, serta dapat simulasi pembelajaran multikultural.

Peserta pelatihan ini adalah guru-guru SMP/MTs yang mengajar matapelajaran yang dapat dimuati dengan nilai-nilai multikultural, misalnya Agama, PKn, Bhs. Indonesia, Kesenian, IPS SMP, serta guru-guru SMP/MTs matapelajaran lain yang berminat mempelajari pembelajaran multikultral.

Pada kesempatan itu hadir sebagai pembicara adalah Prof. Dr. Ahmad Sonhadji, M.A (Direktur CMC Pusat) dengan topik Konsep Pendidikan Multikultural dan Pembelajaran Multikultural (Multicultural Learning), dilanjutkan dengan Dr. Ni Luh Sustiawati, M.Pd (Ketua CMC Perwakilan Denpasar) dengan topik pembahasan tentang Perumusan topik-topik dalam mata pelajaran yang bermuatan nilai-nilai multikultural, dan diakhiri oleh Prof. Dr. Anak Agung Gede Agung, M.Pd, dengan topik Penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Multikultural. Setelah itu para peserta akan mengadakan simulasi pembelajaran multikultural.

Menurut Ketua CMC Perwakilan Denpasar yang juga dosen di ISI Denpasar, Dr. Ni Luh Sustiawati, M.Pd, kegiatan ini sepenuhnya didukung oleh kalangan ISI Denpasar. Rencananya kegiatan ini dibuka oleh Rektor ISI Denpasar. Pada saat panitia melakukan audiensi ke ISI Denpasar terungkap bahwa Rektor ISI Denpasar, Prof. Dr. I Wayan Rai S.,M.A., sangat mendukung kegiatan tersebut, dan akan mensupport segala kebutuhan selama pelatihan, mengingat kegiatan tersebut berlangsung di ISI Denpasar.

Humas ISI Denpasar Melaporkan

Menguak Dan Mempropokasi Persoalan Penciptaan Seni Lukis Dengan  Pendekatan Interpretasi Semantik

Menguak Dan Mempropokasi Persoalan Penciptaan Seni Lukis Dengan Pendekatan Interpretasi Semantik

Oleh: I Wayan Setem Dosen PS Seni Rupa Murni

Pengertian Semantik

Semantik yang semula berasal dari bahasa Yunani, mengandung makna to signify atau memaknai. Sebagai istilah teknis, semantik mengandung pengertian “studi tentang makna”. Dengan anggapan bahwa makna menjadi bagian dari linguistik. Seperti halnya bunyi dan tata bahasa, komponen makna dalam hal ini juga menduduki tingkat tertentu. Apabila komponen bunyi umumnya menduduki tingkat pertama, tata bahasa pada tingkat kedua, maka komponen makna menduduki tingkatan paling akhir. Hubungan ketiga kompenen itu sesuai dengan kenyataan bahwa, a) bahasa pada awalnya merupakan bunyi-bunyi abstrak yang mengacu pada adanya lambang-lambang tertentu, b) lambang-lambang merupakan seperangkat sistem yang memiliki tataan dan hubungan tertentu, dan c) seperangkat lambang yang memiliki bentuk dan hubungan itu mengasosiasikan adanya makna tertentu (Palmer, 1981 : 5).

Sejarah Semantik

Aristoteles, sebagai pemikir Yunani yang hidup pada masa 384-322 SM, adalah pemikir pertama yang menggunakan intilah “makna” lewat batasan    pengertian kata yang menurut Aristoteles adalah “satuan terkecil yang mengandung makna”. Dalam hal ini, Aristoteles juga telah mengungkapkan bahwa makna kata itu dapat dibedakan antara makna yang hadir dari kata itu sendirisecara otonom, serta makna yang hadir akibat terjadinya hubungan gramatikal (Ullman, 1977: 3). Bahkan Plato (429-347 SM) dalam Cratylus mengungkapkan bahwa bunyi-bunyi bahasa itu secara implicit mengandung makna-makna tertentu. Hanya saja memang, pada masa itu batas antara etemologi, studi makna, maupun studi makna kata, belum jelas.

Pada tahun 1825, seorang berkebangsaan Jerman, C. Chr. Reisig, mengemukakan konsep baru tentang grammer yang menurut Reisig meliputi tiga unsur utama, yakni 1) semasiologi: ilmu tentang tanda, 2) sintaksis: studi tentang kalimat, serta 3) etimologi: studi tentang asul-usul kata se-hubungan perubahan bentuk maupun makna. Pada masa ini, istilah semantik itu sendiri belum digunakan meskipun studi tentangnya sudah dilaksanakan. Sebab itulah, masa tersebut oleh Ullman disebut sebagai masa pertama pertumbuhan yang diistilahkan underground period (Aminuddin, 1988: 16).

Masa kedua pertumbuhan simantik telah ditandai oleh kehadiran karya Michel Breal (1883), seorang berkebangaan Prancis, lewat artikelnya berjudul “Les Lois Intellectuelles du Langage”. Pada masa itu, meskipun Breal telah jelas menyebut-kan semantic sebagai bidang baru dalam keilmuan, dia seperti halnya Reisig, masih menyebut semantuk sebagai limu yang murni – histories. Dengan kata lain, studi semantic pada masa itu lebih banyak berkaitan dengan unsur-unsur di luar bahasa itu sendiri, misalnya bentuk perubahan makna, latar belakang perubahan makna, hubungan perubahan makna dengan logika, psikologi maupun sejumlah kreteria lainnya. Karya klasik Breal dalam bidang semantic pada akhir abad XIX itu adalah Essai de semantic period (Aminuddin, 1988: 16).

Menguak Dan Mempropokasi Persoalan Penciptaan Seni Lukis Dengan  Pendekatan Interpretasi Semantik Selengkapnya

Desain Interior Rumah Tinggal Tradisional Bali Madya

Desain Interior Rumah Tinggal Tradisional Bali Madya

Oleh: Drs. I Gede Mugi Raharja, MSn Dosen Program Studi Desain Interior

Desain interior berarti rancangan ruang dalam. Tetapi dalam konsep arsitektur tradisional Bali Madya konsep desain interior, juga dapat berarti rancangan “ruang di dalam ruang” (space ini space)  pada area rumah tinggal. Berdasarkan data yang kami peroleh dan bahas, maka hasil penelitian dapat kami jelaskan sebagai berikut.

1. Pola Zonasi

Pola zonasi rumah tinggal era Bali Madya memiliki pola teratur, dengan konsep ruang sanga mandala, yang membagi pekarangan menjadi 9 bagian area (pah pinara sanga sesa besik). Tata nilai ruangnya ditata dari area atau zona Utamaning utama sampai zona Nistaning nista untuk bangunan paling provan. Jadi konsep zonasi unit bangunan di dalam pekarangan rumah tradisional Bali Madya, ditata sesuai dengan fungsi dan nilai kesakralan dari unit bangunannya. Zona parahyangan untuk tempat suci, zona pawongan untuk  bangunan rumah dan zona palemahan untuk kandang ternak, teba dan tempat servis/ pelayanan. Filosofi Trihitakarana sangat jelas diterapkan pada sonasi ruang rumah tinggal era Bali Madya, karena zona ruangnya telah didesain agar keselarasan hubungan antara manusia dengan Tuhan, dengan sesama dan ala lingkungan tetap terjaga, sehingga pemilik dan pemakai bangunan memperoleh keselamatan, kedamaian dan kesejahteraan.

2. Pola Sirkulasi

Desain pola sirkulasi pada rumah tinggal tradisional Bali Madya adalah dari pintu masuk/angkul-angkul menuju dapur (paon), yang memiliki makna sebagai tempat untuk membersihkan segala hal buruk yang terbawa dari luar rumah, kemudian baru dapat memasuki bangunan-bangunan lainnya, seperti ke Bale Dauh, Bale Gede/Dangin, Meten/Gedong dan bangunan lainnya. Sedangkan pola religiusnya dimulai dari Sanggah/Merajan, baru kemudian ke Bale Meten/Bale Daja, Bale Gede/dangin, Bale Dauh, Paon, Jineng, Penunggun Karang, Angkul-angkul dan bangunan tambahan lainnya. Proses aktivitas yang dimulai dari tempat suci ini dilakukan pada saat upacara secara tradisional Bali.

Desain Interior Rumah Tinggal Tradisional Bali Madya Selengkapnya

Loading...