Tradisi Gebug Ende

Tradisi Gebug Ende

Oleh: I Gede Suwidnya (Mahasiswa PS Seni Karawitan)

Musim kemarau kala itu di desa Seraya Karangasem belum berahir.Hujan yang dinanti-nanti berlum juga menunjukkan tanda-tanda akan turun.Bagi masyarakat di desa Seraya kondisi ini sangat tidak menguntungkan.Mereka juga ingin merasakan tanah mereka diguyur hujan meski berada pada daerah kering.Terutama bagi mereka yang berprofesi sebagai petani.Tentunya masyarakat di daerah tersebut tidak akan tenang dan bissa diam dengan keadaan seperti itu.

Ahirnya mereka melakukan suatu rapat untuk menjalankan suatu tradisi yang sangat sakral yang mungkin dapat mengatasi masalah kemarau yang berkepanjangan.Dari hasil paruman desa,tercetuslah ide untuk melaksanakan ritual yang bernama “GEBUG ENDE”.

Gebug Ende adalah salah satu tradisi yang unik dan diyakini oleh masyarakat sekitar dapat membantu masalah mereka mengatasi masalah kemarau yang berkepanjangan,tentunya tradisi ini sudah berjalan lama secara turun temurun dan menjadi kepercayaan masyarakat setempat.

Pengertian Gebug Ende :

Istilah Gebug Ende dikenal juga dengan nama Gebug Seraya.Gebug Ende berasal dari kata Gebug dan Ende,Gebug berarti memukul  dan Ende berarti alat yang digunakan untuk menangkis (tameng).Alat yang digunakan untuk memukul adalah rotan dengan panjang sekitar  1,5 centi meter hingga 2 meter.Sedangkat alat untuk menangkisnya terbuat dari kulit sapi yang dikeringkan dan dianyam berbentuk lingkaran.Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Tari Gebug Ende merupakan salah satu tarian/permainan yang menjadi tradisi masyarakat Seraya yang dimainkan oleh dua orang lelaki baik dewasa maupun anak-anak yang sama-sama membawa ende dan penyalin,dimana pemainnya saling memukul dan menyerang.Tehnik yang dibutuhkan adalah memukul dan menangkis.

Tradisi Gebug Ende Selengkapnya

Bentuk, Fungsi dan Material Bangunan Rumah Tinggal Tradisional Bali Madya I

Bentuk, Fungsi dan Material Bangunan Rumah Tinggal Tradisional Bali Madya I

Oleh Drs. I Gede Mugi Raharja, MSn

a.  Struktur Badan dan Atap Bangunan

Bentuk dan struktur badan bangunan rumah tinggal Bali Madya sebelumnya dibuat sederhana dengan pola-pola bebaturan yang sederhana.  Bentuk segi empat dan segi empat panjang adalah bentuk yang paling banyak digunakan sebagai bangunan induk rumah tinggalnya. Sebahagian besar bentuk atap bangunannya menggunakan bentuk limasan dan beberapa menggunakan bentuk atap pelana seperti untuk bangunan paon/dapur.

Struktur badan bangunan tradisional Bali sebagian besar menggunakan tiang (sesaka) yang terbuat dari kayu, begitu juga halnya dengan struktur atap menggunakan bahan kayu yang dikombinasikan dengan bambu. Kayu yang digunakan memiliki kualifikasi atau jenis tertentu pada setiap jenis bangunan di Bali, misalnya : kayu cendana, menengen, cempaka, kuanitan dan majegau dipergunakan pada bangunan suci (Sanggah/Merajan/Pura). Kayu ketewel, teger, bendu, sentul, sukun, seseh dan timbul dipergunakan untuk bangunan bale pada rumah tinggal. Sedangkan untuk bangunan lumbung (jineng) dan dapur (paon) mempergunakan kayu wangkal, kutat, blalu, sudep, seseh dan buhu.

Untuk studi kasus di lapangan, peneliti mendapatkan bahwa bangunan suci terbuat dari kayu dan bambu. Kerangka tiang menggunakan kayu dengan konstruksi rangka dan sunduk serta pasak (lait). Kerangka atapnya menggunakan kayu dan bambu khususnya untuk iga-iga-nya.

Bentuk, Fungsi dan Material Bangunan Rumah Tinggal Tradisional Bali Madya I Selengkapnya

Catur Muka Swara Bergema Diajang Parade PKB XXXII 2010

Catur Muka Swara Bergema Diajang Parade PKB XXXII 2010

Oleh: Ni Putu Tisna Andayani, Dosen PS Seni Karawitan

Perhelatan besar Pesta Kesenian Bali ke XXXII mengambil tema ” Sudamala ” yang berarti ”Mendalami Kemurnian Nurani” menyajikan berbagai bentuk kesenian tradisional yang tidak hanya khas Bali namun juga kesenian tradisional lainnya dari wilayah Indonesia maupun dari Mancanegara pun ikut berpartisipasi. Salah satu diantaranya ditampilkan Parade Lagu Daerah Bali di ajang PKB.

Untuk itu ”Catur Muka Swara” yang merupakan duta kota Denpasar juga ikut mengambil bagian pada ajang Parade Lagu Daerah Bali yakni tepatnya pada hari  Kamis, 24 Juni 2010. Grup Band Catur Muka Swara yang terbentuk sejak tahun 1998 ini tidak pernah  melewatkan kesempatan setiap tahunnya untuk  tampil di ajang Pesta Kesenian Bali. Maka dari itulah kegiatan Parade Pop Daerah Bali Kota Denpasar kali ini yang berada dibawa arahan Bapak I Nyoman Astita, MA selaku penanggung jawab kegiatan adapula I Komang Darmayuda, S.Sn, M.Si., Ni Wayan Ardini S.Sn, M.Si dan I Ketut Sumerjana S.Sn selaku Pembina dimana notabene mereka semua tercatat sebagai Dosen di Jurusan Karawitan ISI Denpasar terus berusaha untuk melestarikan kesenian olah vokal dan musik melalui Catur Muka Swara. Baik itu dari segi musikalitas maupun penampilannya diatas panggung. Selain kerja keras dari para Pembina dan Penyanyi dimana dalam kurun waktu yang cukup singkat akhirnya dapat menampilkan sesuatau yang berbeda dari peserta parade lainnya walaupun dengan properti yang cukup minim dan jauh dari kesan glamour namun tetap elegan. Hal ini juga tidak terlepas dari peran koreographer dan penata costume Ni Made Wulan Tisandi,SS yang sangat jeli dalam pemilihan materi untuk costume dan juga apik menggabungkan gerakan-gerakan tari dengan musik iringan yang telah diaransemen dan disajikan dengan apik oleh para musisi handal Kota Denpasar diantaranya Gus Jack Suparwata (Guitarist), Wing Wiryawan (Bassist), Gung Gus (Drumer), Kt. Sumerjana (Keyboard 1), Dewa Pangkwala (Keyboard 2) serta didukung pula oleh mahasiswa jurusan Karawitan ISI Denpasar yakni Yuliarta & Tissen pada kendang, serta siswa SMA & SMP kota Denpasar Ade & Aditya pada Gamelan.

Catur Muka Swara diharapkan menjadi andalan Pemkot Denpasar di dalam melestarikan dan mengembangkan seni musik, khususnya lagu-lagu daerah Bali di bawah koordinasi Dinas Kebudayaan Pemerintah Kota Denpasar. Kegiatan ini tentunya diharapkan dapat meneruskan kesenian olah vokal dan musik di Kota Denpasar serta digunakan sebagai tolok ukur agar generasi-generasi muda kota Denpasar dapat terus berkarya dan berkreativitas di bidang Seni sesuai dengan tujuan Kota Denpasar yakni menciptakan Kota yang berwawasan Seni Budaya. Menurut pengamatan dari Dosen berprestasi ISI Denpasar 2010 Ni Wayan Ardini, S.Sn, M.Si., ia lebih menyoroti pergeseran Lagu Pop Bali versi PKB saat ini sudah megalami pergeseran yang tadinya sangat kuat menggunakan Laras Pelog & Slendro namun saat ini condong lebih mengarah ke ” Guruh-guruhan ” (versi Guruh Soekarno Poetra). Ia juga menyinggung tentang pengaruh teknologi yang juga memberikan dampak yang cukup signifikan dan merugikan bagi perkembangan Lagu daerah Bali terutama dalam ajang PKB. Perlu dikaji lebih mendalam lagi baik dari segi koreografi, musik dan aransemen lagu sehingga tidak terjadi hal-hal yang dikenal dengan Plagiarisme. Hal ini membunuh secara perlahan-lahan kreativitas para arranger maupun koreographer padahal justru di ajang-ajang seperti inilah seharusnya mereka berani untuk menampilkan kreativitasnya dan style-nya masing-masing imbuhnya. Ardini juga berharap agar musisi-musisi handal Bali yang sudah sukses di ajang-ajang nasional dapat ikut terlibat dalam Pesta Kesenian Bali sehingga dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan bermusik para generasi muda Bali.

Catur Muka Swara Bergema Diajang Parade PKB XXXII 2010 Selengkapnya

LOMBA KARIKATUR

LOMBA KARIKATUR

PENGUMUMAN

Dalam rangka DIES NATALIS ISI Denpasar, tanggal 28 Juli 2010, FSRD akan mengadakan lomba karikatur. Lomba ini diperuntukan bagi masyarakat umum dan siswa SMU se-kota Denpasar. Khusus bagi siswa SMU pendaftaran dilakukan melalui sekolah masing-masing.

Tema :

“SENI BUDAYA SEBAGAI KARAKTER BUDAYA BANGSA”

Karikatur merupakan hasil karya peserta, bukan hasil karya orang lain.

Karikatur belum pernah diperlombakan atau tidak sedang diikutkan pada perlombaan yang lain.

Karikautr tidak boleh mengandung SARA dan unsur fornografi.

Karikatur dibuat hitam putih pada kertas A3 (29,7×42 cm).

Tidak dibenarkan menggambar dengan menggunakan pensil.

Hasil gambar dibuat dengan tinta warna hitam, spidol, dll.

Karikatur yang dibuat harus sesuai dengan tema yang telah ditentukan.

Calon peserta mendaftarkan diri dengan cara :

  1. Datang langsung ke kantor Fakultas Seni Rupa dan Desain, Jl. Nusa Indah Denpasar, Telp. (0361) 227316, fx (0361) 236100.
  2. Melalui kontak person : Gung Yonari (081916544928).
  3. Mengambil formulir pendaftaran yang tersedia pada kampus dan pelaksanaan kegiatan dilaksanakan tanggal 19 Juli 2009 jam 08.00 wita di depan kampus FSRD.
  4. Pengumuman pemenang akan diumumkan 26 Juli 2009.

Juara I    : Piagam + Piala

Juara II   : Piagam + Piala

Juara III : Piagam + Piala

Gamelan Gender Wayang Dalam Konteks Etnomusikologi

Gamelan Gender Wayang Dalam Konteks Etnomusikologi

Oleh I Wayan Diana (Mahasiswa PS Seni Karawitan)

Etnomusikologi sebagai disiplin ilmu musik yang unik. Etnomusikologi mempelajari musik dari sudut pandang sosial dan kebudayaan. Istilah “etnomusikologi” pertama dikemukakan oleh ahli musik berkebangsaan Belanda yang bernama Jaap Kunst (1950). Seorang pakar etomusikologi barat yang bernama Mantle Hood menyatakan bahwa penelitian etnomusikologi merupakan studi musik dari berbagai bangsa yang ditinjau dari konteks sosial dan kebudayaan. Musik itu dipelajari melalui peraturan-peraturan tertentu yang dihubungkan dengan bentuk kesenian lainnya; seperti tari, drama, arsitektur, dan ungkapan kebudayaan lain termasuk bahasa, agama, dan filsafat (I Made Bandem, Etnomusikologi Penyelamat Musik Dunia, ISI Yogyakarta, 1987 : hal.1.). Begitu juga halnya gamelan Gender Wayang sebagai salah satu alat musik tradisional Bali dalam jangkauan ilmu etnomusikologi tidak saja hadir sebagai sebuah bagian dari musik itu sendiri, melainkan sebagai bagian dari kebudayaan yang menyangkut kearifan lokal (local genius) masyarakat pendukung, agama, dan tatanan falsafat sesuai tempat, waktu, dan situasi (desa, kala, patra) dari tempat tumbuh kembangnya gamelan Gender Wayang itu sendiri.

Jika dicermati lebih dalam lagi, gamelan Gender Wayang selain ditinjau dari unsur musikologinya mampu hadir sebagai identitas budaya Bali, kalau berbicara dalam konteks budaya sebagai penanda jati diri suatu daerah. Budaya orang Bali begitu kental dengan sebuah tatanan, aturan, etika, dan susila dengan toleransi yang sangat tinggi, dan semua itu apabila dikaitkan dengan gamelan Gender Wayang, maka akan terlihat sebuah persamaan dari dimensi yang berbeda sebab budaya orang Bali yang penuh dengan kearifan, kesantunan, dan kelembutan seperti sebuah refleksi dari untaian-untaian nada slendro yang memiliki kesan dan karakter anggun, tenang, dan damai. Kedamaian, anggun, dan kesan tenang dari suara yang ditimbulkan oleh gamelan gender wayang menjadikan salah satu faktor penyebab dan pembentuk manusia Bali dengan budayanya yang penuh dengan tatanan, etika, aturan, susila, dan toleransi tinggi.

Dari tinjauan filsafat, merupakan sebuah pengungkapan suatu yang hakiki dari sebuah nilai (I Ketut Gede Asnama, MA, Facebook, 31 Januari 2010), gamelan Gender Wayang kaya akan nilai-nilai adi luhung berkenaan dengan konteks filsafat apabila dikaitkan dengan konteks musikologinya, salah satunya adalah tertanamnya sebuah konsepsi bayu, sabda, dan idep atau energi/tenaga, ungkapan/kesan, dan pikiran/konsep. Dalam konteks bayu yaitu energi tenaga dari Gender Wayang yang memiliki sebuah energi tenaga sangat halus dan lembut apabila ditinjau dari countur atau efek dari suara slendro dari instrument Gender Wayang. Namun dibalik kesan halus dan lembut, tersimpan sebuah kekuatan atau energi yang sangat besar menghentakkan rohani apabila ditinjau dari sebuah kepekaan rasa.

Gamelan Gender Wayang dalam Konteks Etnomusikologi Selengkapmnya

Loading...