Cinta Si Elok Legong Bertepuk Sebelah Tangan

Cinta Si Elok Legong Bertepuk Sebelah Tangan

Oleh Kadek Suartaya, Dosen PS Seni Karawitan

Masyarakat mancanegara telah mengenal legong sebagai seni tari dari Pulau Dewata. Terminologi kesenian bangsa-bangsa menempatkan legong sebagai seni tari yang luwes gemulai dalam pangkuan gemerincing gamelan yang renyah dinamis. Seni pertunjukan yang seutuhnya merupakan rajutan estetika tari ini menggapai puncak kejayaannya para era kerajaan Bali. Saat itu beberapa kerajaan besar di Bali menjadikan legong sebagai seni kesayangan sekaligus gengsi para penguasa. Namun sejak pupusnya patronisasi puri-puri oleh terjangan kolonalisme, legong yang juga lazim disebut legong keraton, secara perlahan kian redup binarnya. Masyarakat Bali masa kini umumnya tak memiliki ikatan estetik-emosional dengan si elok legong.

Namun kemilau seni tari yang biasanya dibawakan para gadis belia ini bagai mutiara yang sedang berbalut lumpur. Sebab konsep estetik legong masih menjadi acuan dalam penciptaan seni tari. Nilai artistik yang menjadi aura legong tetap mengundang inspirasi kreator tari Bali masa kini. Tengoklah, misalnya, tari “Nara Simha“ garapan I Gusti Agung Ayu Savitri. Dalam pentas ujian akhirnya di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Senin (24/5) malam lalu, koreografer muda yang tak lain dari cucu maestro legong I Gusti Raka Saba (almarhum) ini dengan meyakinkan menyajikan koreografi pelegongan, karya tari yang dikembangkan berdasarkan konsep estetika legong.

Pola-pola klasik legong bukan hanya menjadi orientasi kreatif Ayu Savitri. Dalam ujian akhir ISI yang banyak menyedot perhatian penonton itu ada pula Komang Ari Wisa Kendraniati yang kebincut dengan bingkai keindahan tari yang muncul di Sukawati pada akhir abad ke-19 ini. Rabu (26/5) malam, gadis asal Tabanan ini menyuguhkan kreasi pelegongan dengan tajuk “Satya Jayanthi”. Jika Savitri bertutur tentang penumpasan keangkaramurkaan Hiraniakasipu oleh titisan Wisnu, Kendraniati berkisah tentang perjalanan Yudhistira ke sorga untuk mencari dan membuktikan kebenaran sejati.

Konsep estetik legong dengan kompleksitas tari dalam ikatan iringan gamelannya  memang dapat membawakan beragam lakon. Demikian pula kreasi pelegongan yang belakangan telah ratusan digarap, berangkat dengan aneka tema dari berbagai sumber cerita. Masyarakat Bali dapat menyimak geliat kreasi pelegongan tersebut di arena Pesta Kesenian Bali (PKB). Dalam mata acara pagelaran festival atau parade Gong Kebyar, greget  kreasi pelegongan merupakan bentuk seni pentas yang pernah beberapa kali diwajibkan untuk diketengahkan. Selain dalam ajang PKB, ujian-ujian akhir di ISI Denpasar juga telah banyak menelorkan kreasi pelegongan.

Cinta Si Elok Legong Bertepuk Sebelah Tangan Selengkapnya

Seniman Bali Disayang Gubernur Dan Presiden

Seniman Bali Disayang Gubernur Dan Presiden

Oleh Kadek Suartaya, Dosen Program Studi Seni Karawitan

Di tengah perhelatan Pesta Kesenian Bali (PKB) tahun 1990 silam, Ni Ketut Cenik, seorang penari sepuh tampil energik. Membawakan tari Joged, seniwati asal Desa Batuan, Sukawati, Gianyar, itu mengundang Gubernur Bali Ida Bagus Oka untuk ngibing ke atas pentas.  Gubernur Oka tanpa sungkan-sungkan menimpali gelinjang Ni Cenik dengan tak kalah tangkas dan jenakanya.  Para undangan dan penonton yang hadir di panggung Ksiarnawa pada malam itu, tampak begitu terharu menyaksikan kepiawaian dan semangat yang ditampilkan  Cenik dan perhatian sungguh-sungguh yang diperlihatkan seorang gubernur. Acara yang disebut “Pemberian Penghargaan Kepada Seniman Tua”  tersebut diteruskan hingga kini.

Berkaitan dengan PKB ke-32, Senin (21/6) malam lalu, sembilan seniman tua dari kabupaten/kota dihadirkan di Taman Budaya Bali untuk menerima penghargaan dari pemerintah atas pengabdian dan dedikasinya melestarikan dan mengawal kesenian Bali. Para seniman tari, karawitan, dan pedalangan yang rata-rata berusia 60-an tahun itu tampak terharu menerima penghargaan yang diserahkan oleh Wakil Guberbur Bali Anak Agung Puspayoga. Mereka, para pendekar kebudayaan itu, diterpa rasa haru, mungkin karena jagat seni yang mereka lakoni selama ini bukan dunia yang sarat pretensi melainkan sebuah bagian dari kehidupan yang berkeadaban.

Kesenian adalah sebuah representasi dari peradaban. Para seniman merupakan insan-insan kebudayaan terdepan yang mengisi kehidupan dengan nilai-nilai keindahan seni. Melalui karsa, cipta dan karyanya, harkat sebuah bangsa, komunitas,  kampung atau banjar ditenun menjadi sehelai jati diri. Sebagai kontributor terdepan kebudayaan, para seniman dengan keseniannya, sejak dulu selalu berinteraksi dengan bidang-bidang kehidupan yang lainnya seperti sosial politik dan ritual keagamaan. Ada kalanya dalam suatu masa keemasan, para seniman diposisikan begitu mulia serta strategis dan ada kalanya dalam saat-saat genting posisi mereka tersudut tragis.

Peran para seniman Bali sangat dipuja puji pada era kejayaan kerajaan sejak zaman pemerintahan Dalem Waturenggong pada abad ke-16. Setelah berada dalam posisi yang gamang pada masa penjajahan, era kemerdekaan memberikan kesempatan kalangan seniman untuk mereposisi diri. Kendati sempat terombang-ambing pada zaman Orde Lama dan awal Orde Baru, namun tahun 1970-an dirasakan berhembusnya angin segar bagi para seniman Bali. Semilir angin sejuk itu terutama sejak ditancapkannya tonggak penting berkesenian dalam skala Bali yaitu PKB pada tahun 1978 oleh gubernur Bali kala itu, Ida Bagus Mantra. Tak sedikit yang dengan sumeringah membanggakan PKB sebagai kebangkitan kesenian Bali.

Seniman Bali Disayang Gubernur Dan Presiden Selengkapnya

Cak Wanita ‘Bungan Sandat’ Membuat Penonton Berdecak Kagum

Cak Wanita ‘Bungan Sandat’ Membuat Penonton Berdecak Kagum

Denpasar– Setelah sukses menampilkan Cak Wanita pada peringatan hari Kartini beberapa waktu lalu, Cak Wanita Bungan Sandat ISI Denpasar tampil memukau dalam ajang bergengsi Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-32, pada 1 Juli 2010. Kelompok cak wanita yang beranggotakan ibu-ibu Darma Wanita Persatuan (DWP) ISI Denpasar tampil percaya diri di panggung Kesirarnawa Taman Budaya Denpasar. Yang menjadikan cak ini tampil berbeda dari biasanya adalah dengan menyelipkan tetembangan dalam setiap sela-sela pementasan, bahkan ada pesan yang disampaikan lewat bebondresan dengan iringan geguntangan. Sementara keindahan wanita diispirasikan lewat pembentukan formasi bunga-bunga disela-sela penampilan cak dengan menggunakan media kipas. Selain itu kemasan bondres dibuat kocak, yang menjadikan paket cak ini sangat menarik. Dalam bondres disampaikan bahwa wanita dalam hal ini ibu memiliki peranan yang besar dalam membina rumah tangga. Selain sebagai seorang ibu, dia juga memiliki mandat untuk mengarahkan suami agar bertindak pisotif. Cerita dalam garapan ini dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari, diantaranya pertenggaran kecil terjadi dalam rumah tangga karena sang suami terlalu mabuk akan judi tajen. Sang istri terus berupaya untuk menyakinkan sang suami agar tidak hanyut dalam permainan judi yang pasti merugikan. Namun suami tidak mempedulikan pesan istri hingga akhirnya karma menimpa suami. Pesan-pesan singkat lewat lawakan menjadikan suasana begitu mencair. Apalagi adegan metajen sang suami benr-benar diperankan secara alami. Tak ayal ayam asli pun masuk ke ranah panggung untuk tampil mendukung pementasan. sontak polah tingkah ayampun menarik perhatian penonton. Termasuk diantaranya Kepada Dinas Kebudayaan, Kepala UPT Taman Budaya, Ibu Wagub, Bintang Puspayoga serta undangan lainnya. Ide yang digagas oleh Koordinator Asti Pertiwi (Skaa tabuh wanita ISI Denpasar), Ni Ketut Suryatini, M.Sn ini sangat didukung oleh Ketua Darma Wanita ISI Denpasar, I Gusti Ayu Srinatih, S.ST., M.Si. Menurutnya kegiatan ini sangat penting untuk menjalin keakraban dan kebersamaan antar anggota.

Sebagai acara pembuka untuk menyambut kedatangan tamu-tamu serta penonton, seniman-seniman cilik yang tergabung dalam Sanggar Karawitan Gangsa Dewa, dengan lihai memainkan alat musik gender. Tiga puluh enam penabuh yang rata-rata berusia sekitar 7 sampai dengan 13 tahun ini memaikan gending tabuh yang berjudul tulang lindung, seketi, Sekar Taman, Cucuk Punyah, Merak Nyelo, serta Cecek Megelut. Menurut Pembina Ni Ketut Suryatini yang juga dosen Karawitan ISI Denpasar, anak-anak ini berlatih secara intensif 2 kali dalam seminggu. Mereka sangat antusias untuk belajar gender, walaupun ada kesan bermain gender itu sulit. Namun dengan metode dan teknik pengajaran yang menarik menjadikan mereka tertarin untuk belajar bermain gender. Kini keanggotaan sanggar sudah ada sekitar 60 peserta. Rencananya kedepan akan membuat konser gender khusus anak-anak. Dengan memberikan kesempatan kepada mereka untuk turut tampil dalam ajang bergengsi ini, maka dapat memotivasi generasi lain untuk berkarya.

Humas ISI Denpasar melaporkan

Ulasan Karya Serikat Serangga  Dalam Penciptaan Seni Kriya II

Ulasan Karya Serikat Serangga Dalam Penciptaan Seni Kriya II

Oleh:  I Nyoman Suardina, S.Sn.,Msn.

Judul Karya Sang Sutradara. Medium: kayu. Shape: kayu mahoni, batok kelapa, lem, dan bahan-bahan finishing. Subject Matter (materi subjek): dua ekor nimfa undur-undur, empat buah segi tiga berderaf, dan sebuah bola bertekstur. Display: sebagai karya mandiri di atas pustek. Dimensi/Ukuran: 55 X 20 X 63 Cm.

Struktur:

Karya yang dibuat bermatra tiga dimensional, dibentuk dan berdiri ditopang sepasang kaki undur-undur yang menghimpit derap segi tiga, menyangga keseluruhan karya dengan kokoh. Dekoratif pahatannya sangat menonjol, untuk menampilkan greget makna yang disampaikan. Tiga segi tiga tersusun seirama, serta tekstur pusaran yang menggambarkan abstraksi rumah undur-undur. Segi tiga kecil untuk mengharmoniskan koposisi, dan sebagai landasan bola dunia.

Analisis Simbolik:

Judul ini mengisyaratkan bahwa hidup adalah juga suatu  panggung permainan, dimana setiap individu memainkan kartu hidupnya, sebagai igur, dan sebagai sutradara. Inspirasinya dari  nimfa undur-undur, bagaimana mereka menggali lobang di pasir, bersembunyi di dalamnya, menunggu mangsa dan memainkan pasir untuk menangkap mangsanya. Demikian pula dalam kehidupan, manusia selalu terlibat dalam permainan, memperjuangkan sesuatu, menciptakan sesuatu, menawarkan, menyembunyikan, berpura-pura sampai dengan aksi tipu-metipu, adalah suatu dinamika dalam kehidupan.

Deskripsi Karya:

Judul Karya Keindahan dan kematian. Medium: kayu. Shape: kayu mahoni, kayu sonokeling, batok kelapa, lem, dan bahan-bahan finishing. Subject Matter (materi subjek): dua ekor ngengat sedang kawin, menghimpit sebuah segi tiga meninggi. Dua buah segi tiga kecil menempel di kedua sisi sebagai penyeimbang komposisi. Dua buah motif berpilin meliuk dari perut kedua ngengat, menjadi satu (kenikmatan). Display: sebagai karya mandiri di atas pustek. Dimensi/Ukuran:55 X 25 X 76 Cm.

Struktur karya:

Karya yang dibuat bermatra tiga dimensional, dibentuk dan berdiri di antara dua sudut segi tiga dan perut ngengat. Perut ngengat dibuat melingkar-lingkar melambangkan keterikatan nafsu, dihubungkan dengan motif berpilin menjadi satu kearah puncak kenikmatan. Segi tiga yang melatar belakangi merupakan hamparan layar tanpa tekstur, lambang  kekosongan makna kehidupan.

Ulasan Karya Serikat Serangga  Dalam Penciptaan Seni Kriya II Selengkapnya

Proses Pembuatan Gerabah

Proses Pembuatan Gerabah

Oleh: Drs. I Wayan Mudra, M.Sn.

Proses pembuatan gerabah pada dasarnya memiliki tahapan yang sama untuk setiap kriyawan. Demikian juga halnya dengan proses pembuatan gerabah yang dipasarkan di Bali, yang membedakan adalah perbedaan alat yang dipakai dalam proses pengolahan bahan dan proses pembentukan /perwujudan. Perbedaan alat merupakan salah satu faktor penyebab perbedaan kualitas akhir yang dicapai oleh masing-masing kriyawan. Misalnya dalam proses pembentukan badan gerabah dengan teknik putar, ada kriyawan yang menggunakan alat tradisional dengan tenaga gerak kaki atau tangan, sementara kriyawan yang sudah lebih maju ada menggunakan alat putar dengan tenaga listrik (electrick wheel). Kelebihan alat yang kedua dibandingkan yang pertama adalah lebih stabil dalam pengoperasiannya serta lebih efesien dalam waktu dan tenaga.  Perbedaan alat tersebut dapat dilihat pada contoh berikut.

Tahapan proses pembuatan gerabah  :

  1. a. Tahap persiapan

Dalam tahapan ini yang dilakukan kriyawan adalah :

1).     Mempersiapkan bahan baku tanah liat (clay) dan menjemur

2).     Mempersiapkan bahan campurannya

3).     Mempersiapkan alat pengolahan bahan.

  1. b. Tahap pengolahan bahan.

Pada tahapan ini bahan diolah sesuai dengan alat pengolahan bahan yang dimiliki kriyawan. Alat pengolahan bahan yang dimiliki masing-masing kriyawan gerabah dewasa ini banyak yang sudah mengalami kemajuan jika dilihat dari perkembangan teknologi yang menyertainya. Walaupun masih banyak kriyawan gerabah yang masih bertahan dengan peralatan tradisi dengan berbagai  pertimbangan dianggap masih efektif.  Pengolahan bahan ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pengolahan bahan secara kering dan basah. Pada umumnya pengolahan bahan gerabah yang diterapkan kriyawan gerabah tradisional di Indonesia adalah pengolahan bahan secara kering. Teknik ini dianggap lebih efektif dibandingkan dengan pengolahan bahan secara basah, karena waktu, tenaga dan biaya yang diperlukan lebih lebih sedikit. Sedangkan pengolahan bahan dengan teknik basah biasanya dilakukan oleh kriyawan yang telah memiliki peralatan yang lebih maju. Karena pengolahan secara basah ini akan lebih banyak memerlukan peralatan dibandingkan dengan pengolahan secara kering. Misalnya : bak perendam tanah, alat pengaduk (mixer), alat penyerap air dan lain-lain.

Proses Pembuatan Gerabah selengkapnya

Loading...