Posisi Kesenian Tradisonal dalam persfektif Adat dan Agama Masyarakat Minangkabau

Posisi Kesenian Tradisonal dalam persfektif Adat dan Agama Masyarakat Minangkabau

Oleh Wardizal Dosen PS Seni Karawitan

Seni sebagai salah satu bentuk ekspresi dari rasa, cipta dan karsa umat manusia, sudah sejak lama menjadi bagian penting di tengah kehidupan masyarakat. Dalam kehadirannya, seni difungsikan untuk berbagai kepentingan baik pada hal-hal yang bersifat ritual (keagamaaan), adat-istiadat, sosial kemasyarakatan maupun sebagai persentasi estetis masyarakat pendukungnya. Di tengah kehidupan sosio kultural masyarakat Minangkabau, keberadaan suatu bentuk kesenian sangat erat kaitannya dengan adat, sehingga ia diatur (dimasukan) ke dalam undang-undang adat. Undang-undang yang mengatur tentang kesenian tersebut terdapat dalam undang-undang IX (sembilan) pucuk, yaitu:

  1. Undang-undang yang takluk kepada raja
  2. Undang-undang yang takluk kepada ulama
  3. Undang-undang yang takluk kepada penghulu
  4. undang-undang yang takluk kepada pakaian
  5. undang-undang yang takluk kepada permainan
  6. undang-undang yang takluk kepada bunyi-bunyian
  7. undang-undang yang takluk kepada ramai-ramaian
  8. undang-undang yang takluk kepada kebesaran ulama
  9. undang-undang yang takluk kepada hukum (Batuah, 1986:100)

Dari sembilam pucuk undang-undang yang disebutkan di atas, yang menyangkut undang-undang tentang kesenian yaitu undang-undang nomor lima, enam dan tujuh. Begitu kuatnya hubungan antara kesenian dengan adat, sehingga kesenian dcijadikan bunga adat. Maksudnya, setiap pelaksanaan upacara adat hampir selalu dimeriahkan pertunjukan kesenian tradisonal. Hubungan antara kesenian dengan adat tersebut, tercermin dalam mamangan adat Minangkabau yang berbunyi:

Kalau alam alah takambang

Marawa tampal takiba

Aguang tampak tasangkuik

Adaik badiri di nagari

Silek jo tari kabungonyo

(Kalau alam telah berkembang

Marawa kelihatan berkibar

Gong kelihatak terangkut

Adat berdiri di negeri

Silat dan tari jadi bunganya)

Untuk melacak hubungan ini cukup sulit, karena tidak ada penjelasan lebih lanjut sejauh mana undang-undang IX (sembilan) pucuk tersebut mengatur segala sesuatunya tentang keberadaan dan fungsi suatu bentuk kesenian tradisonal di Minangkabau. Kenyataan yang ditemui di tengah-tengah masyarakat, kesenian boleh disajikan selama tidak bertentangan  dengan ajaran adat, agama dan norma-norma yanag berlaku di tengah masyarakat. Secara umum, pertunjukan kesenian tradisional di Minangkabau erat kaitannya dengan pelaksanaan upacara adat, seperti: pengangkatan penghulu, alek marampulai (mantenan) dan bentuk-bentuk acara sosial kemasyarakatan lainnya seperti: acara pengumpulan dana untuk pembangunan desa, sunatan, alek nagari, dan lain sebagainya.

Posisi Kesenian Tradisonal dalam persfektif Adat dan Agama Masyarakat Minangkabau Selengkapnya

Ketentuan Program Beasiswa Bidik Misi

Ketentuan Program Beasiswa Bidik Misi

Nomor         :758/D/T/2010

Lampiran      : —

Perihal         : Ketentuan Program Beasiswa Bidik Misi

Yth. Rektor/Ketua/Direktur Perguruan Tinggi Negeri

(daftar terlampir)

Dengan hormat, kami sampaikan bahwa berkaitan dengan rangkaian pelaksanaan program Bidik  Misi Direktorat Kelembagaan, Ditjen Dikti Kemendiknas telah melaksanakan verifikasi tahap II pada tanggal 21-22 dan 27-28 Mei 2010 yang hasilnya beserta verifikasi sudah dijabarkan pada surat edaran terakhir bernomor 3291/D5.2/T/2010.

Mengingat bahwa tahap berikutnya adalah pelaksanaan daftar ulang dari masing-masing calon mahasiswa, kami menghimbau beberapa hal berkait dengan penjabaran teknis dari panduan sebagai berikut:

  1. Program Bidik Misi mengandung misi berupa keberpihakan kepada anak  bangsa yang miskin namun mempunyai potensi/prestasi yang diharapkan bisa memutuskan mata rantai kemiskinan rayat Indonesia ke depan.
  2. Biaya pendidikan yang dijelaskan dalam panduan Bidik Misi diterjemahkan sebagai biaya operasional, investasi, pengembangan atau biaya lain terkait pendidikan selain biaya hidup (sandang, pangan dan papan). Penjelasan ini dimaksudkan agar tidak ada penafsiran yang berbeda di masa mendatang.
  3. Komponen biaya yang tidak bisa dibebaskan oleh Perguruan Tinggi Negeri terkait dengan butir 1, diharapkan dapat disinergikan melalui cara kerjasama dengan pemda, swasta atau instansi lain yang memiliki komitmen tinggi terhadap pendidikan dan pengembangan anak bangsa.
  4. Jika terdapat suatu hal yang mendesak di Perguruan Tinggi Negeri sehingga memunculkan adanya biaya yang harus dikenakan kepada calon penerima beasiswa Bidik Misi dimana yang bersangkutan diminta untuk mengusahakan pinjaman terlebih dahulu, diharapkan ada komitmen jelas dan tertulis bahwa biaya tersebut akan dikembalikan oleh Perguruan Tinggi Negeri pada kurun waktu tertentu pada tahun 2010.
  5. Besaran biaya yang dikeluarkan terkait dengan butir 4 sebesar-besarnya dalam satu tahun biaya pendidikan maksimal Bidik Misi, atau 6 (enam) juta rupiah.
  6. Jika terdapat calon yang tidak bisa mengusahakan biaya terkait butir 4, diharapkan ada dispensasi berupa (a) pengunduran batas waktu pembayaran, (b)  pengurangan besaran biaya, atau (c) kedua hal tersebut yang disanggupi oleh calon penerima beasiswa.
  7. Untuk calon yang tidak bisa mengusahakan pembiayaan terkain dengan butir 6, dan Perguruan Tinggi Negeri tidak daoat mengusahakan pengganti biaya tersebut, mohon dikirimkan indentitas calon mahasiswa tersebut kepada Dikti untuk diusahakan pendanaannya.

Atas perhatian dan kerjasama Saudara, kami mengucapkan terima kasih.

Jakarta, 30 Juni 2010

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi

Ttd.

Djoko Santoso

NIP.19530909 197803 1 003

Tembusan:

1. Wakil Menteri Pendidikan Nasional

2. Pimpinan Perguruan Tinggi Bidang Kemahasiswaan ybs

3. Pimpinan Perguruan Tinggi Bidang Akademik ybs

Lampiran Surat Nomor: 758/D/T/2010

Sumber: http://kelembagaan.dikti.go.id/index.php/component/content/article/43-berita/420-ketentuan-program-beasiswa-bidik-misi

Bentuk Tungguhan dan Ornamentasi Gender Wayang

Bentuk Tungguhan dan Ornamentasi Gender Wayang

Oleh: I Wayan Diana Putra (Mahasiswa PS Seni Karawitan)

Tungguhan merupakan istilah untuk menunjukan satuan dari alat gamelan yang terdiri dari pelawah dan bagian-bagiannya berikut bilah atau pencon. Gender wayang merupakan sebuah tungguhan berbilah dengan terampa yang terbuat dari kayu, sebagai alas dari resonator berbentuk silinder dari bahan bambu atau yang lebih dikenal dengan sebutan bumbung sebagai tempat menggantung bilah. Bentuk tungguhan dari segi bilah gamelan Gender Wayang dalam buku “Ensiklopedi Karawitan Bali” karya Pande Made Sukerta disebutkan berbentuk bulig yaitu bilah yang terbuat dari perunggu atau bilah kalor adalah bilah yang permukaannya menggunakan garis linggir (kalor) dan dalam buku ini juga disebutkan bilah ini biasa digunakan pada jenis-jenis tungguhan gangsa seperti halnya gamelan Gender Wayang. Bilah bulig adalah bentuk bilah yang digunakan di gamelan Gender Wayang secara umum di Bali.

Kemudian terampa ataupun pelawah dari gamelan Gender Wayang di Bali memiliki model dan bentuk yang sama, yaitu 2 (dua) buah adeg-adeg yang terbuat dari kayu berfungsi sebagai penyangga gantungan bilah dan tempat resonator atau bumbung. Meskipun secara umum model dan bentuknya sama, faktanya dari setiap daerah memiliki ciri khas dan keunikannya masing-masing sesuai dengan budaya seni dan kreativitas seniman di daerah setempat. Hal ini terletak pada ornamentasi yang berarti hiasan atau pepayasan. Di sini sesuai dengan pendapat dari  Mantle Hood yang menyebutkan bahwa dalam kontes etnomusikologi musik itu dipelajari melalui peraturan-peraturan tertentu yang dihubungkan dengan bentuk kesenian lainnya; seperti tari, drama, arsitektur, dan ungkapan kebudayaan lain termasuk bahasa, agama, dan filsafat. Unsur arsitektur yang merupakan induk dari ornamentasi dan pepayasan juga hadir sebagai bagian dari alat musik, yang berkaitan dengan bidang tertentu. Khususnya dalam gamelan Gender Wayang terlatak pada bidang terampa atau tungguhan. Setiap daerah di Bali memiliki sebuah persepsi yang tidak sama, walaupun berakar dari satu konsep style atau gaya di Bali, hal ini juga berkaitan dengan kearifan lokal atau disebut local genius dari masyarakat Bali yang majemuk.

Daerah Bali Utara yaitu Buleleng dan sekitarnya Gender Wayang memiliki ciri khas terampa dengan penuh kesederhanaannya yaitu adeg-adeg di buat hanya sesuai bentuk wadag (kasar) saja dan dengan bambu resonator yang dibiarkan alami yang difinishing (diselesaikan) dengan sentuhan perpaduan warna merah dan biru dari cat. Perpaduan warna merah dan biru inilah yang menjadikan sebuah ciri khas tersendiri dari daerah Buleleng dengan julukannya Bumi Panji Sakti dengan warna merah sebagai warna kebesaran. Dari warna inilah orang langsung mengetahui bahwa Gender Wayang itu milik dan ciri khas daerah Buleleng.

Bentuk Tungguhan dan Ornamentasi Gender Wayang Selengkapnya

Tirta Yatra

PENGUMUMAN

Nomor:1365/I5.12.2/LL/2010                                       14  Juli  2010

Lamp.              :  1 (satu) lembar

Hal                  :  Tirta Yatra

Yang terhormat  :

  1. Dekan Fakultas………………………………………………
  2. Kepala Biro………………………………………………….
  3. Kepala Bagian/KTU…………………………………………
  4. Ketua Lembaga P2M
  5. Kepala UPT…………………………………………………

ISI Denpasar.

Dengan hormat, dalam rangka Dies Natalis VII dan Wisuda Sarjana Seni VIII Institut Seni Indonesia Denpasar, akan diadakan kegiatan “TIRTA YATRA” ke Pura Batur dan Pura Puncak Penulisan pada  :

Hari                :  Minggu

Tanggal          :  18  Juli  2010

Kumpul          :  Jam 07.00. wita.di Kampus ISI Denpasar

Berangkat      :  Jam 08.00. wita.

Sehubungan dengan hal tersebut kami beritahukan  bahwa bagi pegawai dan dosen yang berada pada Unit kerja Saudara berminat mengikuti kegiatan dimaksud agar didata (sesuai format terlampir) dan daftar nama-nama peserta Tirta Yatra disetor ke Bagian Administrasi Kerjasama paling lambat tanggal 16  Juli  2010.

Karena keterbatasan dana Panitia hanya menyiapkan 2(dua) tempat duduk bagi setiap pegawai dan dosen yang sudah berkeluarga. Banten pejati disiapkan oleh Lembaga, sedangkan sarana pemuspan (bunga, kewangen dan dupa) disiapkan sendiri.

Demikian, atas perhatian dan kerjasama yang baik kami ucapkan terima kasih.

Ketua Panitia,

Drs. I Ketut Murdana, M.Sn.

NIP 19571231 1985031 009

Problem Ars Simia Naturae

Problem Ars Simia Naturae

Oleh: I  Wayan Setem, Dosen PS Seni Rupa Murni

Ciri khas seni menurut Plato maupun Aristoteles  ialah mengupas alam dari hakekat yang sebenarnya, ia merupakan imitasi yang membawa pada kebaikan dari kenyataanya sehingga menjadi keindahan yang luar biasa. Keduanya menginginkan tauladan seni didalam keindahan universal, pasti, mutlak dan ideal.

Tapi titik persamaan Plato dan Aristoteles hanya sampai disitu. Plato memandang idea keindahan mutlak sebagai prinsip transedental diatas subyek dan diatas alam: sebagai tauladan asli yang abadi, idea murni yang berada diluar akal. Aristoteles memandangnya hanya sebagai tauladan batin yang terdapat di dalam akal manusia, tidak mempunyai obyek yang dapat kita temukan diluar diri kita, dan ideal itu ada didalam diri manusia. “Kita tidak menginginkan keagungan dan kepastian kecuali demi keindahan”, “ Seni ialah tidak lain kecuali kemampuan produktif yang dipimpin oleh akal yang sebenarnya”, kata Aristoteles, tetapi keindahan itu bersatu padu dengan akal manusia (bercorak inspirasi daripada kasyaf ilahi).

Tulisan ini akan membatasi diri pada dunia, varian, dan problematika dari teori yang berlandas teori Plato dan Aristoteles pada konsep ontologis yang melahirkan konsep atau cara kerja seni lukis  ars simia naturae.

Alam memang memikat sebagai ilham pelukis, alam juga baginya ialah gambaran jiwa, kegirangan, kedamaian dan sebagainya yang bersangkutan dengan alam dirasakan  pula bagi jiwanya.

Pelukis bersahabat dengan alam, alam  pun akan memberikan kedamaian hidup dan kedamaian jiwa. Karya-karyanya memaknai hubungan dengan alam, juga dengan alam dengan dirinya sendiri. Apakah artinya diri kita di tengah alam dan apakah arti alam yang kelihatan diam dan memberikan rasa damai?

Jadi alam yang ditampilkannya ialah alam yang direduksi pada unsur-unsur paling esensial untuk memperoleh keindahan dan merupakan salah satu dasar utama yang mewarnai kehidupan spiritual pelukisnya. Dengan terjun ke tengah alam vegetal kerap terlihat spiritualisme  menyatu dan manunggal dengan alam. Jadi spiritualisme terkait erat dengan tradisi dialog antar manusia dan alam  tersebut. Betapa alam memang sebuah realitas yang maha sempurna yang selalu menggoda dijadikan subject matter-nya.

Pelukis kerap kali berada di tengah pemandangan alam, hutan, lembah, dan yang lainya sebagai upaya untuk menjadikan “jiwa” dalam karya-karyanya. Dalam karya-karyanya yang ia sampaikan secara total di atas berbagai material rupa merupakan perwujudan dari menangkap karakter cahaya. Di alam kita menyadari sifat dan kualitas cahaya, dan ketika itu pula bisa ditangkap realita semua kenyataan yang berhubungan dengan cahaya. Sehingga bisa dikenal dengan mata fisik dan mata hati perbedaan intensitas antara batu, awan, air, dedaunan, tanah dan lain sebagainya.

Point yang terpenting adalah cahaya membubuhi segala warna dalam alam ini. Kecendrungan yang timbul kemudian adalah karya-karya lebih banyak memainkan warna-warna sudut yang terang sebagai center point. Manifestasi cahaya alam memberikan warna hidup yang menerangi setiap saat sebagai hukum alam.

Problem Ars Simia Naturae Selengkapnya

Loading...