Jenis-Jenis Kendang Bali

Jenis-Jenis Kendang Bali

Kiriman: I Gde Made Indra Sadguna, Alumni ISI Denpasar

Istilah kendang telah disebut-sebut dalam piagam Jawa Kuno yang berangka tahun 821 dan 850 masehi dengan istilah padahi dan muraba. Dalam Prasasti Bebetin, sebuah prasasti Bali yang berasal dari abad ke-9, kendang disebut dengan istilah papadaha. Berbicara mengenai kendang dalam karawitan Bali, Asnawa dalam master tesisnya mengemukakan ada enam jenis kendang, yaitu kendang mebarung, kendang cedugan, kendang gupekan, kendang krumpungan, kendang nyalah dan kendang angklung. Sedangkan Sukerta juga mengemukakan adanya enam jenis kendang yaitu kendang bedug, kendang cedugan, kendang centungan, kendang gupekan, kendang krumpungan dan kendang penyalah. Namun, berdasarkan penelitian yang penulis lakukan ternyata ditemukan adanya sembilan jenis kendang dalam karawitan Bali. Adapun kesembilan jenis kendang yang dimaksud adalah sebagai di bawah ini, diurut dari ukuran yang terbesar hingga terkecil.

  1. Kendang mebarung merupakan jenis kendang dengan ukuran yang terbesar dalam karawitan Bali. Ukuran kendang ini bisa mencapai panjang 185-200cm dengan diameter antara 74-80cm. Kendang mebarung merupakan salah satu instrumen dari barungan Gamelan Angklung (selendro empat nada). Jenis kendang ini hanya dapat ditemukan di satu daerah saja yakni di Kabupaten Jembrana.
  2. Kendang tambur merupakan jenis kendang dengan ukuran terbesar kedua. Kendang tambur dapat dijumpai di Kabupaten Karangasem dan dipergunakan untuk dua hal yaitu sebagai pelengkap dalam konteks upacara Dewa Yadnya dan juga untuk mengiringi prajurit kerajaan yang akan berangkat ke medan perang. Kendang tambur ini mempunyai ukuran panjang sekitar 72cm, diameter tebokan besar 54cm dan diameter tebokan kecil 44cm. Cara mempermainkan kendang ini dengan mempergunakan dua buah panggul dengan memukul kedua belah sisinya.
  3. Kendang bedug atau bebedug adalah salah satu jenis kendang yang mirip bentuk dan cara permainannya dengan kendang tambur, akan tetapi memiliki ukuran yang lebih kecil. Jenis kendang ini merupakan salah satu instrumen dari barungan gamelan Gong Beri. Jenis gamelan ini dipergunakan untuk musik tarian sakral Baris Cina. Perangkat barungan gamelan Gong Beri hanya dapat ditemukan di Desa Renon dan Banjar Semawang, Denpasar Selatan.
  4. Kendang cedugan adalah kendang yang dalam teknik permainannya menggunakan panggul. Oleh karena itu, kendang ini juga disebut dengan nama kendang pepanggulan. Kendang pepanggulan ini mempunyai ukuran panjang antara 69-72cm, garis tengah tebokan besar 29-32cm dan garis tengah tebokan kecil 22-26cm. Jenis kendang ini biasanya dipergunakan pada beberapa perangkat gamelan, misalnya Gong Kebyar, Baleganjur, dan Gong Gede. Kendang pepanggulan dimainkan secara berpasangan yang terdiri dari kendang lanang dan wadon.
  5. Kendang gupekan merupakan salah satu jenis kendang yang cara memainkannya adalah dengan memukul memakai tangan. Kendang ini digunakan untuk mengiringi gamelan Gong Kebyar. Kendang ini selain dapat disajikan dengan berpasangan dapat juga dimainkan secara mandiri atau kendang tunggal. Kendang wadon mempunyai ukuran panjang antara 67-72cm, diameter tebokan besar 27-32cm dan diameter tebokan kecil 21-25cm. Kendang lanang mempunyai ukuran serta suaranya lebih kecil dari kendang wadon. Ukuran panjangnya antara 65-70cm, diameter tebokan besar 26-29cm dan diameter tebokan kecil 19-22cm.
  6. Kendang bebarongan adalah kendang yang secara khusus terdapat dalam barungan gamelan Bebarongan. Jenis kendang ini mempunyai panjang sekitar 62-65cm, garis tengah tebokan besar 26-28cm dan garis tengah tebokan kecil sekitar 21,5-23cm. Kendang bebarongan ini termasuk dalam ukuran kendang yang tanggung (nyalah:Bahasa Bali), karena ukurannya yang tidak terlalu besar maupun tidak terlalu kecil. Ada dua cara untuk memainkan kendang bebarongan, yakni bisa dengan mempergunakan panggul dan bisa juga dimainkan tanpa menggunakan panggul.
  7. Kendang krumpungan, kata krumpungan berasal dari kata pung yaitu menirukan suara kendang tersebut (onomatopea atau peniruan bunyi). Jenis kendang ini dipukul hanya menggunakan tangan. Kendang ini biasanya dipergunakan untuk mengiringi gamelan Pegambuhan dan gamelan Palegongan. Kendang krumpungan ini selalu dimainkan berpasangan yaitu kendang lanang dan kendang wadon. Kendang wadon mempunyai diameter tebokan besar 24,5-25cm, panjang antara 55-57cm dan diameter tebokan kecil 20cm. Sedangkan kendang lanang mempunyai diameter tebokan besar 23,5-24cm, panjang antara 55-57cm, diameter tebokan kecil 19,5-20cm.

Jenis-Jenis Kendang Bali, selengkapnya

 

Pembabakan Sendratari Bhisma Dewabharata

Pembabakan Sendratari Bhisma Dewabharata

Babak I

Alkisah Maharaja Sentanu sangat sulit melupakan istrinya yang cantik jelita, Dewi Gangga. Untuk melipur hatinya Sentanu menyusuri hutan belantara. Ditengah hutan Sentanu diterpa hembusan angin yang menebar aroma harum semerbak. Teryata arah datangnya sumber aroma wangi itu adalah tubuh seorang gadis molek bernama Satyawati ditepi sungai Yamuna. Raja Sentanu terpesona dan menyampaikan hasratnya untuk mejadikan istri. Ayah gadis itu, seorang nelayan cerdik, mengajukan syarat: putra yang dilahirkan Satyawati harus menggantikan Sentanu jadi raja Hastina.

Papeson/plot :

  1. (prolog) Raja Sentanu menghalangi Dewi Gangga untuk membuang bayinya.
  2. Sungai Yamuna yang asri
  3. Raja Sentanu menyusuri tepi sungai Yamuna (naik kereta kuda)
  4. Para nelayan dan Dewi Satyawati
  5. Pertemuan Sentanu dengan Satyawati (roman)
  6. Ayah Setyawati mengajukan persyaratan kepada Raja Sentanu

Babak II

Setelah pertemuannya dengan Satyawati, Raja Sentanu bermuram durja dan jatuh sakit. Dewabharata binung memikirkan sebab musabab kemurungan ayah tercintanya. Kepada sang putra mahkota, Raja Sentanu hanya mengatakan terlalu berpikir berat mengenai masa depan kerajaan jika ternyata terjadi sesuatu yang tidak diinginkan terhadap penerus dinasti kerajaan satu-satunya yaitu Dewabharata sendiri. Tetapi Dewabharata menangkap ada sesuatu yang disembunyikan oleh ayahnya.

Pepeson/plot:

  1. Prajurit kebesaran Hastina
  2. Dewabharata berlatih senjata (ada laporan ayahnya sakit)
  3. Dayang-dayang
  4. Para patih + raja Sentanu sakit
  5. Pertemuan Sentanu dan Dewabharata

Babak III

Melalui kusir kerajaan, Dewabharata mengetahui bahwa sumber kemurungan Raja Sentanu adalah Satyawati, gadis cantik putrid seorang nelayan di tepi sungan Yamuna. Sang raja jatuh cinta dan berhasrat menjadikannya permaisuri tetapi sangat terpukul dengan persyaratan yang diajukan ayah Satyawati. Didorong oleh rasa hormat dan kasih sayangnya pada sang ayah, menuntun Dewabharata menjumpai ayah Satyawati. Dewabharata berjanji tidak akan menjadi raja Hastina dan akan memberikan kepada putra yang dilahirkan Satyawati.

Pepeson/plot:

  1. Pertemuan Dewabharata dengan kusir kerajaan
  2. Pertemuan Dewabharata dengan Satyawati dan ayah Satyawati
  3. Sumpah Dewabharata untuk tidak jadi raja Hastina

Babak IV

Dikisahkan raksasa Gorawisesa sangat murka akan rencana pernikahan Raja Sentanu dengan Satyawati. Raksasa yang telah lama tergila-gila dengan kecantikan Satyawati itu bertekad merampasnya dari Dewabharata yang sedang dalam perjalanan menuju Hastina. Penghadangan dari raksasa Gorawisesa dihadapi oleh Dewabharata dengan sigap. Gorawisesa dapat ditaklukkan. Dewabharata kemudian menghaturkan Satyawati kepada ayahnya. Perkawinan agung Sentanu dengan Satyawati dipersiapkan besar-besaran. Atas permintaan ayah Satyawati Dewabharata bersumpah akan hidup membujang selama hayatya. Maharaja Sentanu sangat terharu dengan ketulusan, jiwa besar, pengorbanan putra kebanggaannya, Bhisma Dewabharata.

Pepeson/plot:

  1. Raksasa Gorawisesa murka akan diboyongnya Satyawati ke Hastina
  2. Raksasa Gorawisesa merampas Satyawati dari tangan Dewabharata
  3. Dewabharata menumpas kejahatan Gorawisesa
  4. Dewabharata menghaturkan Dewi Satyawati kepada Raja Sentanu
  5. Persiapan perkawinan agung Maharaja Sentanu dengan Satyawati
  6. Ayah Satyawati mengajukan syarat agar keturunan Dewabharata tak jadi raja
  7. Dewabharata bersumpah tidak kawin diiringi suara gaib: bhisma, bhisma, bhisma
Janda Jantan Ni Calonarang, Mengerang Garang Menantang Penguasa

Janda Jantan Ni Calonarang, Mengerang Garang Menantang Penguasa

Kiriman: Kadek Suartaya, S.Skar., Msi., Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar

Teater Calonarang merupakan seni pertunjukan Bali yang hingga kini dipandang angker masyarakatnya. Salah satu peran terpenting dalam drama tari yang tak sembarang waktu dipentaskan ini adalah Matah Gede. Tokoh ini adalah sebutan untuk si janda sihir dari Dirah, Calonarang, sebagai manusia biasa sebelum berubah  menjadi ratu leak dalam wujud yang dahsyat menyeramkan. Uniknya, pada teater tradisional Bali,  penokohan Matah Gede hanya terlihat dalam seni pentas Calonarang. Tokoh ini memiliki karakter yang khas dan sekaligus menjadi identitas seni pertunjukan Calonarang, salah satu seni pentas Bali yang diduga sudah dikenal tahun 1825, era kejayaan kerajaan Klungkung.

Dalam drama tari Calonarang, Matah Gede hadir dengan jati diri perwatakan, tata busana, dan tata rias wajahnya. Pemberang adalah watak menonjol dari tokoh yang tak pernah lepas dari tongkatnya ini. Jika sedang naik pitam, sorot matanya yang menusuk tajam dilukiskan pantang dilawan jika tak ingin hangus terbakar.  Memakai kain rembang dan kerudung putih serta tata polesan muka beraksen gurat-gurat keriput, penampilan tokoh ini menjadi lain dari yang lain, membangun struktur dramatik dan menghadirkan kekentalan tema utama teater ini yaitu sebagai drama of magic. Keangkeran Matah Gede juga dibangun oleh dominasi tata ucapannya dalam bahasa Kawi, bahasa Jawa Kuno.

Teater Calonarang dengan tokoh Matah Gede-nya sebagai ratu tenung banyak menarik minat para peneliti dan penulis. The drama of magic adalah sebutan yang diberikan oleh Beryl de Zoete & Walter Spies dalam bukunya Dance and Drama in Bali (1973). Hooykaas dan Meulenhoff dalam bukunya Tjalon Arang Volksverhalen en Legenden uit Bali (1979) menekankan telaahnya pada sastra Calonarang sebagai sumber lakon seni pertunjukan Calonarang. I Made Bandem dan Frederik Eugene deBoer dalam Kaja and Kelod Balinese Dance in Transition (1981) mengkaji juga drama tari Calonarang sebagai magic dance of the street and graveyard. Begitu juga Miguel Cavarrubias dalam Island of Bali (1979) juga tak lupa membahas seni pentas Calonarang.

Seni pentas Calonarang yang hingga kini tak pernah kehilangan gereget itu berangkat dari sumber sastra—seperti halnya kesenian tradisonal Bali pada umumnya–yang diperkirakan muncul pada zaman pemerintahan raja Airlangga di Jawa Timur. Kiranya De Calon-arang (1926), adalah teks sastra Calonarang terpenting yang ditranskripsikan dalam bahasa Jawa Tengahan oleh Poerbacaraka dan telah diterjemahkan oleh Dr. Soewito Santoso dengan judul Calon arang Si  Janda dari Girah (1975). Selain  dari sumber sastra yang berbentuk prosa itu, Gaguritan Calonarang dalam tarikan puisi pun menjadi acuan signifikan yang mengilhami dan menggiring para seniman seni pertunjukan Calonarang.

Hampir dalam semua sumber, baik yang tertulis maupun lisan, Calonarang digambarkan sebagai seorang wanita penganut teluh yang jahat. Dikisahkan ia tersinggung berat hanya karana anak gadis satu-satuanya, Ratnamangali, yang sudah dewasa belum ada yang melamar. Karena itu, para laki-laki perjaka dilabrak-labrak dan dimusuhinya. Dalam lakon yang berjudul Katundung Ratnamangali, Calonarang meradang karana pelecehan dan penghinaan menantunya, Raja Airlangga. Ia marah bukan kepalang ketika putrinya diusir secara paksa oleh penguasa Daha itu dengan tuduhan menebar petaka santet. Padahal Calonarang sendiri sama sekali tak mengajarkan ilmu sesat tersebut pada anak semata wayangnya ini. Karena merasa harga dirinya diinjak-injak, dengan jantan ia menantang penguasa Airlangga. Dalam episode Perkawinan Mpu Bahula, Calonarang marah sangat begitu garang karena buku ilmu teluhnya dicuri oleh putra Mpu Bharadah, Bahula. Adegan api marah Calonarang ini sering mencuatkan ketegangan dalam pementasan teater Calonarang.

Lazimnya, tokoh Matah Gede  atau Calonarang dimainkan oleh penari pria yang sudah berumur. Soal umur mungkin untuk memudahkan memasuki karakter tokoh janda Dirah itu yang diinterpretasikan sebagai seorang nenek-nenek yang telah memiliki anak gadis perawan tua. Sedangkan mengenai kebiasaan pemeranan tokoh sihir ini  dibawakan oleh aktor pria sudah demikian adanya sejak dulu. Ada dugaan, tranvesti– memerankan karakter berlawanan jenis kelamin–karena Calonarang adalah tokoh wanita yang berkarakter keras yang mungkin lebih pas dibawakan penari pria. Di beberapa kantong seni pertunjukan Calonarang di Bali, selain harus pria juga ada syarat tambahan yaitu pemainnya seorang balian atau setidaknya orang yang paham dunia supranatural.

Para penari terdahulu yang dikenang oleh masyarakat Bali sangat piawai memerankan tokoh Mata Gede diantaranya adalah I Rinda (Blahbatuh) dan I Kengguh (Singapadu), keduanya dari Kabupten Gianyar, serta I Monog dari Kedaton, Denpasar. Rinda yang banyak menekuni bidang sastra Bali memukau dengan kedalaman dan kepasihan bahasa Kawi-nya. Kengguh mempesona penonton dengan keindahan tata tarinya, dan Monog menggugah lewat gemuruh suaranya yang menggetarkan. Bahasa Kawi, keterampilan estetik tari, dan warna vokal kiranya harus dimiliki oleh para seniman yang akan membawakan Si Calonarang ini.

Janda Jantan Ni Calonarang, Mengerang Garang Menantang Penguasa, selengkapnya

Pustaka Tarka

Pustaka Tarka

Penata

Nama                          : I Made Darma

Nim                             : 200703024

Program Studi       : Seni Pedalangan

Sinopsis       :

Pustaka Tarka adalah anugrah Dewa Siwa kepada Gana Kumara yang sedang belajar di pesraman Kasurgwa Rena, yang di pimpin oleh Bagawan Asmaranata. Dengan demikian Guna Kumara diserahkan tugas untuk memimpin pasraman oleh Begawan Asmaranata. Banyak para dewa yang datang ke pesraman Kasurgwa Rena dengan tujuan untuk bertenung. Sehingga menimbulkan kecemburuan Dewa Wisnu dan Dewa Brahma. Suatu hari Gana Kumara didatangi oleh Dewa Wisnu dikatakan sebagai pembunuh. Dewa Wisnu sangat marah, namun setelah diberi penjelasan oleh Gana Kumara bahwa dikelahirannya ke dunia nanti menjadi Rama Membunuh Rahwana, menjadi Kresna membunuh Kangsa. Dewa Wisnu menerima kenyataan itu dan kembali ke wisnu loka. Kemudian kembali Gana Kumara di datangi oleh Dewa Brahma yang juga tujuannya menguji kemampuan Gana Kumara. Setelah ditenung oleh Gana Kumara. Dewa Brahma sangat marah karena merasa ada yang tidak beres.Dewa Brahma segera menggempur Gana Kumara dengan kekuatan seratus raksasa yang muncul dari dalam dirinya. Dewa Siwa Mengetahui hal itu, mengeluarkan kekuatan Panca Dewata dari dalam dirinya membela Guna kumara. Terjadilah pertempuran para raksasa dengan Panca Dewata, yang akhirnya di menangkan oleh Panca Dewata.

Pendukung      :  Sanggar Alit Sunari

Ujian Tugas Akhir FSP Gelombang I Tahun 2011

 

Loading...