Undangan Rapat

Nomor     : 1202/IT5.1/DT/2011                                                            6 September 2011

Lampiran : 1 (satu) Gabung

Perihal      : Undangan

Yth.  : Seluruh Dosen FSRD

ISI Denpasar

Di Tempat

 

Dengan hormat, dengan ini kami mohon kehadiran Bapak/Ibu pada:

Hari/Tanggal   : Jumat, 9 September 2011

Pukul               : 09.00 Wita – selesai

Tempat            : Gedung PUSDOK ISI Denpasar

Acara               : Rapat Umum Dosen Tahun Ajaran 2011/2012

Demikian kami sampaikan, atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terimakasih.

a.n. Dekan,

Pembantu Dekan I,

Drs. Olih Solihat Karso, M.Sn.

NIP. 196107061990031005

 

LAMPAH SEMARA

LAMPAH SEMARA

Penata

Nama                     : I Gede Wirata

NIM                      : 2007.02.026

Program Studi : Seni Karawitan

Sinopsis       :

 

Lampah Semara, berarti perjalanan sebuah cinta yang menghasilakn suasan yang indah. Cinta merupakan anugerah terindah dari Tuhan karena melalui cinta seseorang dapat merasakan keajaiban akan kehidupan mulai dari bahagia, sedih, sakit, menderita, dll. Terinspirasi dari pengalaman penata sendiri, maka lahirlah sebuah ide untuk menuangkan pengalaman tersebut menjadi sebuah garapan komposisi karawitan kreasi baru berjudul “Lampah Semara”, dengan mengolah unsur-unsur musical seperti melodi, ritme,tempo, dan dinamika yang ditransformasikan ke dalam media gamelan gong kebyar.

Pendukung Karawitan :  Sekaha Gong Wahana Gurnita, Br.Kedampal, Kerambitan, Tabanan

Undangan Workshop

PENGUMUMAN

Nomor: 1205/IT5.1/DT/2011

 Diberitahukan kepada Mahasiswa FSRD ISI Denpasar yang telah mendaftar Tugas Akhir (TA) Semester Ganjil 2011/2012 untuk menghadiri Workshop “Kerjasama Sumber Daya Manusia & Sosialisasi Kebutuhan Tenaga Kerja pada PT. PROPAN RAYA” yang akan dilaksanakan pada:

 

Hari/Tanggal             : Senin, 12 September 2011

Pukul                           : 09.00 Wita

Tempat                        : Gedung PUSDOK ISI Denpasar

Demikian kami sampaikan untuk dapat dilaksanakan. Terima kasih.

Denpasar, 7 September 2011

A.n. Dekan

Pembantu Dekan I,

Drs. Olih Solihat Karso, M.Sn

NIP.  196107061990031005

Musik Iringan dan Prosesi Penyajian Tari Legong Sambeh Bintang

Musik Iringan dan Prosesi Penyajian Tari Legong Sambeh Bintang

Kiriman Ni Wayan Ekaliani, Mahasiswa PS. Seni Tari ISI Denpasar

Sebuah pertunjukan hubungan antara tari dan musik tidak dapat dipisahkan, karena musik memiliki peranan yang sangat penting untuk memberikan irama dan aksen-aksen di dalam pementasan. Tanpa adanya musik iringan, maka sebuah pertunjukan tarian tidak akan sempurna. Begitu juga dengan tari Legong Sambeh Bintang musik iringan di sini memiliki peranan yang sangat penting dalam mendukung jalannya pertunjukan. Tarian Legong Sambeh  diiringi oleh barungan   Gamelan Terompong Beruk. Gamelan ini merupakan sebuah barungan gamelan yang sebagian besar instrumennya menggunakan beruk atau tempurung kelapa sebagai resonator. Adapun instrumen-instrumen yang terdapat dalam barungan Terompong Beruk adalah sebagai berikut.

1 Dua buah kendang yaitu kendang lanang dan wadon yang berfungsi sebagai penguasa irama penghubung bagian gending-gending, membuat angsel dan mengendalikan irama gending.

2. Tujuh buah cenceng Baleganjur yang terbuat dari besi bekas singkal dan kejen yang telah rusak (alat pembajak tradisional) yang berfungsi sebagai penggaris bawah  ritme gamelan.

3. Empat suling berfungsi melembutkan gending-gending yang lirih dan memperindah lagu.

4. Satu buah trompong yang terbuat dari bilah-bilah kayu dan dan beruk atau tempurung kelapa adapun fungsinya pemegang melodi utama dalam sebuah gamelan.

5. Tujuh buah reong yang dipakai di sini tidak sama seperti reong yang jumpai  di Gamelan yang lainnya. Namun jenis reongnya menggunakan bilah yang terbuat dari besi yang berbentuk seperti bilah yang ada pada ugal dalam Gong Kebyar. Berfungsi sebagai pembuat angsel gending.

6. Satu buah kajar yang terbuat dari beruk dan bilahnya terbuat dari besi yang di bentuk seperti bilah ugal. Berfungsi sebagai pemegang tempo.

7. Dua buah ugal yang terbuat dari kayu dan beruk yang memiliki fungsi sebagai pembawa lagu dan penyambung bagian-bagian gending.

9. Gong yaitu terbuat dari bilah bambu petung atau kayu lekukun, sedangkan pelawahnya terbuat dari sebuah waluh (labu) besar yang isinya sudah dihilangkan, kemudian labu itu dijemur hingga kering. Memberikan tekanan pada kalimat-kalimat lagu dan mengakhiri lagu.

Seiring perkembangan kebudayaan masyarakat setempat, yang sudah mampu membeli seperangkat Gamelan Gong Kebyar maka, iringan musik tari Legong Sambeh Bintang ini pun mengalami perkembangan. Masyarakat Desa Bangle pun akhirnya memiliki seperangkat Gamelan Gong Kebyar yang kemudian juga akhirnya digunakan untuk mengiringi tarian sakral ini. Seiring dengan perubahan alat musik yang digunakan maka, ada beberapa perubahan penyajiannya. Misalnya dari segi temponya lebih cepat yang tadinya menggunakan musik yang mengalun namun sekarang lebih terlihat dinamis.

Prosesi Penyajian Tari Legong Sambeh Bintang

Koentjaraningrat menyatakan bahwa ada lima ketentuan yang harus diper-hitungkan dalam setiap upacara religi dalam masyarakat. Kelima ketentuan itu selalu berhubungan secara holistik. Ketentuan itu adalah :

pertama, tentang waktu. Bahwa setiap upacara tidak dapat dilakukan tanpa memper-hitungkan hari baik (dewasa ayu), sehingga umat Hindu  telah menetapkan hari upacara suatu pura dengan sistem kalender Bali.  Setiap anggota pendukung pura akan selalu ingat hari diadakan-nya upacara pada suatu pura tertentu.

Kedua, tentang tempat. Mengingat bahwa upacara religi mempunyai struktur dan fungsi yang sangat banyak dan bertahap maka setiap tahapan dan bentuk upacara biasanya dilakukan pada tempat yang berbeda-beda sesuai dengan ketentuan dan tradisi yang berlaku di wilayah upacara yang sedang berlangsung.

Ketiga, peralatan yang diperlukan dalam sebuah sistem ritus sangat kompleks dan mempunyai banyak variasi. Peralatan tersebut ada yang habis dalam sekali pakai seperti banten (sesaji),  tetapi ada pula peralatan yang dapat diguna-kan secara berulang-ulang seperti: pakaian, perhiasan, arca, tombak, umbul-umbul, gamelan,  keris, dan lain sebagainya.  

Keempat, keyakinan. Bahwa setiap orang yang terikat sebagai anggota pendukung suatu sistem ritus mempunyai suatu keyakinan, dan mereka melakukan sesuatu yang mempunyai makna khusus yang berhubungan dengan kehi-dupan nyata dan tidak nyata. Oleh karena, itu melakukan upacara religi merupakan suatu lingkaran yang terkadang tidak bisa dihindari bagi sekelompok umat. Upacara religi sering diartikan sebagai tindakan yang dapat memberikan kenyamanan dan menetralisir kondisi kritis yang sedang melanda suatu masyarakat. Keyakinan ini ikut mendorong suatu masyarakat untuk melakukan aktivitas religi,  karena jika tidak melakukan hal itu dikhawatirkan akan menimbulkan suatu bencanan atau mala petaka  bagi masyarakat itu.

Kelima, emosi. Bahwa masing-masing individu yang melakukan upacara religi akan merasakan adanya getaran dalam jiwanya masing-masing, pada saat mereka masuk dalam lingkaran batas wilayah suatu upacara. Getaran ini tidak dapat dipisahkan dengan keyakinan yang telah tumbuh pada diri mereka masing-masing.

Prosesi penyajian adalah suatu urut-urutan atau struktur penyajian pementasan, yang dilakukan oleh warga masyarakat Desa Bangle ketika mereka mempersembahkan tari Legong Sambeh Bintang ini pada saat upacara piodalan Ngusaba Desa di Pura Desa, Desa Bangle, Abang, Karangasem.  Sebagai sebuah tari sakral, tari Legong Sambeh Bintang ini selalu ditampilkan pada hari pertama tepatnya pada puncak upacara piodalan Ngusaba Desa dan hanya dipentaskan hanya sekali. Tari ini biasanya ditampilkan masyarakat setempat ketika acara mendak tirta dilakukan. Mereka selalu menampilkan tari Legong Sambeh Bintang ini dengan menghaturkan sesaji tertentu, baik sebelum maupun sesudah tarian ini dipentaskan.

 Dari hasil pengamatan tampak bahwa ketika tari Legong Sambeh Bintang ini akan ditampilkan, warga, khususnya para ibu-ibu, melakukan upacara  mendak tirta terlebih dahulu di jeroan (halaman dalam) Pura Desa. Mendak tirta adalah suatu upacara yang khusus dilakukan untuk mencari air suci ketempat yang diyakini sebagai tempat pencarian air yang disucikan oleh warga setempat. Mereka menghaturkan sesaji canang sari (rangkaian bunga beralaskan janur) sambil menari secara bebas (improvisasi) dengan durasi kurang lebih selama 10 menit.

            Setelah ibu-ibu ini memperoleh air suci/tirta,  mereka kemudian kembali ke tempat/lokasi para penari tari Legong Sambeh Bintang ini berada. Ibu-ibu yang membawa air suci/tirta ini kembali ke tempat para penari tari Legong Sambeh Bintang ini atau ke pura diikuti oleh sekelompok laki-laki membawa canang sari berjalan secara perlahan-lahan sambil menari membentuk pola lantai lingkaran dengan gerakan tari bebas (improvisasi).  Perilaku masyarakat menari dengan gerak tari bebas seperti ini lazim mereka sebut sebagai memendet (menari).

Setelah air suci/tirta tiba di lokasi para penari tari Legong Sambeh Bintang ini berada, para ibu-ibu ini kemudian menghaturkan sesaji pejati dan perani untuk menyucikan dan memohon keselamatan bagi para penari tari Legong Sambeh Bintang ini agar mereka memperoleh keselamatan ketika menari di hadapan para Dewata.

Musik Iringan dan Prosesi Penyajian Tari Legong Sambeh Bintang, selengkapnya

Asal Mula Tari Mekotekan  di Desa Munggu Kabupaten Badung

Asal Mula Tari Mekotekan di Desa Munggu Kabupaten Badung

Kiriman: Ni Made Wiryani, Mahasiswa PS. Seni Tari ISI Denpasar.

Awal mula atau sejarah tari Mekotekan di Desa Munggu Kabupaten Badung ini masih diliputi ketidakjelasan. Sementara ini yang berkembang di masyarakat adalah versi dari Ida Pedande Gede Sidemen Pemaron dan versi yang bersumber dari Bendesa Adat Munggu I Ketut Kormi. Informasi ini dimuat jelas di Koran Nusa Bali terbitan hari Minggu, tanggal 25 Oktober 2010.

Sejarah Tari Mekotekan berdasarkan Versi Ida Pedanda Gede Sidemen Pemaron

Sejarah tari Mekotekan ini berawal dari keberadaan, Raja IV Cokorda Nyoman Munggu pada Keraton Puri Agung Munggu. Beliau adalah seorang raja yang sangat arif dan bijaksana serta dicintai dan disegani oleh rakyat Mengwiraja dan sekitarnya, khususnya masyarakat di Munggu. Beliau memiliki kebun yang sangat luas yang sekarang disebut “Uma Kebon” serta memiliki peternakan yang disebut “Uma Bada”.

Beliau ingin meneruskan cita-cita pendahulunya, yaitu Raja I Gusti Agung Putu Agung yang mebiseka Cokorda Sakti Blambangan. Beliau membentuk pasukan berani mati di Desa Munggu, yang dibina oleh Bhagawantha raja dari Ida Brahmana di Munggu, dengan sebutan pasukan “Guak Selem Munggu”.

Pada suatu hari, sungai Yeh Penet yang melingkari ujung utara sampai tepi bagian barat Desa Munggu, airnya terus mengalir menuju ke laut selatan, dan  meluap sehingga menimbulkan banjir bandang. Air sungai yang sangat deras itu menghanyutkan sebuah pelinggih yang terapung-apung di permukaan air kemudian tersangkut pada akar pohon kamboja besar (pohon jepun sudamala). Atas kejadian itu masyarakat Munggu berduyun-duyun untuk melihatnya. Masyarakat Munggu yang tinggal di dauh rurung kemudian melaporkan hal tersebut ke hadapan Ida Bhagawantha Brahmana Pemaron Munggu yang berlanjut kehadapan Raja Cokorda Nyoman Munggu, yang pada saat itu raja kebetulan berada di keraton puri Agung Munggu Pura di Mengwiraja. Beliau menitahkan masyarakat Munggu untuk mengangkat dan melestarikan pelinggih itu di tempat yang aman.

Pada saat itu pula ada salah seorang penduduk di Munggu kesurupan (kerauhan) dan mengaku sebagai utusan dari Ida Betari Ulun Danu Bratan, atas permohonan Ida Betara di Pura Puncak Mangu, yang memohon kepada Raja Bhagawantha untuk menyelamatkan pelinggih itu serta membangun sebuah pura yang merupakan stana Ida Betara Luhur Sapuh Jagat, untuk menjaga keselamatan rakyat Mengwiraja sebagai kahyangan jagat. Atas petunjuk orang yang kesurupan itu, diyakini bahwa pada waktu akan mulai meletakkan batu pertama (nasarin) Pura Luhur Sapuh Jagat akan menemukan segumpalan besi dan batu-batu yang berbentuk senjata. Gumpalan besi itu agar diamankan dijadikan senjata-senjata kerajaan Mengwipura, sedangkan batu-batu itu agar dilestarikan di tempat pembangunan pura tersebut.

Raja Cokorda Nyoman Munggu beserta Ida Bhagawantha Brahmana Munggu tidak begitu cepat percaya dengan ucapan-ucapan orang kesurupan itu, beliau ingin membuktikan lagi. Untuk meyakinkan, akhirnya orang yang kesurupan yang mengaku utusan Ida Betara Ulun Danu menjadi sangat jengkel dan berlari menuju pura Puseh Munggu, serta mengambil sebuah tedung yang panjangnya kurang lebih 5 meter dan menancapkan pada halaman pura Puseh, serta meloncat-loncat ke atas tedung. Di atas tedung itulah orang yang kesurupan itu menari-nari sambil menantang Rajabhagawantha dengan kata-kata yang sangat meyakinkan, bahwa ia benar-benar utusan Ida Betara Ulun Danu Bratan.

Dalam suasana hujan lebat serta angin puyuh, Raja beserta Ida Bhagawantha Brahmana Munggu, bersama-sama seluruh masyarakat Munggu menyaksikan hal itu. Setelah itu barulah beliau sadar serta berjanji memenuhi semua apa yang menjadi petunjuk yang diucapkan oleh orang kesurupan itu, yang merupakan pawisik Ida Batara (Sang Hyang Widi Wasa) sehingga orang itu langsung disucikan dijadikan pemangku Pura Puseh. Diputuskanlah oleh Ida Bhagawantha Brahmana Munggu, bahwa hari Rabu Kliwon Ugu mulai diadakan pembangunan atau nasarin Pura Luhur Sapuh Jagat di Desa Munggu Kabupaten Badung.

Benar-benar suatu keajaiban pada jagat Bali. Setelah penggalian pembangunan pura seperti petunjuk yang diucapkan pemangku itu, terdapatlah gumpalan batu-batu. Ada yang berbentuk tamiang, besi-besi tua yang berbentuk senjata tajam. Setelah disaksikan oleh Ida Bhagawantha Brahmana Munggu dan seluruh masyarakat Munggu, akhirnya benda-benda tersebut diangkat dan ditempatkan pada bangunan suci untuk diamankan dan dilestarikan.

Sesuai dengan pawisik yang telah didapatkan sebelumnya, maka dipanggillah seorang wiku pande besi Desa Munggu oleh Cokorda Munggu untuk menjadikan besi tua itu senjata keris dan tombak, sehingga menghasilkan 5 buah senjata tajam yang terdiri dari keris dan tombak yang diserahkan kembali ke hadapan Cokorda Munggu. Kemudian diadakan upacara pasupati senjata oleh Ida Bhagawantha Brahmana Pemaron Munggu dan seluruh rakyat Munggu diperintahkan untuk membuat tempat pemujaan berupa panggung setinggi 6 m di perempatan Banjar Munggu untuk kegiatan upacara pasupati senjata-senjata tersebut.

Keris dan tombak tersebut disucikan terlebih dahulu dengan mempergunakan air bungkak kelapa gading, setelah itu dipercikan air suci dan sarana banten, lalu keris dan tombak langsung dihias dengan bunga pucuk merah yaitu pucuk rejuna dan busana kain serba merah. Keris-keris dan tombak pada saat dipasupati Ida Pedanda ditempatkan pada sebuah singgasana khusus dan selanjutnya keris-keris dikemit selama 3 bulan di panggung  upacara tersebut secara silih berganti oleh warga desa Munggu yang mekemit untuk mohon keselamatan, keamanan, serta kenyamanan. Selama tiga bulan mekemit  Ida Pedanda mendapat wahyu agar keris-keris  dan tombak itu  masing-masing diberi nama :

  1. Sebuah keris runcing luk 11 (sebelas) diberi nama I Raksasa Bedek
  2. Sebuah keris runcing luk 7 (tujuh) diberi nama I Sekar Sungsang
  3. Sebuah keris runcing luk 5 (lima) bernama I Jimat
  4. Sebuah keris runcing bernama I Sapuh Jagat
  5. Sebuah tombak bernama I Bangun Oleg (Olog)

Setelah senjata-senjata yang didapatkan melalui pawisik gaib dipasupati dan dikemit selama tiga bulan, maka pada hari Sabtu Kliwon Kuningan pada Tumpek Kuningan, mulai diperagakan mengadakan perang-perangan yang diikuti oleh para laki-laki dewasa yang berasal dari seluruh Desa Munggu, kecuali bagi yang sedang cuntaka. Tari-tarian inilah yang kemudian dalam perkembangannya dikenal dengan tari Mekotekan.

Sejarah Tari Mekotekan berdasarkan Versi Bendesa Adat Munggu, I Ketut Kormi

Versi lain dari sejarah tari Mekotekan di Desa Munggu Kabupaten Badung dikemukakan oleh Bendesa Adat Munggu I Ketut Kormi sesuai dengan yang termuat dalam surat kabar harian Nusa Bali terbitan hari Minggu, 25 Oktober 2010. Dalam surat kabar tersebut I Ketut Kormi mengatakan tradisi Mekotek yang telah digelar warga Munggu secara turun temurun terkait dengan sejarah Raja Munggu, yang pergi ke Blambangan untuk melakukan perluasan wilayah. Pada peperangan itu Raja Munggu menang dan kembali ke Munggu bersama seluruh bala tentaranya. Rasa gembira bala tentara tersebut mengangkat tombak berjalan ke desa. Bahkan hingga mengenai bala tentara sendiri yang menyebabkan luka. Melihat kejadian tersebut, raja bertapa di Wesasa dan mendapatkan petunjuk bahwa luka itu bisa cepat sembuh dan kemudian me­nggelar ritual Mekotek. Selain itu, raja juga mengatakan jika ritual ini tidak digelar maka bisa ter­kena gerubug atau wabah pe­tir. Hal ini membuat masyarakat Munggu tetap menggelar ritual Mekotek hingga sekarang ini.

Asal Mula Tari Mekotekan  di Desa Munggu Kabupaten Badung, selengkapnya

Loading...