Festival Topeng Internasional Indonesia Tanpa Topeng Bali

Kiriman : Kadek Suartaya, SSKar., M.Si (Dosen Jurusan Karawitan ISI Denpasar)

Dinginnya malam yang cukup menggigit Kota Solo, Jawa Tengah, pada 14-15 September 2015, dihangatkan oleh sajian beragam karakter topeng oleh sebuah perhelatan dengan label Indonesia International Mask Festival (IIMF). Pentas seni pertunjukan topeng bertarap internasional ini disokong oleh Kementeriaan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia. Tak kurang dari 13 peserta dari dalam dan luar negeri ditampilkan di Benteng Vastenburg dan ISI Surakarta. Sajian seluruh peserta diarahkan pada fokus tema The Greatest Panji.  Kitab Negarakertagama (abad ke XIII) menuturkan, cerita Panji telah menyebar luas hingga ke Asia Tenggara. Karena itu, penggiat tari topeng dari  Malaysia, Thailand, Kamboja, dan Singapura pun hadir unjuk kebolehan.  Dari dalam negeri tampil pelaku tari topeng dari sejumlah daerah di Pulau Jawa. Penari topeng dari Bali?

Tari topeng Bali rupanya luput dari hitungan penyelenggara festival. Padahal Bali adalah wilayah kultural yang kaya dengan beragam seni pertunjukan bertopeng. Selain itu, cerita Panji yang diusung sebagai tema festival, menyebar luas dan terinternalisasi mendalam di tengah masyarakat Bali. Tengok Gambuh, dramatari tua yang dianggap sumber tari dan gamelan Bali atau lihat pula teater rakyat Drama Gong, lakon-lakon utamanya bersumber dari cerita Panji. Rupanya, soal tak diundangnya Bali dalam perhelatan seni akbar itu mungkin karena tidak adanya seni pertunjukan bertopeng yang mengisahkan cerita Panji. Apa boleh buat, keindahan tari topeng Bali tak sempat disimak penonton festival tersebut. Padahal dramatari topeng Bali yang lazim menuturkan lakon babad dapat saja tampil dengan cerita Panji dimana tokoh Panji menggunakan karakter topeng Arsawijaya. Tapi sudahlah, mari cermati satu wakil dari dalam negeri (Topeng Losari Cirebon) dan satu wakil dari luar negeri (Singapura).  Jika duta seni Negeri Singa menyuguhkan tari topeng kontemporer, Topeng Losari hadir dengan ketradisiannya yang kental.

Identitas Kental

Sajian Topeng Losari ditandai dengan sebuah gawang 3×3 meter yang digelayuti beragam hasil pertanian. Pisang, terong, jagung, padi, dan umbi-umbian itu menjadi bingkai penampilan Topeng Losari Cirebon. Siang itu, Sanggar Topeng Purwa Kencana Cirebon tampil di panggung tertutup ISI Surakarta. Tak kurang dari 30 menit penonton menyimak penampilan generasi ketujuh dari salah satu gaya topeng Cirebon itu. Gaya Losari yang tata tarinya bernuansa Jawa Tengah tersebut kini eksis dan bahkan telah melawat ke luar negeri.

Penampilan Topeng Losari diawali oleh hadirnya seorang penari membelakangi penonton duduk khusuk di depan kotak wayang yang dikawal oleh seorang juru kecrek pria. Setelah gending gamelan bergulir dua-tiga menit, perlahan sang penari bangkit. Inilah penampilan tari Pamindo dengan topeng berwarna putih. Di Losari, topeng ini disebut Topeng Panji karena tokohnya bernama Panji Sutrawinangun. Laku estetika tubuh topeng Panji mengalir halus dan karismatik. Namun karena topeng ini menggambarkan karakter seorang raja yang berwibawa maka ditengah alunan kehalusannya muncul aksen-aksen gerak lugas yang mencerminkan ketegasan. Setelah topeng Panji berlalu mulailah pendramaan lakonnya yang menjadi identitas Topeng Losari. Topeng Cirebon pada umumnya terikat oleh struktur baku dengan sajian sekian watak manusia.

Selengkapnya unduh disini

“Untukmu, Menarilah Sukawatiku” Berkesenian Ala Desa

Kiriman : Kadek Suartaya, SSKar., M.Si (Dosen Jurusan Karawitan ISI Denpasar)

Sebuah garapan seni pertunjukan bertajuk “Siwa Murti Wisesa Sakti” dipersembahkan Desa Sukawati dalam parade seni di panggung terbuka Balai Budaya Gianyar, Jumat (17/4) lalu. Dibawakan tak kurang dari 250 pemain (penari, penabuh, dalang, dan paduan suara), garapan berdurasi sekitar 15 menit ini menyodorkan sebuah tawaran kreativitas seni yang banyak diperbincangkan penonton seusai pementasan. Pesona yang berhasil dipancarkan karya seni pentas itu mengundang sejumlah pertanyaan yang mengerucut kepada rasa penasaran sekitar proses berkeseniannya.

            Berkesenian bagi masyarakat Bali pada umumnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan religius-kultural masyarakatnya. Berkesenian dalam sanggaan budaya ngayah masih menggeliat. Namun di tengah kehidupan modern sekarang ini, berkesenian dengan orientasi profit kian menggejala, termasuk di Desa Sukawati yang terkenal dengan pasar seninya.  Dalam konteks pasar, idealisme berkesenian digeser ke pinggir. Ketika uang menjadi incaran, individualisme berkesenian menjadi sah-sah saja. Nah, justru proses penggarapan dan menguaknya karya seni “Siwa Murti Wisesa Sakti” bertolak belakang dari semua itu.

            Penggarapan karya seni ini beranjak dari perayaan HUT ke-244 Kota Gianyar. Berkesenian dalam konteks ini menggetarkan emosi ngayah kepada pemerintah. Bersama tujuh duta kecamatan yang ada di Kabupaten Gianyar, Desa Sukawati didaulat menyuguhkan sebuah seni pentas dalam sebuah parade. Kewajiban untuk menampilkan seni pentas dalam momentum itu mengobarkan  gereget jengah. Para tokoh seni dan ratusan generasi muda dari 13 banjar yang ada di desa Sukawati merapat dan bertekad menampilkan karya seni yang berarti. Merebak gelora nindihin Sukawati yang dikenal sebagai lumbung seni.

            Desa Sukawati sendiri, sejatinya memang lekat dengan jagat seni. Menurut tuturan babad desa setempat, nama Sukawati yang sebelumnya bernama Timbul berasal dari sebutan suka ati yang lama kelamaan menjadi sukawati. Dikisahkan pada akhir abad ke-18, Kerajaan Timbul menggapai puncak kejayaannya dimana aneka ragam kesenian yang menstimulasi rasa suka hati  penduduknya serta menjadi daya tarik orang luar untuk datang mengaguminya. Kini, identitas Sukawati sebagai desa seni belum pupus. Legong keraton, tari Bali nan indah itu, berakar dan membiak dari desa ini. Wayang kulit, teater tua adiluhung yang sarat nilai estetik-kultural, hingga kini masih segar bugar di Sukawati dan dianggap benteng wayang kulit klasik Bali.

            Lakon seni pentas “Siwa Murti Wisesa Sakti” terpilih, adalah tentu karena alasan kelekatan Sukawati  dengan jagat seni. Dikisahkan Dewa Siwa (Siwanataraja) menciptakan jagat raya dengan segala kehidupannya. Tetapi kehidupan di bumi kacau balau oleh ulah garang para raksasa. Dewa Siwa bersama para dewa lainnya (Dewata Nawa Sanga) mencoba menanggulanginya namun tidak berhasil. Untuk mengembalikan keharmonisan jagat, Dewa Siwa dalam wujud Siwanataraja menciptakan puspa ragam kesenian yang disambut suka cita dan suka hati oleh umat manusia. Keindahan legong keraton dan tutur bijak sajian wayang kulit membuat kaum raksasa terpesona dan dengan tenang kembali ke alamnya. Kehidupan di bumi kembali harmonis, sejahtera, dan damai.

Kita masih percaya, seni itu mendamaikan. Kandungan pesan inilah yang ingin diaktualisasikan dalam garapan seni pentas Sukawati tersebut. Ternyata, kedamaian berkesenian itu tak hanya untuk dikomunikasikan kepada penonton namun juga melingkupi proses kreatif yang berlangsung lebih dari dua bulan. Selama itu, mengalir dinamika kreatif  dalam bidang seni karawitan, seni tari, seni pedalangan, dan paduan suara. Keempat bidang seni yang menjadi formula garapan ini juga berkompromi menggalang berbagai kemungkinan olah kreativitas dan inovasi dalam arah satu tujuan yaitu mewujudkan sebuah ekspresi artistik, sebuah ungkapan seni pentas yang menggugah mata dan mampu menyapa rohani.

Penonton tampak tergugah menyaksikan pagelaran “Siwa Murti Wisesa Sakti”.  Gugahan dari garapan ini sudah berlangsung jauh-jauh sebelum pementasan di Balai Budaya Gianyar. Itu terjadi saat latihan-latihan di halaman luar Pura Dalem Gede Sukawati. Masyarakat setempat berduyun, tua dan muda, menunggui dengan antusias setiap latihan berlangsung. Semua itu dapat dijadikan pertanda bahwa rasa tenteram dan damai yang mampu membinarkan hati sanubari, merambat dan terpicu oleh kegiatan berkesenian yang melibatkan insan-insan muda Sukawati. Peristiwa dua kali kerauhan para penari saat latihan sedang berlangsung pun dapat dimaknai secara positif tentang adanya “apresiasi” terhadap garapan seni pentas ini dari alam niskala. 

Luasnya gaung penggarapan karya seni “Siwa Murti Wisesa Sakti” tak bisa dilepaskan dari penyeluruhnya keterlibatan para seniman dari berbagai bidang seni serta banyaknya insan-insan muda yang terlibat di dalamnya. Garapan yang kepanitiannya ditangani secara kedesaan adat dan dinas itu melibatkan tokoh-tokoh seni pertunjukan (tari, karawitan, dan pedalangan), seni rupa dari beragam spesialisasi, serta paduan suara. Dan, ratusan dari mereka yang terlibat sebagai pelaku adalah pelajar dan mahasiswa. Perhatian masyarakat Sukawati terhadap proses berkesenian ini menjadi mendapatkan tempat khusus.

Seni Kebyar Mendunia, Pemerintah Bali Tak Peduli

Kiriman : Kadek Suartaya, SSKar., M.Si (Dosen Jurusan Karawitan ISI Denpasar)

Telah 100 tahun seni kebyar  menunjukkan eksistensinya di tengah masyarakat Bali. Berawal dari munculnya gong kebyar di Bali Utara pada tahun 1915. Kehadiran gamelan dengan gaya estetik-musikal yang sarat gairah ini, memicu menguaknya seni tari baru yang berbeda dari tari tradisi yang telah mengkristal sebelumnya. Tari nafas baru dengan iringan gong kebyar inilah yang disebut seni kebyar atau kakebyaran. Kini, perkembangan seni kebyar tak pernah henti menggeliat dan menggebrak dalam kancah seni pertunjukan Bali.

          I Ketut Marya dapat disebut sebagai pionir lahirnya seni kebyar. Lewat karya cipta tarinya yang berjudul Kebyar Duduk yang mulai dikenal masyarakat sejak tahun 1925, era seni kebyar menggelinding di Bali. Pada tahun 1942 lahir tari Panji Semirang dan tari Mergapati karya I Nyoman Kaler. Tahun 1950 mencuat tari Tarunajaya olahan I Gede Manik. Selanjutnya, Ketut Marya yang namanya menginternasional dengan sebutan Mario menciptakan tari duet Oleg Tambulilingan (1952), I Nyoman Ridet dan I Wayan Likes menelorkan tari Tenun dan I Wayan Beratha melahirkan tari Tani (1957), dan seterusnya berdenyut kencang pada tahun 1980-an dengan lahirnya deretan tari yang bertema fauna, diantaranya,  tari Manukrawa (I Wayan Dibia), Kidangkencana (I Gusti Ngurah Supartha) dan tari Cendrawasih ( NLN. Swanthi Bandem).

          Di tengah sebagian masyarakat Bali, seni kebyar sering latah disebut legong atau lazim dinamai tari lepas. Seni kebyar pada umumnya dipentaskan sebagai seni tontonan atau hiburan masyarakat. Dalam perjalanannya, seni pertunjukan balih-balihan ini dapat disajikan secara tersendiri atau sering menjadi bagian pementasan tertentu. Ketika teater rakyat drama gong sedang naik daun pada tahun 1970-an, sebelum pertunjukan inti dimulai sering diawali dengan satu dua pagelaran seni kebyar seperti tari Tarunujaya, Wiranata, Panji Semirang, atau Oleg Tambulilingan. Demikian pula sebuah pementasan drama tari Prembon, sering dimulai dengan sajian tari lepas kebyar.

          Adalah Bung Karno, presiden pertama RI, sangat mengapresiasi seni kebyar dan sekaligus menyayangi para penarinya. Begitu besarnya perhatian sang presiden dengan kesenian Bali hingga sempat memberikan nama Tarunajaya pada karya tari Gede Manik yang kini memonumental itu. Munculnya seni kebyar dengan tema-tema sosialistik di Bali seperti tari Tenun, Nelayan, Tani dan sebagainya adalah merupakan peran langsung dan tidak langsung dari atmosfer sosial-kultural-politik yang digadang-gadang Bung Karno pada era kekuasaannya. Realitanya, Bung Karno, sering memamerkan kesenian Bali, termasuk seni kebyar, kepada tamu-tamu pentingnya, baik di Istana Tampaksiring maupun di Istana Negara Jakarta.

          Gong kebyar sebagai media gamelan pengiring tari kebyar kini tersebar merata di penjuru Bali. Selain banjar atau desa, gamelan yang dapat berfungsi fleksibel ini juga dimiliki sekolah-sekolah, kantor-kantor pemerintahan, dan tentu juga sanggar-sanggar seni pertunjukan yang kian tumbuh subur. Sejatinya, sejak tahun 1960-an, pementasan seni kebyar menjadi sebuah pertunjukan favorit masyarakat. Tidak sedikit pelaku seni tari tersohor karena kepiawaiannya membawakan tari kebyar tertentu. Ada yang namanya eksis dan virtuoso sebagai penari Tarunajaya, Kebyar Duduk, Panji Semirang dan sebagainya. Bahkan ada identifikasi seorang wanita Bali yang postur tubuhnya langsing semampai dengan rambut panjang menjuntai seperti Oleg Tambulilingan.

          Namun menginjak tahun 1990-an, pementasan tari-tari kebyar di tengah masyarakat Bali agak meredup. Fenomena tergerusnya perhatian penonton terhadap seni kebyar juga dialami seni tontonan Bali yang sebelumnya digemari seperti drama gong, arja, dan sendratari. Walau demikian, lembaga pendidikan formal seni seperti SMKI (kini SMK Negeri 3 Sukawati) dan STSI (kini ISI Denpasar) tetap konsisten mengajarkan dan menciptakan seni kebyar. Sementara itu, sanggar-sanggar seni mulai menunjukkan kontribusi yang signifikan pada keberadaan seni tari, tentu termasuk seni kebyar.

          Menapak tahun 2000-an, seni kebyar kembali bergairah. Sanggar-sanggar seni mampu menelorkan penari-penari seni kebyar yang andal. Salah satu pemicu menetasnya generasi muda unggul seni kebyar adalah lomba-lomba tari yang berlangsung secara sporadis hampir di seluruh Bali. Lomba-lomba tari yang digelar di bale banjar hingga di podium universitas itu mengkompetisikan seni kebyar, selain tari Baris, Jauk, dan Legong Keraton. Dari arena ini seni kebyar teraktualisasi di tengah masyarakat, karena umumnya para penabuh sebuah sekaa gamelan mengenal dan mampu mengiringi tari Panji Semirang, Wiranata, Tarunajaya, Oleg Tambulilingan hingga tari Manukrawa.

          Memperingati seabad seni kebyar, sudah sepatutnya para generasi muda Bali pelestari seni kebyar didorong unjuk kemampuan. Porsenijar (Pekan Seni dan Olahraga Pelajar) yang digelar pada bulan-bulan awal tahun adalah salah satu arena ideal bagi para pelajar berseni kebyar. Dinas Pendidikan Propinsi Bali sebagai penyelenggara, semestinya sudah mengantisipasi memasukkan dan merinci materi tari-tarian kebyar untuk ditampilkan pada lomba bidang seninya. Materi tari-tarian kebyar kiranya tepat diperuntukkan pada sajian tari putri; Panji Semirang (SD), Wiranata (SMP), dan Tarunajaya (SMA/SMK). Sedangkan untuk materi tari putra lebih relevan dilombakan tari non kebyar seperti Baris (SD), Jauk Keras (SMP) dan Jauk Manis (SMA/SMK). Melalui Porsenijar, pemerintah propinsi Bali dapat menunjukkan peran dan kepeduliannya membangun jagat seni, mengapresiasi tonggak seabad seni kebyar yang kini telah mendunia.

Siwanataraja Gelorakan Tari Kebesaran

Kiriman : Kadek Suartaya, SSKar., M.Si (Dosen Jurusan Karawitan ISI Denpasar)

Di Bali, belakangan ini, terasa ada gelora penciptaan seni tari di sejumlah perguruan tinggi hingga di sekolah-sekolah jenjang menengah. Karya cipta seni tari itu ditampilkan dalam kesempatan-kesempatan penting seperti misalnya saat dies natalis dan wisuda atau ulang tahun sekolah. Sajian seni pertunjukan ekspklusif itu disebut tari kebesaran.  Melalui tari kebesaran masing-masing– dilukiskan dalam estetika gerak dengan iringan gamelan–identitas atau visi dan misi universitas, institusi, sekolah bersangkutan.  Misalnya, Universitas Udayana (Unud) punya tari kebesaran “Udayana”, Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) bangga dengan tari kebesaran “Ganesha”, dan Universitas Saraswati memililiki tari kebesaran “Saraswati”.

          Gairah penciptaan dan pementasan tari-tari kebesaran itu membinarkan atsmosfer berkesenian yang menggembirakan. Betapa tidak. Seni tari sebagai ekspresi budaya, diapresiasi dan menunjukkan kemahadayaannya dalam konteks asumsi sebagai penciri, pencitra, dan pencerah, baik untuk kepentingan internal universitas atau sekolah pemiliknya maupun untuk permakluman kepada masyarakat luas. Hadirnya beragam cipta tari kebesaran tersebut, merupakan ruang berkesenian yang meletupkan denyut kreatif  seniman Bali, khususnya para penata seni tari dan pencipta tabuh iringan tari.

          Untuk menciptakan sebuah tari kebesaran memerlukan suatu rentetan proses kreatif, mulai dari rancangan konsep, tahap-tahap penggarapan, dan penampilan atau pementasan. Proses kreatif merancang konsep tari kebesaran “Saraswati” milik Universitas Saraswati misalnya, tentu harus disangga oleh pemahaman tentang figur Dewi Saraswati dari aspek mitologis, fiosofis, dan aspek relegi-kultural. Demikian pula pada proses kreatif tahap-tahap penggarapan, sang penggarap tari dan iringannya menjelajahi berbagai simbol gerak (koreografi) dan bunyi musik (komposisi), dalam tapsir estetik yang mampu mewakili isi atau pesan yang ingin dikomunikasikan.

          Komunikasi seni adalah dengan bahasa simbolik. Simbolisasi dalam bentuk tari kebesaran itu kini menjadi salah satu pemberi identitas perguruan tinggi-perguruan tinggi atau sekolah-sekolah di Bali. Tampaknya tak ada yang mengharuskan atau kewajiban perguruan tinggi atau sekolah di Bali memiliki tari kebesaran. Belum jelas pula, apakah dengan simbolisasi identitas atau visi-misi melalui media tari kebesaran itu akan atau telah mampu lebih memberikan spirit konstruktif kepada civitas akademika sebuah perguruan tinggi atau guru-guru dan para siswa sekolah. Namun yang tampak, keberadaan tari-tari kebesaran itu, saat dipentaskan, mampu menciptakan semacam “kewibawaan” dan debur kebanggaan pemiliknya.  

          Jika diteliksik, euporia merebaknya tari-tari kebesaran di Bali, tampak ada kaitannya dengan menguaknya tari kebesaran “Siwanataraja”.  Mitologi Hindu menuturkan, Siwanataraja adalah manifestasi Dewa Siwa sebagai raja diraja kesenian. Geliat tubuh yang magis dan gerakan tangan kedua tangan Siwanataraja yang disebut mudra memancarkan energi aneka rupa wujud nan indah yang dianugrahkan kepada umat manusia. Pesona indahnya ciptaan Dewa Siwa itulah memercikkan kedamaian hati sanubari kehidupan manusia di bumi. Seni dalam beragam ekspresinya menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan relegi-sosial-kultural masyarakat manusia. Umat Hindu lalu memuja Siwanataraja sebagai dewa kesenian yang maha asih.   

           Figur Dewa Siwa sebagai dewa kesenian itu divisualisasikan menjadi tari kebesaran Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar pada tahun 1990. Sajian tari kebesaran yang bertajuk “Siwanataraja” dalam setiap dies natalis dan wisada kampus seni itu, yang mengundang berbagai kalangan, rupanya menggugah kampus-kampus lainnya di Bali untuk tak kalah gengsi membuat tari kebesaran. Selain Unud, Undiksa, Universitas Saraswati yang telah disinggung di atas, sekolah-sekolah menengah juga tak ketinggalan membuat tari kebesarannya masing-masing, seperti SMK Negeri 3 Sukawati (dulu bernama Kokar) memiliki tari kebesaran “Semara Adi Guna”.

          Tari kebesaran “Siwanataraja” ISI Denpasar digarap oleh N. L. N. Swasthi Widjaja Bandem (koreografer) dan I Nyoman Windha (komposer). Cipta tari yang berdurasi sekitar tujuh menit ini dibawakan oleh sembilan penari putri, seorang sebagai Dewa Siwa, dan delapan orang lainnya sebagai pancaran cahaya atau sinar suci. Struktur sajiannya terbagi tiga yaitu diawali dengan penampilan Dewa Siwa menari tunggal dalam laku koreografi yang simbolik magis, lalu memancar sinar dibawakan delapan penari dalam lenggang mengayun lembut berseling beberapa variasi perubahan pola lantai, dan terakhir Dewa Siwa dengan sinar-sinarnya bersatu padu dalam tempo menanjak menuju ritme nan lincah, ditutup dengan  konfigurasi seluruh penari di mana tokoh Siwanataraja menjadi pusat pujaan.

          Ditata dalam balutan kostum modivikasi yang memadukan warna biru dan kuning, tari kebesaran “Siwanataraja” terasa anggun dan agung. Perbendaharaan gerak tari Bali dalam ramuan stilisasi  unsur-unsur tari bharatanatyam India, menjadikan tari ini hadir dengan penampilan estetika yang apik lewat simbol laku tari serta tata karawitan yang imajinatif. Penampilan tari kebesaran “Siwanataraja” yang menawan secara bentuk dan mengesankan secara makna dan isi itulah  yang diduga kuat, kini menginspirasi penciptaan tari-tari kebesaran di sejumlah perguruan tinggi dan sekolah-sekolah di Bali. Tampaknya di Bali, Siwanataraja sebagai dewa kesenian tak hanya hidup dalam psiko-mitologis namun nyata menganugrahkan sinarnya dalam realita berkesenian.        

Kasih Sayang Bung Karno Pada Kesenian Bali

Kiriman : Kadek Suartaya, SSKar., M.Si (Dosen Jurusan Karawitan ISI Denpasar)

Bung Karno adalah salah satu pemimpin dunia yang dikenal sebagai penyasang seni. Kasih sayang presiden pertama RI ini terhadap jagat seni begitu  merasuk, termasuk terhadap kesenian dan seniman Bali. Tengoklah, sebuah garapan seni bertajuk “Sirna Ilang Kertaning Bali“ yang disajikan oleh insan-insan seni Desa Sukawati, Sabtu (26/9/2015) malam.  Seni pentas yang menyodorkan tema  tentang kedamaian seni tersebut, diantaranya, mengisahkan bagaimana Bung Karno membanggakan kesenian Bali kepada masyarakat dunia.

          Istana Tampaksiring, menjadi arena yang intim bagi para seniman dimana para seniman  terbaik Bali mendapat perhatian istimewa dari Bung Karno.  Bung Karno dengan penuh kebanggaan menyuguhkan tari-tarian Bali seperti tari janger, legong keraton, tari-tarian kebyar, kepada tamu-tamu terhormatnya. Pada suatu hari di tahun 1950, Bung Karno terkagum-kagum dengan sebuah tari ciptaan baru. Kepada I Gede Manik, sang pencipta tari itu Bung Karno bertanya: “Pak Gede Manik, tari ciptaan bapak lain dari pada yang lain, bagus, bagus sekali!Tari apa namanya?” I Gede Manik menjawab polos, “Belum punya nama paduka presiden”. “Oh, begini Pak Manik, melihat dari gerak gerik semangat, dinamis dan lugasnya tari ciptaan bapak ini, aku melihat adanya gelora generasi muda yang pantang menyerah berjuang memajukan bangsanya. Oleh karena itu, tari ini aku beri nama Tarunajaya, setuju?”

          Adegan pemberian nama Tarunajaya itu adalah awal pemunculan tokoh Bung Karno pada garapan seni pentas yang dibawakan oleh 150 orang pelaku seni itu.  Pengayoman sang proklamator kemerdekaan Indonesia ini pada seni dan seniman Bali juga disuguhkan melalui semarak tari janger. Dilukiskan, tokoh Bung Karno berdiri gagah di tengah-tengah kemeriahan dan kegirangan muda-muda Bali menari janger. Di tengah lenggang dan lantunan janger itu, Bung Karno berucap lantang: “Hawai, para pemuda, singsingkan lengan bajumu, bangun kedigjayaan bangsamu, raihlah cita-cita setinggi langit!, untuk itu bersatulah! Ingatlah, bersatu kita teguh bercerai kita runtuh”.

          Sebagai orator ulung, Bung Karno berkontribusi menyemangati kehidupan berkesenian di Pulau Bali. Seperti, tari Tarunajaya semakin berkibar di tempat kelahirannya di Bali Utara bagian timur serta merangsang munculnya tari yang tak kalah apik dengan tari Tarunajaya yaitu tari yang juga bernuansa heroik, Wiranjaya, di wilayah Buleleng bagian barat. Tari Tarunajaya bahkan menyebar ke seluruh Bali dan hingga kini terus dipentaskan menjadi tari kebyar favorit masyarakat Bali.

Tari Tarunajaya memang  mempesona. Ekspresi estetik yang disajikan dan gelora optimistik yang dipancarkan sungguh menggugah. Cipta tari yang cikal bakalnya yaitu tari Kebyar Legong,  menguak dari Bali Utara sebelum zaman kemerdekaan itu, berhasil menembus selera estetik masyarakat Bali secara lintas zaman. Tari yang lazim dibawakan oleh penari wanita itu masih konsisten menunjukkan energisitasnya.  Tarunajaya dapat dipandang sebagai representasi dari konsistensi semangat pemuda Bali dalam rona artistik. Simaklah, betapa dinamisnya ungkapan estetik pada tari yang dibalut dengan busana ornamentik ini. Hayatilah, betapa berbinarnya semangat pantang menyerah yang terasa dalam tampilan gerak, mimik dan ayunan lincah iringan gamelannya.  Bung Karno yang memiliki kepekaan seni nan tajam pun terhujam dibuatnya.

Sebagai pemimpin bangsa, Bung Karno juga menunjukkan ketertarikan pada kesenian Bali berwajah kerakyatan. Soekarno begitu gandrung dengan tari janger. Keriangan dan penuh semangat yang menjadi karakter tari ini menggugah presiden berdarah Bali itu  memberikan perhatian dan dorongan terhadap perkembangan seni pentas ini. Saat konfrontasi Indonesia dan Malaysia pada tahun 1963, sekaa-sekaa janger yang marak di seluruh Bali dengan lantang memekikan “Ganyang Malaysia!“, baik dalam bentuk lagu maupun dalam lakon yang melengkapinya. Janger sebagai ungkapan seni juga sering diusung Bung Karno ke Istana Tampaksiring sebagai seni pentas terhormat bagi tamu-tamu negara.

Bung Karno tidak hanya sebatas membanggakan kesenian Bali kepada tamu-tamunya, namun juga terlibat memberikan saran-saran kepada pelakunya. Misalnya ketika Bung Karno mengundang  grup  Cak Bona  pentas di Istana Tampaksiring untuk menyambut Presiden  Uni Soviet   Nikita  Khrushchev  pada tahun  1960.  Sebagai sebuah pementasan  seni  yang disuguhkan bagi  tamu kehormatan  negara, dirasakan kurang sopan menampilkan tari ini dengan  para pemain yang hanya memakai selembar kain hitam yang menutup bagian  vital saja. Bung Karno menyarankan para pemeran tokoh-tokoh seperti Rama,  Laksmana, Sita  dan lain-lainnya memakai busana meniru busana  tari  Wayang Wong. Bung Karno juga mengusulkan agar jumlah penari yang awalnya sekitar 50 orang ditambah menjadi 100 orang yang duduk melingkar berlapis-lapis.

Tak hanya ngecak dengan 100 penari, Bung Karno lebih jauh meminta agar dapat ditampilkan  cak dengan lebih dari 1000 penari untuk memeriahkan perayaan ulang  tahun  proklamasi  ke-13   Republik Indonesia. Bahkan Bung Karno meminta penarinya harus wanita. Maka pada tahun 1958 itu berangkatlah para seniman Cak Bona I Nengah Mudarya,  I  Gusti  Putu Wates, dan Ni  Wayan Manis  ke Jakarta melatih  1.500  wanita  menjadi penari  cak. Sukses  pementasan tari  cak wanita itu  mendorong Bung  Karno  menggelarnya kembali pada pembukaan  pesta  olahraga Ganefo di Jakarta, pesta olahraga dari negara-negara yang dikelompokkan oleh Bung  Karno sebagai new emerging forces, di tahun 1962. Pada momentum yang sama, Bung Karno juga memamerkan keindahan kesenian Bali yaitu tari Pendet yang dibawakan oleh 1000 orang gadis-gadis Bali.

Kasih sayang dan kebanggaan Bung Karno pada seni dan seniman Bali adalah penggalan kisah pengayoman seni yang menjadi bagian keseluruhan dari garapan seni pentas “Sirna Ilang Kertaning Bali“ para insan seni Sukawati.  Seni Pertunjukan yang berdurasi 1,5 jam ini diawali bencana kehidupan manusia yang didera krisis moral. Dewa Siwa dalam wujud Siwanataraja kembali menata harmoni kehidupan dengan damainya keindahan seni. Dikisahkanlah kemudian  masa keemasan kesenian Bali di abad ke-16 pada pemerintahan Dalem Waturenggong hingga atsmosfer kehidupan seni di Bali pada zaman republik, khususnya di era kepemimpinan Sang Putra Fajar, Bung Karno.

Setengah Abad Pesona Sendratari Ramayana Bali

Kiriman : Kadek Suartaya, SSKar., M.Si (Dosen Jurusan Karawitan ISI Denpasar)

Bagi orang Bali dan masyarakat Indonesia, tahun 1965 dikenang sebagai era genting dan getir. Suasana politik yang membara, memicu kehidupan sosial yang gerah. Nilai rupiah yang ambruk mengguncang kehidupan ekonomi masyarakat terjungkal ke titik nadir. Akan tetapi tahun 1965 yang penuh duka nestapa itu juga memercikan bulir keindahan yang bersemai dalam jagat seni. Di salah satu sudut kota Denpasar (Badung) lahir sebuah cipta seni, Sendratari Ramayana, karya I Wayan Beratha. Berbeda dengan peristiwa G30S tahun 1965 yang hingga sekarang masih berselimut kabut, Sendratari Ramayana melenggang cerah monumental.

            Kini, sudah setengah abad (50 tahun) Sendratari Ramayana berkiprah mengisi perjalanan kesenian Bali. Sebagai sebuah pertunjukan baru saat itu, seni pentas yang pada awalnya dibawakan oleh  siswa-siswa Kokar (Konservatori Karawitan) Bali, diterima dengan antusias di tengah masyarakat Bali yang pada umumnya cukup intim dengan cerita Ramayana. ASTI (Akademi Seni Tari) Denpasar yang berdiri tahun 1967 juga ikut menyajikan Sendratari Ramayana hingga ke pelosok-pelosok desa, sehingga membuat seni pertunjukan ini semakin populer. Pada tahun 1970-an, Sendratari Ramayana yang dibawakan Kokar dan ASTI menjadi salah satu seni tontonan favorit masyarakat Bali.

      Sendratari Ramayana karya Wayan Beratha yang kurang begitu dikenal oleh generasi muda masa kini tersebut, 3 Januari 2015 lalu, disuguhkan di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Melalui tajuk Mengenang Mpu Seni Karawitan Bali I Wayan Baratha ,   tiga karya  Pak Beratha—demikian secara hormat almarhum disebut, dibeber kepada khalayak, dan sendratari Ramayana menjadi pamuncak. Pagelaran sendratari “klasik“ itu  dibawakan oleh para seniman senior yang pernah mengecap ilmu dari almarhum. Diantaranya,  Prof. Dr. I Wayan Dibia, SST, MA (Anoman), Cokorda Raka Tisnu, SST, M.Si (Rahwana), dan Cokorda Putra Padmini, SST, M.Sn (Sita). Sementara itu para penabuh yang akan tampil adalah Dr. I Nyoman Astita, MA,  I Ketut Gede Asnawa, S.S.Kar, MA, I Nyoman Windha, S.S.Kar, MA, I Wayan Suweca, S.S.Kar, M.Si, I Wayan Suweca, S.S.Kar, M.Mus dan lain-lainnya, termasuk Rektor ISI Denpasar, Dr. I Gede Arya Sugiartha, S.S.Kar, M.Hum.

       Sejatinya, sebelum menciptakan Sendratari Ramayana, Wayan Beratha telah menciptakan Sendratari Jayaprana pada tahun 1962. Sendratari yang mengangkat lakon legenda romatik-tragik daerah Bali Utara itu adalah sendratari pertama Bali setelah munculnya seni pentas dengan prinsip estetik yang sama (Sendratari Ramayana Prambanan) di Jawa Tengah pada tahun 1961. Wayan Beratha juga menciptakan Sendratari Mayadanawa (1966) dan Sendratari Rajapala (1967) yang sempat dikenal masyarakat di tahun 1970-an.     

Empu seni I Wayan Beratha yang memiliki sumbangsih penting pada seni pertunjukan Bali, telah berpulang pada hari Sabtu 10 Mei 2014 dalam usia sepuh 91 tahun. Dalam rentang perjalanan hidupnya, maestro seni karawitan dan tari yang dilahirkan pada tahun 1923 di Banjar Belaluan, Denpasar, ini telah mementaskan kesenian Bali ke berbagai perjuru dunia. I Wayan Beratha dikenal sebagai tokoh pembaharu gamelan kebyar dan pencetus lahirnya sendratari Bali, sehingga sangat pantas diusung sebagai Bapak sendratari Bali. Bali telah kehilangan seniman besar yang rendah hati.

Selengkapnya unduh disini

Loading...