Proses Pembuatan Prasi II

Proses Pembuatan Prasi II

Oleh Drs. I Nyoman Wiwana, dosen PS Seni Rupa Murni

Peralatan

Segala sesuatu yang ingin dibuat, diadakan sudah tentu memerluka peralatan untuk mewujudkannya. Demikian halnya dengan pembuatan seni lukis prasi menggunakan alat yang kalau dicermati masih sngat tradisional. Peralatan melukis prasi, khususnya sesuai dengan hasil pengamatan dilapangan tidak mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Demikian pula bila dibandingkan dari beberapa tempat yang membuat lukisan prasi, hanya penamaan yang mungkin berbeda, tapi bentuk dan fungsinya sama.

Alat untuk melubangi lontar disebut inra di Tenganan Pegringsingan, dan Jempurit di Sidemen dan sekitarnya. Indra atau jempurit terbuat dari kawat baja berdiameter 4 mm. Kawat dipotong tajam berbentuk huruf v. Kemudian ujung yang berbentuk huruf v ditempelkan pada lontar yang akan dilubang, dengan memutar seperti jangka, sampai lubang terbentuk dengan sempurna. Lubang digunakan khusus untuk lontar yang memakai tali. Sedangkan lontar yang tidak memakai tali tidak perlu diberi lubang. Jumlah lubang disesuaikan, untuk lontar ukuran panjang diberi tiga lubang, yaitu pada ujung kiri dan kanan serta di tengah. Sedang lontar yang ukuran kecil cukup diberi dua lubang pada ujung-ujungnya.

Alat pres, seperti tampak pada foto di bawah, yang terbuat dari balok-balok kayu disebut Blagbag. Fungsinya disamping untuk mengencangkan lembaran-lembaran lontar, juga sebagai alat menyimpan lontar yang belum ditulisi. Ukuran alat disesuaikan dengan ukuran daun lontar.

Dengan alat yang sederhana ini permukaan daun lontar akan selalu terjaga. Pada foto kelihatan lontar yang disimpan pada alat tersebut. Terlihat sangat sederhana (tradisional), tetapi sangat epektif, bisa digunakan berulang kali, menyimpan dalam jumlah banyak mupun sedikit.

Selanjutnya, peralatan menulis menggunakan pisau khusus yang disebut Mutik atau Pangrupak. Mutik atau Pangrupak digunakan untuk menggabar dengan membuat torehan di atas daun lontar. Alat tersebut juga merupakan penentu dari mutu karya yang dihasilkan. Jika diperhatikan alat tersebut juga memiki ragam bentuk dan ukuran sesuai kegunaan.

Proses Pembuatan Prasi II selengkapnya

Pendidikan Berhasil Tingkatkan Daya Saing Indonesia

Pendidikan Berhasil Tingkatkan Daya Saing Indonesia

Jakarta — Daya saing Indonesia pada tataran global menunjukkan peningkatan. Peringkat Indonesia dalam The Global Competitiveness Report 2009-2010 atau Global Competitiveness Index (GCI) naik dari 54 per 133 negara pada 2009, menjadi 44 per 139 negara pada 2010.

Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh menyampaikan, ada tiga komponen utama dari 12 komponen yang mempengaruhi peningkatan daya saing Indonesia. Komponen itu adalah kondisi makroekonomi, kesehatan dan pendidikan dasar, serta pendidikan tinggi dan pelatihan. “Komponen pendidikan mengalami kenaikan dan memberikan kontribusi signifikan terhadap peningkatan daya saing Indonesia,” katanya kepada wartawan di Kemdiknas, Jakarta, Jumat (17/9).

Nuh menjelaskan, berdasarkan GCI 2009-2010, skor kondisi makroekonomi Indonesia 4,8 di peringkat 54 dari 133 negara. Posisi Indonesia, berdasarkan GCI 2010-2011, skornya naik menjadi 5,2 dan menempati peringkat 44 dari 139 negara. “Makroekonomi kita bagus nilainya,” ujarnya.

Adapun komponen-komponen pada GCI adalah kelembagaan, infrastruktur, kondisi makroekonomi, kesehatan dan pendidikan dasar, pendidikan tinggi dan pelatihan, efisiensi pasar, efisiensi pasar kerja, perkembangan pasar uang, kesiapan teknologi, ukuran pasar, kecanggihan bisnis, dan inovasi.

Skor komponen kesehatan dan pendidikan dasar naik dari 52 menjadi 5,8 dan peringkatnya naik dari 82 ke 62. Sementara untuk pendidikan tinggi dan pelatihan skornya naik dari 3,9 ke 4,2 dan peringkatnya naik dari 69 ke 66. “Pendidikan punya kontribusi besar dalam menaikkan ranking,” katanya.

Mendiknas memerinci, perubahan peringkat GCI Indonesia terkait pendidikan pada komponen pendidikan dasar dipengaruhi oleh kualitas pendidikan dasar dari peringkat 58 pada 2009-2010 naik ke 55 pada 2010-2011. Kemudian, partisipasi pendidikan dasar dari peringkat 56 ke 52. Adapun pada komponen pendidikan tinggi dan pelatihan dipengaruhi oleh partisipasi pendidikan tinggi dari peringkat 90 ke 89, kualitas sistem pendidikan dari peringkat 44 ke 40, kualitas matematika dan sains dari peringkat 50 ke 46, dan akses internet di sekolah dari peringkat 59 ke 50.

Komponen lainnya yang mempengaruhi peningkatan daya saing Indonesia adalah inovasi. Berada di peringkat 39 pada 2009-2010 naik ke 36 pada 2010-2011. Komponen ini dipengaruhi tiga faktor yaitu kualitas lembaga penelitian, kerja sama penelitian industri dengan perguruan tinggi, dan ketersediaan ilmuwan dan ahli teknik. Faktor kerja sama penelitian industri dengan perguruan tinggi memberi kontribusi kenaikan peringkat dari 43 ke 38. (agung)

Sumber: http://www.kemdiknas.go.id/list_berita/2010/9/18/daya-saing.aspx

Kemdiknas Kaji Biaya Pendidikan Agar Lebih Terjangkau

Kemdiknas Kaji Biaya Pendidikan Agar Lebih Terjangkau

Jakarta Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) mentargetkan sebanyak 10 persen siswa dari kelompok keluarga miskin dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Target ini ditetapkan untuk menaikkan angka partisipasi kasar (APK). Ada tiga skenario yang telah dipersiapkan Kemdiknas.

Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh menyampaikan, untuk meningkatkan akses siswa miskin dilakukan dengan memberi beasiswa BIDIK MISI bagi 20 ribu calon mahasiswa. Langkah kedua, meminta perguruan tinggi, terutama negeri, untuk memberikan tempat khusus bagi siswa miskin. “Ketiga, kami ajak perusahaan dengan memanfaatkan corporate social responsibility (CSR) untuk memotong mata rantai terlemah,” katanya seusai silaturahim Hari Raya Idul Fitri 1431 H di Kemdiknas, Jakarta, Rabu (15/09/2010).

Mendiknas mengungkapkan, jumlah siswa miskin yang dapat masuk ke perguruan tinggi pada 2008 sebanyak empat persen, sedangkan pada 2009 mencapai 6,19 persen. “Ada kenaikan dua persen dari seluruh populasi orang yang sangat miskin,” katanya.
Pada sisi lain, Mendiknas menyampaikan saat ini Kemdiknas sedang mengkaji inflasi di dunia pendidikan. Kajian ini dilakukan untuk melihat peningkatan biaya di dunia pendidikan. “Dengan kajian inflasi pendidikan kita harapkan ada policy (kebijakan) baru,” ujarnya.

Mendiknas melanjutkan, dengan kebijakan baru ini diharapkan mampu meningkatkan keterjangkauan masyarakat untuk mengenyam pendidikan. Mendiknas mencontohkan, pihaknya bersama pemerintah daerah bertekad pada 2011 mampu melunasi jumlah ketersediaan buku teks pelajaran di sekolah. “Kami lunasi buku SD lunas sembilan mata pelajaran, sedangkan buku SMP lunas 10 mata pelajaran, sekaligus LKS dan KKS,” katanya.

Mendiknas menyampaikan, saat ini dana bantuan operasional sekolah (BOS) telah memenuhi ketersediaan tujuh dari sembilan buku mata pelajaran SD dan tujuh dari sepuluh buku mata pelajaran SMP. (agung)

Sumber: http://www.kemdiknas.go.id/list_berita/2010/9/17/inflasi.aspx

Proses Pembuatan Prasi I

Proses Pembuatan Prasi I

Oleh Drs. I Nyoman Wiwana, dosen PS Seni Rupa Murni

Seni lukis prasi merupakan salah satu karya seni rupa tradisional Bali, termasuk warisan budaya nenek moyang yang memiliki nilai estetika tinggi dan mempunyai karakteristik tersendiri. Bahan dasar terbuat dari daun lontar yang sampai sekarang masih tetap dilestarikan. Seni lukis prasi yang terbuat dari daun lontar dengan gambar ilustrasi wayang di dalamnya, merupakan transpormasi dari naskah/kitab sastra, seeperti: kakawin, kidung dan sebagainya, yang ditulis atau digambar dengan menggunakan pisau khusus yang disebut pangrupak.

Untuk menyingkap rahasia maupun kekhususan dari cara pembuatan lukisan prasi, harus dikaji dan dicermati proses keseluruhan, mulai dari menyiapkan/pengolahan bahan baku, peralatan yang dipakai, teknik menulis pada daun lontar (teknik menggambar)penulisan  sampai pewarnaannya.

Pengolahan Bahan

Bahan utama sebagai dasar untuk membuat gambar prasi adalah daun lontar. Istilah lontar dan rontal di Bali umumnya disamakan. Lontar adalah bentuk metatesis dari kata rontal. Kata rontal terdiri dari dua patah kata, yaitu ron dan tal. Kata ron dan tal itu termasuk bahasa Jawa Kuna yang diperkirakan sudah ada sebelum jaman Raja Balitung, awal abad ke-10. Ron artinya daun, dan tal artinya pohon. Kata rontal dan lontar itu sudah menjadi perbendaharaan bahasa Indonesia umum (Suwidja, 1979:1).

Dengan begitu, sebutan daun rontal dipakai untuk menyebut daun dari pihon lontar yang sebelum dipergunakan sebagai bahan tulis. Sedang setelah ia dipakai sebagai bahan tulis seperti tulisan naskah kakawin, kidung, dan gegambaran, maka ia disebut lontar. Maka muncul pula  nama atau istilah yang memakai kata “Pustaka Lontar” maupun “budaya lontar”.

Untuk mengenal lebih dekat tentang bahan baku khususnya lontar di Bali, sebaiknya terlebih dahulu diketahui tentang daun lontar itu sendiri. Daun rontal sebagai bahan baku utama seni lukis prasi dihasilkan oleh pohon rontal (barrosus sundaicus), termasuk keluarga palma (palmacase) Pohon ini tumbuh di daerah tropis dengan keadaan tanah yang kering serta curah hujan yang rendah/jarang (Suwidja, 1979:2).

Kabupaten Karangasem yang terletak paling Timur pulau Bali, yang merupakan kabupaten mewilayahi lokasi penelitian ini mempunyai karakteristik seperti yang disebutkan di atas, yaitu musim kemaraunya panjang, banyak lahan yang mengalami kekeringan dan tandus. Di wilayah kabupaten Karangasem, ada dua kecamatan, yaitu kecamatan Abang dan kecamatan Kubu, yang memiliki lahan tanaman pohon rontal yang persebarannya cukup luas. Hampir semua desa-desa yang wilayahnya berbatasan dengan kedua wilayah kecamatan tersebut banyak tumbuh pohon lontar. Di antaranya, desa Datah, kecamatan Abang dan desa Kubu serta desa Tianyar yang merupakan wilayah perbatasan antara kabupaten Karangasem dengan kabupaten Buleleng. Di wilayah desa tersebut, didominasi oleh jenis tumbuhan pohon rontal dibandingkan dengan jenis tumbuhan yang lainnya. Tumbuhnya pohon rontal secara liar, tumbuh dengan sendirinya tanpa melalui pembudidayaan. Daun rontal, biasanya dijual ke tempat-tempat pembuatan seni lukis prasi oleh penduduk desa penghasil daun rontal. Salah satu di antaranya adalah desa Tenganan Pegringsingan,  yang dipilih jadi lokasi penelitian ini.

Proses Pembuatan Prasi I selengkapnya

Partisipasi Sekolah Siswa Miskin Cenderung Naik

Partisipasi Sekolah Siswa Miskin Cenderung Naik

Jakarta Partisipasi sekolah siswa dari keluarga termiskin mengalami kenaikan. Berdasarkan data Susenas 2004-2009,  angka partisipasi murni (APM) sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah siswa dari golongan keluarga termiskin meningkat dari 49,97 persen pada 2004 menjadi 61,89 persen pada 2009.

“Anak-anak yang latar belakang ekonomi sangat miskin pun punya kesempatan untuk masuk SMP,” kata Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh saat memberikan keterangan pers di Kemdiknas, Jakarta, Jumat (17/9/2010).

Mendiknas menyampaikan, tren kenaikan ini diikuti dengan semakin kecilnya gap APM siswa termiskin dengan siswa dari golongan keluarga terkaya. Dijelaskannya, pada 2004 gap APM siswa termiskin dibandingkan siswa terkaya mencapai 30 persen. Pada 2009, jaraknya hanya tinggal tujuh persen. “Gap-nya sudah semakin kecil dan trennya naik,” ujarnya.

Mendiknas melanjutkan, tren kenaikan partisipasi sekolah siswa miskin juga terjadi pada jenjang sekolah menengah atas (SMA). Angka partisipasi kasar (APK) SMA/SMK/MA 2003 siswa termiskin 23,2 persen naik menjadi 39,1 pada 2008 dan 54,3 persen pada 2009. “Intervensi bantuan operasional sekolah (BOS) memastikan kenaikan ini,” katanya.

Kenaikan ini juga diiringi dengan berkurangnya gap partisipasi sekolah siswa termiskin dan terkaya. APK SMA/SMK/MA siswa terkaya 81,7 persen pada 2003 menjadi 79,5 persen pada 2009. Gap APK siswa termiskin dibandingkan dengan siswa terkaya berkurang dari 58,5 persen menjadi 25,2 persen. Nilai penurunannya 33,3 persen.

Pada jenjang pendidikan tinggi APK siswa termiskin naik dari 0,98 persen pada 2003 menjadi 6,31 pada 2009. Adapun APK siswa terkaya tidak mengalami perubahan signifikan dari 31,3 padan 2003 menjadi 32,6 pada 2009. “Ada kenaikan, tetapi harus digenjot lagi,” ujar Mendiknas.

Adapun APM untuk jenjang sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) tidak mengalami tren kenaikan yang signifikan. APM SD/MI siswa termiskin pada 2003 91,4 persen, sedangkan pada 2009 93,2 persen. Persentase gap antara siswa termiskin dan terkaya pun tidak mencolok. APM SD/MI siswa terkaya pada 2003 91,6 persen, sedangkan pada 2009 94,4 persen.

“Untuk urusan SD atau MI itu gap antara  terkaya dan termiskin hampir tidak ada, hanya satu persen. Artinya anak-anak yang latar belakang sangat miskin maupun sangat kaya semuanya bisa masuk ke SD,” ujar Menteri Nuh. (agung)

Sumber: http://www.kemdiknas.go.id/list_berita/2010/9/17/miskin.aspx

Loading...