Proses daur ulang limbah batu padas sebagai bahan Patung

Proses daur ulang limbah batu padas sebagai bahan Patung

Oleh I Nyoman Parnama Ricor

Data yang kami peroleh setelah melakukan pengumpulan data di tempat perajin Desa Batubulan Kabupaten Gianyar pada bulan Juni 2007 adalah tidak ditemukan lagi proses daur ulang limbah batu padas hasil proses pembuatan patung menjadi bahan yang siap pakai kembali. Saat ini yang ada adalah pemanfaatan batu padas berupa serbuk halus sebagai bahan kerajinan patung dan kerajinan lainnya  dengan cara dicetak, jadi bukan pemanfatan limbah perajin setempat. Perbandingan pencampuran bahan batu padas halus dengan semen 5:1 (5 serbuk padas dan 1 semen halus). Untuk memudahkan dalam proses pencampuran dan pencetakan digunakan air sebagai pengencer. Serbuk batu padas halus ini dibeli dan dibawakan langsung oleh penghasil batu padas di Desa Belayu Kecamatan Marga Kabupaten Tabanan. Serbuk batu padas ini merupakan olahan perajin ditempat penambangan batu padas. Serpihan-serpihan batu padas sisa hasil penambangan dan pembentukan batu padas berbentuk persegi dihaluskan kembali sehingga menghasilkan serbuk halus yang siap dijual. Maka lebih tepat dikatakan bahwa proses penghalusan limbah batu padas oleh penambang batu padas dan pemanfaatannya oleh perajin dengan teknik cetakan. Batu padas ada juga ditemukan dalam bentuk serbuk halus, sehingga tidak memerlukan proses penghalusan kembali.

Proses pencetakan patung dan jenis kerajinan lainnya diawali dengan pembuatan model benda yang akan dicetak. Model ini bisa dibuat dengan bahan kayu untuk ukuran benda lebih kecil, atau benda yang sudah jadi dari bahan batu padas seperti jenis-jenis patung. Model ini kemudian dibuat cetakan negatifnya. Sebelum dicetak model ini diolesi minyak pelumas bekas untuk memudahkan pemisahan cetakan dan model pada waktu pembukaan. Cetakan negative ini dibuat dari campuran semen dan pasir (PC). Cetakan tersebut ada belah 2, 3 dan 4 tergantung dari kerumitan benda yang akan dicetak. Penggunaan PC sebagai cetakan karena pertimbangan kekuatan dan juga mempunyai daya serap air cukup baik, pembuatannya lebih mudah dan biaya relative lebih murah dibandingkan dengan menggunakan bahan lainnya. Berikut contoh-contoh cetakan belah dua dan hasil cetakannya :

Campuran/adonan serbuk padas dan semen ditambahkan air secukupnya dan diaduk sampai rata. Campuran ini dibuat agak encer untuk membuat hasil cetakan lebih tajam, karena bahan akan masuk sampai lekukan-lekukan cetakan yang paling rumit. Untuk membuat bahan cetakan lebih rata masuk kedalam lekukan-lekukan cetakan dapat dilakukan dengan mengaduk adonan dalam cetakan dengan sebatang kayu atau alat lainnya secara merata dan perlu diperhatikan jangan sampai alat pengaduk tersebut merusak bagian dalam cetakan. Cetakan yang tajam, pengerjaan finishing akan lebih mudah dan lebih cepat. Cetakan sebelum dipergunakan diolesi oli bekas supaya campuran PC tidak melekat dengan cetakan sehingga lebih mudah dalam proses pembukaan. Campuran kemudian dituangkan pada cetakan yang telah diikat dengan tali, dan didiamkan 1-2 hari sampai bahan tersebut cukup kering dan cukup kuat untuk dibuka. Pada 1 hari pertama tali cetakan tidak boleh lepas. Jika tali pengikat lepas dan tidak kuat cetakan akan bocor dan hasil cetakan dapat menyebabkan tidak penuh dan patah.   Jika hasil cetakan sudah cukup kuat untuk dibuka maka proses pembuakaan dapat

Penghancuran Estetika Kota: Bangunan Bersejarah di Kota Medan

Oleh: Asmyta Surbakti, Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, diterbitkan dalam Jurnal Mudra Edisi Januari 2008

Kota Medan sebagai salah satu kota besar di Indonesia berpenduduk sangat heterogen dengan kehidupan multikulturalnya yang sudah dikenal sejak ibukota Provinsi Sumatera Utara ini berdiri pada pertengahan abad ke-16. Pola kehidupan plural sejak pra-Indonesia seperti itu tercermin juga dalam kebudayaan fisik kotanya melalui ratusan bangunan bersejarah tinggalan kolonial yang sangat menarik, yang saat ini dapat disaksikan terutama dalam berbagai fungsi baru seperti rumah tinggal, kantor, hotel, rumah toko, tempat peribadatan, rumah sakit, dan sekolah. Secara estetika, bangunan tersebut pada umumnya merupakan paduan gaya, desain, dan arsitektur Melayu, Belanda, India, Inggris, dan Cina, sebagai akumulasi dan kristalisasi sejarah Kota Medan sendiri, yang dapat ditelusuri sejak era penanaman tembakau Deli di Sumatera Timur pada tahun 1863.

Namun, di tengah semangat upaya pelestarian budaya dan industrialisasi pariwisata, fenomena paradoksal tak terhindarkan terjadi karena, dalam kenyataannya, satu persatu bangunan bersejarah di Kota Medan dirubuhkan dan diganti dengan bangunan modern. Perubuhan relatif begitu mudahnya terjadi di tangan pemilik baru bangunan bersejarah, yaitu para pengusaha, yang sangat dekat dengan kekuasaan, sehingga bangunan modern yang menggantikan hampir selalu terkait dengan kepentingan bisnis, seperti supermarket, mall, plaza, dan sebagainya. Tidak mengherankan, meskipun telah dikeluarkan Perda No. 6 Tahun 1988 tentang Perlindungan Bangunan dan Lingkungan yang Bernilai Sejarah di Kota Medan yang mencakup 42 bangunan dan dua kawasan yang harus dilestarikan, penghancuran bangunan bersejarah  tetap saja berlangsung. LSM Badan Warisan Sumatera (BWS) melaporkan, di wilayah Pemkot Medan, sudah ada puluhan bangunan tua yang dihancurkan padahal sekitar 400 bangunan lagi belum dimasukkan dalam Perda (detik.com, 26 Oktober 2004).

Dalam catatan Kompas (27 Oktober 2004), sejak adanya Perda tersebut, puluhan bangunan bersejarah yang dihancurkan di antaranya mencakup tempat pengadilan kerajaan Kerapatan Adat Deli, Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Medan (1999) di Jalan Cut Mutia yang kemudian menjelma menjadi tiga pintu rumah tinggal (1989), Mega Eltra (2002) di Jalan Brigjen Katamso, sembilan rumah panggung di Jalan Timur, dan puluhan bangunan bersejarah di Jalan Kesuma. Terakhir, pada tahun 2004, Eks Bank Modern di Jalan Ahmad Yani (dibangun 1929) dihancurkan dan kemudian menjadi lima ruko berlantai 5 dan Kompleks perkantoran Perusahaan Perkebunan Sipef (PT Tolan Tiga) di persimpangan antara Jalan S. Parman dan Jalan Zainul Arifin (dibangun 1920) mengalami nasib yang sama yang akhirnya menjadi Cambridge Condominium.

Dengan itu, Kota Medan nanti diasumsikan akan kehilangan karakter utama dan identitas historisnya yang terkait dengan aesthetics of a city. Dominasi konstruksi peninggalan Belanda yang menjadi ciri bangunan bersejarah hanya akan menjadi cerita dan kenangan yang indah dan tidak akan bisa disaksikan lagi oleh generasi-generasi yang akan datang padahal “bangunan bersejarah sebagai estetika kota itulah Kota Medan!” Sejalan dengan itu, perubuhan bangunan bersejarah bertentangan dengan pelestarian budaya dan upaya industrialisasi pariwisata berbasis bangunan bersejarah yang akhir-akhir ini mulai digalakkan, yang berarti secara sistematis mematikan semangat kewirausahaan sektor-sektor kecil-informal terkait pariwisata dan, sebaliknya, mendukung kapitalisme kota melalui pembangunan supermarket dan sejenisnya yang berskala besar dan hanya menguntungkan pemodalnya secara sepihak tetapi bukan masyarakat kebanyakan.

Berdasarkan paparan di atas, tugas ini mengambil judul “Penghancuran Estetika Kota: Bangunan Bersejarah di Kota Medan”. Sebagai sebuah kajian budaya (cultural studies), tulisan ini tidak mengabaikan sisi-sisi kontekstual atau apa yang tengah terjadi atau berlangsung (dalam hal ini: penghancuran) di sekitar teks yang dibahas, yaitu estetika kota berupa tampilan bangunan bersejarah di Kota Medan.

Penghancuran Estetika Kota: Bangunan Bersejarah di Kota Medan, selengkapnya

Pengetahuan Lokal Dalam Epistemologi Relasional: Kajian Filsafat Kebudayaan

Oleh I Gede Mudana, diterbitkan dalam Jurnal Mudra edisi September 2007

Membicarakan secara epistemologis eksistensi kearifan lokal dalam era globalisasi masa kini setidaknya, dalam pemahaman penulis, adalah membicarakan pengetahuan lokal dalam konteks kajian budaya di samping dalam konteks epistemologi relasional yang ingin dibahas dalam tulisan ini. Dikatakan demikian karena membicarakan (ke)ilmu(an) masa kini, salah satu yang paling populer dan menjadi kecenderungan, di antaranya, adalah membicarakan kajian budaya (cultural studies) betapapun pokok masalah yang dibicarakan adalah diskursus-diskursus yang lekat dengan nuansa kemasalaluan, seperti kearifan lokal  (local wisdom) di sini penulis lebih suka menggunakan istilah “pengetahuan lokal” (local knowledge).

Kajian budaya memang “disiplin ilmu” yang senantiasa menyambungkan (suturing, istilah yang kerap dikemukakan oleh Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus (almarhum) kemasalaluan dengan kepentingannya di masa kini untuk emansipasi manusia si pencipta/pemilik/pelaksana/pemakai disiplin ilmu tersebut. Itulah sebabnya mengapa eksistensi kearifan lokal dalam era globalisasi serta merta di sini dicoba di-suturing dengan pengetahuan lokal dalam konteks kajian budaya. Karenanya, dengan segala kerendahan hati, tulisan ini terutama menelisik secara agak filsafati khususnya filsafat kebudayaan   pengetahuan lokal dalam epistemologi relasional sebagaimana yang dikemukakan dalam judul tulisan.

Dari keberadaan kearifan lokal dalam era globalisasi, kesan luar yang pertama-tama muncul adalah semacam “contradictio in terminis”, yakni sebuah pertentangan yang dibawa oleh tema itu sendiri. Kearifan/pengetahuan lokal, yang nota bene sebuah proses pemberdayaan lokalitas-lokalitas “dilawankan” dengan gerakan-gerakan maha dasyat dan serba besar bernama globalisasi.

Globalisasi bukanlah “gombalisasi”. Ia merupakan fenomena yang benar-benar ada: bukan citra, bukan sekadar rekaan, apalagi guyonan iseng. Banyak yang mencoba mendefinisikan dan mengidentifikasinya tetapi, secara umum, ia tetap fenomena  pergerakan bebas kehidupan manusia dan kebudayaannya. Dengan dibantu oleh teknologi, termasuk dan terutama teknologi informasi dan transportasi, manusia bisa bergerak dan pergi ke mana saja tanpa batas (borderless). Bahkan lebih dari itu, Arjun Appadurai (1990:295-310.) menandainya sebagai suatu hubungan di antara lima dimensi: a) ethnoscape, b) mediascape, c) technoscape, d) finanscape, dan e)  ideoscape.

Tentang hubungan antara globalisasi dan lokalisasi, ia sebenarnya bukan sekadar sebuah pertentangan biasa, tetapi yang terjadi adalah sebuah proses dialektik. Dalam pendekatan dialektika, yang secara umum dapat dikatakan diwarisi dari Karl Marx dan bahkan dari Hegel, sebuah tesis akan dihadapi oleh sebuah antitesis yang kemudian menghasilkan sebuah sintesis. Dengan itu, globalisasi adalah tesis, lokalisasi adalah antitesis, maka sintesis keduanya adalah apa yang dapat disebut “glokalisasi”  dari kata globalisasi dan lokalisasi. Istilah glocal (globalism dan localism) diperkenalkan oleh Mike Featherstone dalam karyanya Undoing Culture, Globalization, Postmodernism, and Identity (1995) yang tampak jelas dalam contoh budaya populer musik pop Bali (lihat: Darma Putra, 2004:89-108.).

Ini berarti, yang sesungguhnya terjadi tidak saja globalisasi secara linear tetapi juga glokalisasi. Pada saat dunia berubah menjadi “the global village”, sebuah konsep Marshall McLuhan yang ditulis dalam sejumlah bukunya, di antaranya War and Peace in the Global Village (1968), atau menjadi satu dunia (yang “sama”), ia juga pergi menuju fragmentasi, keterpecah-pecahan, sebuah proses lokalisasi. Di Bali misalnya, dalam contoh besarnya, globalisasi diselang-selingi oleh bergerak majunya lokalitas-lokalitas, termasuk di antaranya dengan mengemukanya ideologi “ajeg Bali” di sejumlah media massa lokal yang sangat membius dan memabukkan begitu banyak manusia Bali kontemporer.

Fenomena gaya hidup mengglobal, misalnya budaya massa sepakbola atau potongan rambut mendunia gaya Demi More, boleh ke mana-mana dan ke sini tetapi, pada saat yang sama, senantiasa terdapat gerakan-gerakan sosial, adat, dan agama yang sebaliknya, di antaranya di sini membentuk semangat mencari lelintihan, leluhur, soroh, kewangsan, dan simbol-simbol primordial lainnya. Anak-anak muda yang pergi bersembahyang ke pura pun melakukannya sembari memanjakan nafsu fetisisme citarasa terkini: berdandan funky layaknya bule-bule di tempat wisata Kuta, bercengkerama begitu gaul dengan “lu-lu-gue-gue”, atau ber-HP-ria sambil ditemani: …Coca Cola (tentu!).

Namun demikian, penulis tidak berpretensi bisa menjawab keseluruhan permasalahan yang luas dan kompleks dari persambungan pengetahuan lokal dan globalisasi ke dalam epistemologi kajian budaya, yakni suatu wilayah yang sampai saat ini sesungguhnya belum sangat banyak dikenal secara benar di negeri ini dan bahkan sering disalahpahami kalau bukan “dizalimi”. Di samping itu, membedah kepentingan pengetahuan lokal di masa kini adalah mengurai “teka-teki” posmodernisme, sesuatu yang juga, seperti kajian budaya, sering kurang dimengerti secara memadai (Lebih ekstrem lagi, posmodernisme sering dianggap aneh, sok, suka meng-ada-ada, dan nihilisme, sehingga tidak jarang dirasakan perlu dienyahkan dari kancah lalu lintas intelektualitas). Padahal, perbincangan glokalisasi (= globalisasi + lokalisasi) tidak lain adalah perbincangan posmodernisme.

Pengetahuan Lokal Dalam Epistemologi Relasional: Kajian Filsafat Kebudayaan, selengkapnya

Sekilas Tentang Wanita Dalam Perspektif Susastra Hindu

Sekilas Tentang Wanita Dalam Perspektif Susastra Hindu

Oleh I Ketut Subagiasta, diterbitkan dalam jurnal Mudra edisi September 2007

Dinamika kehidupan masyarakat secara menyeluruh dari berbagai bidang dalam era terakhir ini bahwa wanita sering mendapatkan sorotan. Bilamana sorotan yang diberikan itu bernada miring, tentu sangat disayangkan. Namun demikian, bagaimanapun wanita itu keberadaannya dalam masyarakat sesuai sumber susastra Hindu, maka pihak-pihak lainnya yang terkait wajib memberikan toleransi yang positif terhadap wanita. Oleh karena wanita adalah sebagai bagian yang menentukan bagi kesinambungan dan kelancaran kehidupan secara bersama-sama dalam kehidupan masyarakat luas.

Dalam kenyataannya, bahwa wanita telah berperan secara luas dalam kehidupan masyarakat, baik dari segi profesi dalam masyarakat,  tugas utama dalam keluarga, aktivitas sosial dalam kehidupan agama, sosial, adat-istiadat, maupun dalam kegiatan yang lainnya. Disadari bahwa wanita telah berkiprah dalam berbagai lini kehidupan masyarakat, baik untuk eksistensi dirinya, eksistensi keluarganya, maupun demi kesinambungan dari pada bangsa dan negara Indonesia tercinta. Tidak sedikit dilihat bahwa wanita banyak yang menjadi pejuang dan pahlawan nasional baik dalam bidang pendidikan, politik, sosial, dan pemerintahan.

Satu hal yang sangat utama diperhatikan bahwa wanita dalam keberadaannya di masyarakat sering mendapatkan perlakuan yang diskriminatif, ada yang dilecehkan keberadaannya, terjadinya kasus kekerasan terhadap wanita, hak-hak sebagai wanita yang sejati sering dimanipulasi, adanya perlakuan yang tidak adil terhadap wanita, dan masih banyak lagi model ketidakpantasan prilaku terhadap wanita itu sendiri, baik oleh antar wanita maupun antara wanita dengan lawan jenisnya. Yang jelas, bahwa wanita sering mengalami nasib yang gonjang-ganjing dalam berbagai sisi. Namun paparan ini bukan bermaksud untuk memperuncing mengenai eksistensi atau melemahkan peran wanita, tetapi itulah realita yang terjadi dalam masyarakat.

Dalam bahasan ini mencoba mengungkap mengenai bagaimana wanita sesuai sumber-sumber dalam susastra Hindu. Pembahasan mengenai wanita sebenarnya telah banyak dilakukan oleh para pakar wanita dari berbagai perspektif, namun demikian ada baiknya bahwa susastra sangat kaya dengan kajian, wawasan, serta pandangan mengenai wanita itu sendiri, baik dalam perspektif sosial, budaya, hukum, politik, seni, pariwisata, dan yang lainnya. Dalam paparan kecil ini mencoba memberikan sumbangan sederhana tentang wanita dari perspektif susastra Hindu. Inti dari bahasan ini adalah wanita sebagai simbol kekuatan Tuhan, pandangan pustaka itihasa terhadap wanita, dan pandangan pustaka Manawadharmasastra terhadap wanita.

Sekilas Tentang Wanita Dalam Perspektif Susastra Hindu, selengkapnya

Fungsi Seni Lukis Bali Modern Anak Agung Gede Sobrat

Oleh A.A Gede Yugus, Dosen Dosen Jurusan Seni Rupa Murni, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia Denpasar, diterbitkan dalam jurnal mudra edisi september 2007.

Saat berkarya seni, seniman  tidak dapat berkarya tanpa mulai mempertimbangkan “dewasa” positif dan negatif.  Nilai spiritual yang  bersifat relegius magis, seperti gambar rerajahan, gambar bbcggsimbol-simbol pretima, merupakan gambar yang  sangat disucikan, sehingga baru bisa  dikeluarkan pada waktu-waktu tertentu, seperti pada odalan dan hari-hari suci lainnya. Namun karya seni lukis dijumpai pada  bangunan suci yang difungsikan sebagai penghias pada upacra keagamaan, yakni  untuk  hiasan dinding, hiasan pada ider-ider, kober, langse, umbul-umbul, atau lelontek. Dalam hal ini umumnya karya-karya lukisan selalu mengambil tema dari mitologi seperti ceritera Mahabrata dan Ramayana yang bersumber dari buku-buku ajaran agama Hindu. Akan tetapi bentuk lukisan rerajahan yang digambarkan di atas kain putih berupa perpaduan aksara suci yang berujud Ong Kara (simbol Tuhan ). Sebelum memulai melukis para seniman mesti melakukan doa agar apa yang digoreskan mendapat kesucian dan mewujudkan sepirit (Arsana, 2004:205).

Dalam perkembangan berikutnnya seni lukis Bali juga tidak menutup diri dari pengaruh-pengaruh  Barat. Pengaruh ini sudah ada sebelum pemerintah kolonial Belanda berkehendak menguasai penuh Pulau Bali awal abad XX. Hal ini terbukti dengan adanya patra jahe, patra punggel, patra cina, dan  patra olanda dalam pembendaharaan dalam seni lukis di Bali, atau pada patra awangga, campuran gaya ukiran Bali, Belanda, dan Tiongkok (Darmawan, 2006:22).

Tahun 1920-an dibuka kantor pariwisata di Singaraja. Karya ukiran-ukiran sejak tahun itu mulai diproduksi dalam volume yang semakin meningkat dan wisatawan yang berkunjung semakin meningkat. Muncul  pemilahan yang  jelas antara pungsi yang bersifat relegius lama juru gambar  yang masih bertahan  dengan fungsi komersial sekuler yang  baru berkembang. Selain  istilah juru gambar, muncul, istilah “seniman lukis”. Tema karya-karyanya masih  terangkat dari unsur-unsur  kesenian lama, seperti relief, ceritera Tantri, dan fabel.

Selanjutnya, terjadi  perkembangan   mendapat pengaruh seniman asing tersebut (Anonim,1978). Di samping itu,  kedua seniman ini banyak membawa pengaruh dan perubahan  pada bidang seni lukis di Bali. Selain itu, terjadi perpaduan budaya antara pelukis Bali yang telah memiliki keterampilan teknik tradisional yang tinggi dengan pelukis asing ata Barat (R. Bonnet dan Walter Spies ) yang menguasai teknik baru  dari Barat.

Akibat perpaduan  budaya tersebut  menyebabkan seniman-seniman muda Bali membuka diri, terutama perkembangannya sikap toleransi terhadap konsep-konsep baru yang dinilai positif  untuk meningkatkan wawasan, pengetahuan seni, dan yang  lainnya. Kontak budaya ini terus berlangsung sehingga terbentuklah perkumpulan pelukis yang di beri nama  Pitha Maha  tahun 1935. Kedua pelukis Barat tersebut,  bersama-sama seniman lokal di Ubud, terus mengadakan pembaharuan, khususnya di bidang seni lukis. Di samping itu Walter Spies dan R.Bonnet memberi pendidikan  kepada  mereka yang belajar melukis dan tertarik terhadap  realis, yakni dengan mempelajari proporsi dan anatomi, kemudian        diolah menjadi corak tradisional yang  bersifat dekoratif. Munculnya R. Bonnet dan Walter Spies di tengah-tengah  pelukis-pelukis Pita Maha melahirkan corak dan identitas terhadap para seniman masing-masing. Hal ini tentunya menimbulkan perbedaan dengan seni lukis yang berkembang sebelumnya. Dalam hal ini  seperti penciptaan seni lukis untuk kepentingan relegius atau keagamaan yang di kerjakan secara komunal, yaitu masyarakat secara bersama-sama mengerjakan, kemudian  pada hasil akhir tidak perlu mencamtumkan identitas penciptanya.

Dari perubahan pola tersebut,  muncullah seniman yang kreatif menonjolkan identitas karyanya, di antaranya di Ubud yang  sangat menonjol adalah pelukis A.A. Gede Sobrat, A.A Gede Meregeg, Ida Bagus Made, I Gusti Nyoman Moleh, I Dewa Ketut Ding, dan puluhan  seniman lukis lainnya. Termasuk di Br. Padang Tegal. Di Pengosekan muncul pelukis I Gusti Ketut Kobot, I Gusti Baret, I Ngendon dan yang  lainya.  Seni lukis Bali modern yang baru tumbuh ini mendapat sentuhan modern dari seni lukis corak Barat sehingga melahirkan berbagai gaya atau stil lukisan dengan ciri khas masing-masing. Sentuhan budaya Barat ini mempercepat proses pematangan dan menumbuhkan barbagai stil seperti lukisan gaya Ubud, Batuan, Pengosekan, Tebesaya, Kutuh, Padang Tegal, dan lain-lainnya. Dari berbagai perubahan dan pembaharuan yang dibawa pelukis Barat tersebut, kemudian muncul tema-tema kehidupan sehari-hari, di samping itu, ciri khas yang kedua adalah munculnya garis anatomi, perspektif, pengertian komposisi, proporsi, sinar bayangan, dan teknik   seni lukis yang lebih disempurnakan.

Salah seorang  pelukis Bali yang menonjol saat itu adalah  pelukis A.A. Gede Sobrat dari Banjar Padang Tegal Ubud. A.A. Gede Sobrat sebagai pelopor  pembaharuan seni lukis Ubud. Bakat seni dari garis  ayah dan juga dari garis ibu. Bakat seni dari garis ibu menurun dari kakeknya bernama I Seleseh, adalah seorang undagi terkemuka di desanya dalam mengerjakan Puri Ubud, dan dari ibu yang sangat menguasai jejaitan banten. A.A. Gede Sobrat dilahirkan  di Banjar Padang Tegal  Ubud, Kabupaten Gianyar. Bakat seninya telah tampak  sejak kecil. Dia selalu senang menonton berbagai pertunjukan kesenian, khususnya pertunjukan wayang kulit, yaitu  bentuk kesenian yang memiliki nilai pendidikan, etika, dan kesenirupaan. Pada usia  belasan tahun, yakni untuk membantu kebutuhan ekonomi keluarga, A.A. Gede Sobrat telah bekerja sebagai penerima telepon di Puri Ubud, yang  saat itu sudah sering menerima kunjungan wisatawan domestik dari mancanegara. Di sinilah awal perkenalan dengan wisatawan, termasuk R.Bonnet dan Walter Spies, yang saat itu sebagai tamu Puri Ubud. Dengan perantara Cokorda Agung Sukawati persahabatan Sobrat dengan tamunya semakin akrab.

Fungsi Seni Lukis Bali Modern Anak Agung Gede Sobrat selengkapnya

Analisis Bentuk Dan Fungsi Gerabah  Banyumulek Lombok Barat

Analisis Bentuk Dan Fungsi Gerabah Banyumulek Lombok Barat

Oleh I Ketut Muka Pendet, diterbitkan dalam jurnal mudra edisi september 2007

GerabahSebagaimana dikemukakan oleh Koentjaraningrat kesenian merupakan salah satu unsur kebudayaan yang universal dan dapat ditemukan pada semua kebudayaan di dunia, baik dalam masyarakat pedesaan yang terpencil maupun dalam masyarakta perkotaan yang besar dan kompleks (1994:2). Gerabah sebagai salah satu bagian dari hasil budaya manusia, dalam sistem sosial budaya masyarakat tradisional memiliki keterkaitan yang erat dengan berbagai aktivitas ataupun upacara tradisional masyarakat pendukungnya. Sudarso Sp (2002) dalam makalahnya “Merevitalisasi Seni Kriya Tradisi Menuju Aspirasi dan Kebutuhan Masyarakat Masa Kini” menyebutkan barang-barang pecah belah (earthenware), cobek, tempayan dan celengan (kitty) tempat menyimpan uang logam, merupakan seni rakyat yaitu seni yang berkembang di desa-desa (dulu) di lingkar istana atau pusat-pusat kesenian yang bisa menopang timbulnya budaya agung atau budaya adiluhung.

Eratnya hubungan baik antara keluarga dan masyarakat, hampir setiap kegiatan sosial budaya dilakukan secara bersama-sama. Demikian pula dalam pembuatan gerabah yang di dalamnya terkandung unsur sent terapan perlu dipelajari bukan hanya sebagai seni tradisi yang diturunkan oleh nenek moyang, melainkan juga sebagai upaya untuk memahami keberadaan gerabah dalam tata kehidupan budaya masyarakat. Kerajinan gerabah, anyam-anyaman dari bambu, ukiran kayu dan yang lainnya walaupun dalam bentuknya sederhana merupakan seni komunitas pedesaan yang masih akrab, homogen dan masih berfungsi untuk mengikat solidaritas komunitas (Kayam dalam Sudarso, 2002:2).

Gerabah atau tembikar merupakan peninggalan budaya tradisional yang tergolong sangat tua. Menurut para ahli, berdasarkan penelitian yang dilakukan diketahui bahwa benda­benda tembikar atau gerabah sudah mulai dikenal sejak masa bercocok tanam. Sejalan dengan pendapat tersebut Yardani Yumarta (1981:9) menyebutkan gerabah mulai dikenal manusia sejak zaman neoliticum ketika manusia purba mulai hidup menetap, bercocok tanam dan mengenal api.

Kerajinan gerabah khususnya yang tumbuh dan berkembang di Banyumulek Lombok Barat memiliki nilai spesifik, berbeda dengan gerabah di daerah lain baik bentuk, proses desain, dekorasi serta penyelesaian (finishing) sudah memanfaatkan teknik semi tradisional (modern). Masyarakat pengrajin dalam kemampuannya berkarya dan berkreativitas secara berkesinambungan dengan menciptakan desain baru mengikuti sejera konsumen (pasar). Gustami (2002) dalam makalahnya yang berjudul “Seni Kriya Akar Seni Rupa Indonesia” menyebutkan yang menarik perhatian cabang seni kerajinan (gerabah) dimasing-masing daerah memiliki gaya tersendiri yang dapat melengkapi pesona, daya pikat dan keunggulan komperatif bila dibandingkan dengan cabang seni lainnya.

Faktor bahan, daya kreasi dan kebutuhan sangat menentukan tumbuh kembangnya gerabah Banyumulek. Di samping itu gerabah Banyumulek tetap menampakkan nilai ritual dan ekonomis yang dalam, diilhami oleh karya-karya gerabah penunjang kehidupan sehari­hari, upacara maupun kegiatan rumah tangga. Melalui ketrampilan para pengrajin dalam mengembangkan dan menciptakan bentuk-bentuk baru seperti vas bunga, asbak, tempat lilin, guci air, gentong maupun bentuk lampu taman dengan memadukan unsur-unsur tradisional sebagai ciri khas daerah sangat menentukan pertumbuhan kerajinan gerabah di daerah ini. Peranan disainer dalam usaha mengembangkan dan menciptakan ciri khas daerah sangat menentukan, perkembangan gerabah Banyumulek dengan sentuhan nilai modern.

[download id=”150″]

Loading...