Seni Pertunjukan Tradisional Bali Sebagai Warisan Zaman Bali Kuna

Seni Pertunjukan Tradisional Bali Sebagai Warisan Zaman Bali Kuna

Oleh I Gusti Ngurah Seramasara

Ujian TA 2009Pada zaman Bali kuna berdasarkan prasasti yang ditemukan ada sejumlah kesenian yang tercatat pada prasasti tersebut antara: Patapukan (pertunjukan topeng), pamukul (pemukul gambelan), menmen (topeng), abanwal (permainan badut atau bondres), abonjing (musik angklung), bhangsa, masuling (peniup suling), pasangkha (peniup trompet), parbwayang (pertunjukan wayang) perpadaha (permainan kendang), Aringgit (pertunjukan wayang) dan lain-lain. Dengan memperhatikan prasasti ini kita belum bisa memastikan bentuk dan struktur pertunjukanya, hanya saja secara substansial bahwa merujuk pada istilah yang ada, hampir sebagian besar jenis kesenian di atas masih ada sampai sekarang

Dari jumlah kesenian di atas sampai sekarang  yang masih banyak kita warisi adalah seni pertunjukan topeng, seni pertunjukan topeng bondres, seni musik angklung, permainan suling dan seni pertunjukan wayang. Karya-karya seni pertunjukan ini sebagai sebuah tradisi seni  dapat dikaitkan dengan tradisi megalitik di Bali, karena instrument atau alat-alat musiknya dapat diamati pada relief-relief bangunan zaman Bali kuna. Salah satu jenis alat musik yang dapat kita amati langsung adalah Nekara yang disimpan di Pura Penataran Sasih di Pejeng. Disamping alat-alat musik juga terdapat bentuk-bentuk seni pahat yang menggambarkan  boneka wayang dan kalau diamati secara mendalam  mirip dengan bentuk wayang yang ada sekarang.

Nekara Pejeng sebagai sebuah penemuan ahli arkeologi yang dibuat dari prunggu, dan  dapat dianggap sebagai alat musik pada zamannya, karena fungsi nekara itu adalah 1) dipukul dengan alat pemukul, sejenis musik perkusi yang tujuannya adalah untuk memohon hujan, 2) dipukul agar mengeluarkan suara yang keras dan panjang sebagai pertanda adanya bahaya atau tanda kematian. 3) dipuja karena dianggap manifestasi dari Dewi Ratih (Sidemen, 2005:68). Nekara Pejeng itu oleh masyarakat Pejeng dan sekitarnya dimitoskan sebagai bulan Pejeng, karena nekara itu adalah subengnya dewi ratih yang jatuh kemudian memancarkan sinar yang sangat terang benderang. Benda-benda alam yang dianggap mempunyai keanehan-keanehan gaib seperti itu oleh masyarakat Bali kemudian dipuja dan dibuatkan sebuah pelinggih dalam bentuk Tapas (Tepasana).

Pura Yeh Pulu sebagai bangunan suci jaman Bali kuna, sudah ada relief yang memahatkan bentuk-bentuk wayang seperti wayang yang kita amati sekarang, sehingga pengarah cerita Mahabarata dan Ramayana kemungkinan sudah ada pada saat itu. Dengan demikian akan dapat diduga bahwa sebelum Bali berhubungan dengan Majapahit, Bali telah berhubungan langsung dengan India. Berdasarkan pertimbangan di atas maka pertunjukan wayang yang ada di Bali tidak sepenuhnya merupakan pengaruh Majapahit. Kalau sebagain besar penulis menganggap bahwa perkembangan kesenian Bali sangat   pesat pada jaman Waturenggong, akan dapat dibenar-kan karena kehidupan masyarkat pada waktu itu sangat sejahtera dan damai.  Pembrontakan-pembrontakan hampir tidak ada, serta  munculnya tokoh Dang Hyang Nirartha dapat dianggap telah memperluas dan mengembangkan ajaran agama Hindu secara lebih mendalam dan memanfaatkan hasil karya seni sebagai persembahan pada Tuhan. Hal ini juga sangat sesuai dengan pendapatnya Alfin Toffler, yang dikutif oleh Prof Soedarsono, bahwa kesejahtraan dan tersedianya waktu luang yang cukup akan menyebabkan terjadinya ledakan budaya (cultural explosion) (Soedarsono, 2003:8).

Kondisi seperti ini akan memberikan peluang kepada terakumulasinya aliran kebudayaan central yaitu kebudayaan Majapahit ke veri-veri yaitu Bali, karena Bali pada saat itu merupakan kerajaan vasalnya Majalahit. Ada hubungan yang sangat integrated, antara kebudayaan Bali dengan kebudayaan Majapahit saat itu, sehingga hampir setiap produk budaya yang ada di Bali dianggap sebagai pelestari budaya Majapahit, karena ruang untuk kebudayaan Majaphit di Bali sangat besar. Berkembangnya kepercayaan baru yaitu agama Islam di Jawa juga merupakan sebuah kondisi yang menyebabkan  ruang bagi kebudayaan Maja-pahit untuk berkembang di Jawa sangat kecil.

Untuk melihat ada tarian maka patung (arca) Bairawa yang ada di pura Kebon Edan, menunjukan gerak tari. Begitu juga patung (arca) Mahendradata menunjukan gerak tari Ciwa pada saat melebur dunia. Sikap-sikap tari yang digambarkan pada relief candi dan pada Patung (arca) Bairawa maupun pada Patung (arca) Mahendradata dapat diasumsikan bersumber pada Kitab Natyasastra.  Hal ini menunjukan bahwa Siwaisme yang sangat berpengaruh di Bali dapat diduga akan membawa serta seluruh perangkat ajaranya termasuk seni.

Menurut  para ahli sejarah Bali Kuna, Pura Kebo Edan dianggap sebagai kompleks pemujaan raja Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten yang kemudian dianggap sebagai Raja terakhir dari dinasti  raja-raja Bali Kuna. Dengan demikian Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten dianggap sebagai raja yang menganut ajaran Tantrayana aliran kiri (Niwreti) seperti yangt dianut oleh Kerta Negara dari kerajaan Singosari. Anggapan ini didasarkan atas peninggalan raja yang dikenal dengan nama Patung (arca) Bairawa di kompleks Pura Kebo Edan desa Bedahulu-Gianyar. Patung (arca) Bairawa ini dilengkapi dengan alat-alat minum-minuman keras, tengkorak manusia, serta digambarkan arca itu sedang menari-nari diatas tengkorak manusia dan palusnya bergoyang kekiri. Kelengkapan patung itu memberikan suasana demonis (keraksasa-an) yang sedang memuaskan hawa nafsu. Pura Kebo Edan ini dianggap sebagai tempat untuk melakukan upacara kepercayaan Tantrayana aliran kiri (niwreti) untuk memuaskan hawa nafsu duniwi.

Dalam kepercayaan Tantarayana ada yang disebut dengan aliran kanan (prawreti) dan ada pula yang disebut dengan aliran kiri (niwreti). Perbedaanya adalah terletak pada cara untuk mencapai nirwana (sorga kemoksaan). Prawreti menganggap Sorga kemoksaan akan dapat dicapai dengan cara melakukan tapa brata dan semadi, serta mengendalikan hawa nafsu duniawi. Niwreti menganggap bahwa sorga kemoksaan dapat tercapai dengan cara melakukan segala perbuatan untuk memenuhi hawa nafsu duniawi. Hal inilah yang dijadikan alasan oleh Raja Majapahit untuk menyerang Bali, yang dianggap telah mengembangkan ajaran sesat yaitu ajaran yang tidak mempercayai Tuhan dan memaksakan kepada rakyat bahwa Raja adalah Tuhan. Sejak jatuhnya kerajaan Bedahulu dibawah kekuasaan Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten, maka kebudayaan Majapahit mengalir terus ke Bali dan berakumulasi baik dalam bentuk keagamaan maupun kesenian.  Jalinan antara kehidupan beragama dengan kesenian dalam bentuk upacara keagamaan di Bali telah menjadi identitas budaya Bali yang memberikan taksu kepada Bali sehingga menjadi daya tarik bagi setiap pengunjung yang datang ke Bali.

Dengan demikian prasasti-prasasti di atas memberikan gambaran tentang pesatnnya perkembangan kesenian pada saat itu, seperti seni bangunan, yaitu bangunan candi yang berpola pada bangunan candi-candi di Jawa Timur, karena itu candi ini dianggap sebagai makam. Kemudian seni arca seperti patung Bairawa yang menunjukan bahwa masyarakat pada waktu itu adalah penganut kepercayaan Tantrayana, walaupun sesungguhnya pada waktu itu agama Siwa dan Budha masih tetap berkembang, namun ketika Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten berkuasa kurang mendapatkan perhatian. Sekte-sekte juga berkembang pada waktu itu tetapi hanya ada diwilayah-wilayah tertentu dan jumlahnya sangat kecil yang diawasi oleh para Senopati.

Agama Siwa dan Budha sebagai agama yang cukup kuat perkembangannya pada waktu itu di buktikan dengan adanya dua Dharmadiyaksa yaitu Dang Acarya (pendeta Siwa) dan  Dang Upadhyaya (pendeta Budha). Pendeta Siwa yang ada di Bali saat itu adalah Siwa Kangsita, Siwa Nirmala, dan Siwa Prajana (Kartodirdjo, op cit. p. 171). Dalam prasasti disebut ada 21 orang pendeta Siwa, dan Bhuda hanya 5 orang, sehingga presentase penganut Siwa jauh lebih banyak dari pada penganut Budha dan ini juga menjadi kenyataan sampai sekarang.

Makna Musik Keroncong

Makna Musik Keroncong

Oleh Ni Wayan Ardini

Makna Estetika

Malam KesenianDalam kehidupan yang serba rumit, karya estetik tetap harus memiliki makna bagi kehidupan manusia. Dengan demikian pemaknaan dinilai sebagai suatu cara yang paling obyektif untuk memberi arti dalam semua pekerjaan estetik, karena tanpa makna, apapun yang dikerjakan oleh manusia sama dengan ”tiada”. Namun makna tak selamanya menyertai sebuah karya estetik, hanya dalam hal-hal khusus makna juga secara total hadir dalam karya estetik (Theodor Ardono dalam Sachari, 2002:98). Bagaimanapun rumitnya perwujudan dan bentuk sebuah karya seni senantiasa mengisyaratkan adanya suatu nilai estetik. Hasil kesenian yang menjadi sasaran analisis setetika setidak-tidaknya memiliki tiga aspek dasar, yakni; wujud, bobot, dan penampilan (Djelantik,2004:7). Makna Estetis atau keindahan yang terkandung dalam musik keroncong dapat tercermin memalui beberapa unsur, yakni  lirik lagu, melodi dan ritme, Iringan musik, dan penampilan penyanyi.

Keindahan lirik

Keindahan lirik dalam suatu lagu akan dapat menyentuh hati pemirsanya. Lagu tersebut menjadi mudah diingat dan enak dinyanyikan. Dari lirik yang indah akan timbul kesan atau pesan yang menarik, sehingga banyak lagu-lagu menjadi sangat terkenal karena keindahan lirik di dalamnya.

Keindahan melodi dan ritme

Keindahan melodi dan ritme  dalam musik keroncong nampak sangat berbeda dengan jenis musik yang lain, dimana seorang penyanyi keroncong dituntut telah memiliki materi suara dengan tehnik vokal yang bagus, karena dalam pembawaan melodi dan ritme yang umumnya bersifat improvisasi bercengkok dan gregel memerlukan ungkapan tanggapan jiwa yang dalam dari si penyanyi. Penyanyi mengisi kekosongan, dengan improv-improv, sehingga pembawaannya menjadi sangat ritmis dan dinamis.

Keindahan musik iringan

Iringan Musik keroncong adalah iringan musik  yang terdiri dari tujuh alat musik diantaranya; biola, flute, gitar, ukulele, banyo (cak atau cak tenor, dan bas. Apabila sudah ada ketujuh macam alat musik keroncong ini, maka permainan musik keroncong sudah dapat dikatakan lengkap. Yang menarik dari musik iringan keroncong ini  adalah, semua alat bermain secara improvisatoris namun masih dalam ikatan. Dari semua alat tersebut mempunyai peranan yang berbeda, sebagai pemegang melodi biasanya instrumen biola dan flute, sedangkan sebagai pengiring, instrumen gitar, ukulele, banyo, cello dan bas. Iringan musik keroncong sangat mendukung suasana yang tercipta dalam lagu, sehingga antara lagu dengan musik iringan bisa menyatu dan saling terkait.

Keindahan penampilan penyanyi

Keindahan lain yang dapat dilihat dalam pertunjukan musik keroncong adalah keindahan penampilan penyanyi. Penampilan  penyanyi dari musik keroncong dapat dilihat dari kostum yang umumnya mereka kenakan. Bagi penyanyi wanita memakai kain dan kebaya, sedangkan penyanyi yang pria mengenakan setelan jas. Dalam penyajiannya yang luwes dan sopan dengan karakter keroncong yang berpadu dalam keharmonisan sehingga nampak etis dan estetis.

Dalam hal ini seperti yang dipaparkan dalam The Aesthetic Experience (Jacones Maquet, 1986) obyek seni yang dimaksudkan di sini mencakup seni lukis, gambaran, patung ditambah dengan benda-benda lainnya yang terkait seperti fitigrafi, tekstil dan barang tembikar. Sedangkan dalam kehidupan sehari-hari, secara tidak disadari kita dikelilingi oleh benda-benda visual yang bernilai estetik. Nilai dan tempat menjadi dua faktor penentu bisa tidaknya suatu obyek untuk disebut sebagai obyek seni.

Obyek dan karya seni juga membangun sikap, prilaku dan budaya (kebiasaan) para penikmat, seperti apa yang sudah dipaparkan di atas bahwa estetika musik keroncong memang diciptakan sebagai benda seni. Dalam hal ini untuk membedakan benda-benda seni yang ada disekitar kita, dapat digunakan dua konsep yang berbeda yaitu: art by destination dan art by metamorphosis.

Art by destination adalah: karya seni yang memang diciptakan dengan maksud dan tujuan sebagai benda seni untuk dipajangkan guna dinikmati daya pikat artistiknya. Sedangkan art by metamorphosis adalah obyek atau karya seni yang pada awalnya diciptakan tidak sebagai benda seni melainkan sebagai benda pakai. Proses metamorphosis tidak selamanya terjadi terhadap karya seni melainkan juga terhadap segala sesuatu yang berbeda dan berasal dari luar budaya kita sendiri. Tetapi lain halnya dengan paparan yang terdapat dalam Estetika, Estetisian, Kritikus art World. (Howard S Backer, 1982) yaitu : kritikus menggunakan sistem estetika untuk menentukan nilai dari suatu karya seni, yang hasil penilaiannya melahirkan sebuah reputasi bagi karya seni dan senimannya. Sehingga dalam aktivitas penilaian di atas bukan saja dilakukan oleh estetisan melainkan oleh semua yang terlibat dalam pasar seni.

Tijauan Estetis dan Artistik Petulangan

Tijauan Estetis dan Artistik Petulangan

Oleh I Dewa Made Pastika

Karya petulangan di samping fungsinya sebagai tempat pembakaran juga memiliki nilai–nilai keindahan dalam seni. Pembuatan petulangan merupakan suatu pengorganisasian atau susunan elemen-elemen bentuk, permukaan dan masa yang muncul dari berbagai jenis ornamen, warna hingga mewujudkan karya yang utuh dan harmonis menghasilkan sensasi yang menyenangkan. Sedangkan ketiadaan susunan akan menyebabkan ketidakpuasan, kekecewaan dan kemuakan. Perasaan atas hubungan-hubungan adalah perasaan keindahan sedangkan sebaliknya ialah perasaan ketidakbaikan. Tidak jauh berbeda dengan karya seni lainnya bahwa pembuatan petulangan didukung oleh rasa kesenangan yang dihubungkan dengan rasa keindahan, menyangkut bentuk, hiasan, pewarnaan serta jenis materialnya. Untuk menilai keindahan bentuk petulangan dapat dilihat dari bentuk secara keseluruhan atau global, menyangkut perbandingan antara bagian-bagian, seperti kepala dengan badan, badan dengan kaki dan lainnya. Untuk itu penting diperhatikan oleh seorang sangging petulangan tentang ukuran.proporsi dan anatomi, untuk bisa mencapai kesempurnaan karya. Sebagaimana yang disebutkan dalam estetika barat bahwa seniman bila berkarya dapat menilai kesempurnaan karya berdasarkan rasa proporsi dan ukuran (measure). Seniman apabila ingin berkarya sebaik-baiknya harus mengetahui dasar-dasar ukuran. Dan bagi setiap seni adalah seni mengukur, tanpa adanya ini tidak mungkin adanya seni. Seorang sangging di Bali menentukan ukuran bangunan dan prorporsinya berdasarkan lontar Asta Kosala Kosali. Lontar ini memuat petunjuk-petunjuk membuat bangunan mulai dari cara waktu penebangan kayu, merancang bangunan serta pelaksanaan upacaranya. Satuan ukuran yang disebut dalam lontar tersebut diambil dari ukuran anggota badan dengan istilah: depa, asta, lengkat, cengkang, musti sangga, nyari, guli madu, leklet. Istilah ini menentukan ukuran panjang dari suatu bentuk dan petunjuk-petunjuk ini sangat ditaati oleh para sangging dan undagi dan dipercaya dengan mengikuti petunjuk tersebut akan menghasilkan karya indah dan berjiwa. Disamping ukuran yang telah disebutkan di atas ada pula istilah pengurip. Pengurip adalah petunjuk yang terbuka bagi sangging untuk menambah atau mengurangi dari ukuran yang telah ditentukan dengan maksud memenuhi selera dari para sangging yang mengerjakan karya seni. Ukuran perbandingan yang umum di Bali ialah ukuran yang disebut: a bah bangun. A bah bangun adalah ukuran perbandingan yang digunakan untuk mengukur panjang dan lebar sebuah bangunan atau bentuk sebuah karya seni. Panjang atau tinggi sebuah bentuk sama dengan diagonal dari bentuk bujur sangkar dari lebar atau dasar bangunan. Jenis perbandingan ini ada persamaan dengan fungsi dan proporsi geometris dari jaman Yunani Kuno di Eropah yang disebut: The Golden Section. The Golden Section itu digunakan untuk menentukan perbandingan antara pajang dan lebar sebuah pintu, pigura, serta buku-buku atau majalah. Malahan konon biola yang baik juga mengikuti hukum itu. Salah satu hukum The Golden Section menyebutkan memotong garis tertentu sehingga perbandingan potongan yang pendek dengan yang panjang sama dengan yang panjang dengan seluruh garis itu. Menurut hukum itu potongan garis yang dimaksud kurang lebih berbanding 2 : 3 sama dengan, 5 : 8 sama dengan 8 : 13, sama dengan, 13 : 21 dan seterusnya.

Ukuran a bah bangun di Bali dapat dipakai menentukan perbandingan antara, panjang, lebar dan tinggi ukuran kepala petulangan. Seperti kepala petulangan singa adalah: 3 :2 : 2. sedangkan ukuran kepala petulangan lembu: 2 : 1 : 1. Panjang dan tinggi petulangan dengan perbandingan: 1 : 1 yang disebut perbandingan yang sama (amrepatan). Ukuran perbandingan ini adalah ukuran yang dianggap paling ideal dan indah selama ini. Dengan mengikuti perbandingan itu disertai dengan cita rasa yang tinggi akan tercipta karya petulangan yang mengandung unsur keindahan bentuk dan proprsi yang sempurna yang bersumber pada keindahan alam. Keindahan ini rupanya masih dibayangi oleh keindahan klasik yang memandang bahwa nilai keindahan tertinggi ialah berbentuk sempurna, berproporsi sempurna, mulia dan tenang yang merupakan bentuk idealis dari bentuk manusia.

Ditinjau dari unsur hiasan petulangan, ukuran disesuaikan penempatannya dengan bentuk petulangannya. Unsur-unsur hiasan berfungsi untuk menambah keindahan dengan mengikuti kaedah-kaedah ornamen misalnya hiasan ditempatkan seserasi mungkin pada bagian-bagian tertentu sehingga dapat menambah keindahan dan memperkuat bentuk. Hiasan takep pala dan takep piah ditempatkan di antara badan dan paha, dapat memperkuat bentuk badan dan paha. Fungsi lain dari hiasan ialah menciptakan keseimbangan (balance) antara bagian-bagian yang sangat dominan pengaruhnya menjadi lebih serasi. Misalnya hiasan badong pada leher, hiasan takep jit (tutup pantat), kuer dan sebagainya. Hiasan badong yang digantungkan di leher, diperhatikan tingginya agar leher tetap baik kelihatan dan tidak tertutup semuanya. Demikian pula hiasan lainnya pemasangan harus memperhatikan ukuran, bidang yang dihiasi untuk memperoleh keseimbangan keharmonisan antara bidang dan hiasannya, sehingga pengaruh dominan atau kontrastik dapat diserasikan. Disamping keindahan bentuk proporsi anatomi dan hiasan keindahan warna, tekstur sangat menarik pula kesadaran keindahan kita. Hubungan antara warna kain pembalut petulangan dengan kertas emas yang sangat mengkilap menimbulkan kesan yang kontras. Kesan kontras warna dari kedua bahan itu dapat didamaikan atau dinetralisir dengan warna benang yang berfungsi sebagai pinggiran bentuk hiasan (pengampad), yang berada disampingnya. Benang yang dari bahan katun selain sebagai pinggiran ukiran, dipakai pada lingkaran mata. Benang dengan berbagai warna berdekatan, keharmonisan dapat dicapai dan kesan kontras dihindarkan. Lingkaran mata tampak membulat dengan pancaran yang terang dan tajam memberikan kesan lebih hidup pada petulangan. Hiasan tanduk pada petulangan lembu hanya dibalut dengan kertas emas yang diremas, dengan guratan yang melingkar-lingkar mirip dengan guratan tanduk sapi, menimbulkan tekstur terpecah, memancarkan sinar berkelip-kelip sebagai kilauan batu permata. Hiasan lain seperti rambut petulangan bentuk singa dari bahan alami yaitu dari akar pakis. Tampak berombak, warna hitam lembut alami tanpa ada tambahan bahat cat, berkesan menyatu dengan warna bok api dari kertas prasban (kertas emas), dengan warna pembalut petulangan dan dengan warna benang, menimbulkan warna yang serasi. Semua hiasan yang terdiri dari berbagai material, warna dan tekstur yang berbeda, setelah berada dalam bentuk petulangan, merupakan satu kesatuan yang harmonis, mengandung nilai estetitik dan artistik tersendiri yang menarik perhatian bagi masyarakat.

Struktur, Bentuk, dan Fungsi Patung Dewa Ruci

Struktur, Bentuk, dan Fungsi Patung Dewa Ruci

Oleh I Nyoman Linggih

Patung Dewa Ruci dilihat dari atas, foto-bycandraPatung Dewa Ruci secara fisik mempunyai penampilan estetik. Dilihat dari segi struktur bentuk dan komposisi letak patung, maka Patung Dewa Ruci merupakan patung kelompok yang utuh,  figur yang satu dengan figur yang lain tampak menyatu, lebih-lebih penempatannya pada tempat yang sangat strategis yaitu pada persimpangan jalan Nusa Dua-Tanah Lot, Nusa Dua-Pusat Kota Denpasar, Sanur Kuta yang menjadi pusat lalulintas bagi para wisatawan asing maupun domestik. Patung Dewa Ruci terdiri dari empat figur utama sehingga secara struktur sesuai etika sosio-kosmis yang berlaku yaitu: paling atas ditempatkan figur Dewa Ruci/Nawa Ruci yang diidentikan dengan Acintya dalam posisi memperhatikan sepak terjang Sang Bhima melawan Naga Neburnawa/Naga Baruna, dibawah Dewa Ruci ditempatkan figur Sang Bhima dalam posisi dililit oleh Naga Nemburnawa/Naga Baruna yang sedang marah, karena Sang Bhima bersikeras ingin masuk Samudra Selatan. Sang Bhima, dalam posisi kuda-kuda yang stabil berdiri tegak dengan kokoh sambil menguak mulut Naga, di bawah Sang Bhima (hampir sejajar) ditempatkan figur Naga Nemburnawa/Naga Baruna dalam upaya melumpuhkan Sang Bhima dengan melilit seluruh badan Sang Bhima sambil me-nyemburkan bisa yang mematikan, dan paling bawah ditempatkan figur Gelombang air (gelombang samudra) dengan kolam air mancur yang menggambarkan suasana riuhnya samudra selatan pada saat terjadi perkelahian antara Sang Bhima dengan Naga Nemburnawa/Naga Baruna. Secara struktural penampilan Patung Dewa Ruci menampakan aspek keindahannya dari segala sudut pandang berdasarkan kepaduan dan kerterjalinan antara figur yang satu dengan figur yang lain dalam membentuk kesatuan makna dan kesatuan estetika patung. Kesatuan makna terletak bagaimana jalinan konsep cerita yang tertuang dalam estetika patung ini yang tidak hanya mempertimbangkan aspek filsafat namun juga aspek etika, sehingga struktur patung Dewa Ruci, memperlihatkan keteraturan secara filosofis, etika dan estetika.

Fungsi Patung Dewa Ruci

a.   Fungsi sakral

Ramseyer (1977) menguraikan, seni sakral pada dasarnya adalah satu bagian dari warisan tradisi budaya yang meliputi berbagai jenis kesenian yang dianggap sakral dan atau diyakini memiliki kekuatan spritual oleh masyarakat pendukungnya. Di lingkungan budaya Bali seni sakral mempunyai fungsi yang amat penting di dalam kehidupan spiritual masyarakat Hindu-Bali (dalam  Dibia, 2000:1). Fungsi sakral ini berkaitan dengan kehidupan masyarakat Bali yang bernafaskan agama Hindu. Sepanjang kedudukan seni budaya masih kuat dalam kehidupan keluarga dan masyarakat Bali, dalam upacara-upacara dari kelahiran sampai mati masih kokoh, maka seni budaya akan selalu hidup dan merakyat. Ini jarang terjadi di negara-negara lain. Bahkan dunia baru mengarah kepada pemberian perhatian yang cukup kepada pemasyarakatan serta pelestarian warisan-warisan budaya dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang mengalami globalisasi (Mantra, op. cit. p.14).

b.   Fungsi ritual/upacara,

Menurut Widia dkk, (1990/1991:18) sesungguhnya sejak zaman prasejarah mulai dari bentuk yang paling sederhana patung difungsikan sebagai simbol roh nenek moyang atau media pemujaan. Oleh karenanya banyak diketemukan peninggalan patung sederhana yang berasal dari masa megalitik pada tempat-tempat suci seperti di Pura. Karena arca-arca dinilai mempunyai kekuatan sakti, religius magis, maka sampai sekarang arca tersebut masih dikeramatkan sesuai dengan kepercayaan masyarakat Bali.

Terciptanya arca-arca sederhana yang lain yang didasari oleh konsep kekuatan penolakan magis yang ditempatkan pada tempat tertentu, karena mempunyai sifat melindungi sehingga tercapainya kesuburan dalam meningkatkan panen yang dihasilkan. Arca-arca penjaga (Dwarapala) yang menakutkan berperan untuk menjaga kesucian suatu tempat suci. Konsep-konsep pemikiran yang muncul pada saat itu ialah adanya kekuatan yang melebihi kemampuan manusia itu sendiri sehingga muncul arca-arca sebagai media simbol (Purusa,1982:442-443). Seperti diketahui di Bali, masuknya agama Hindu ke Bali ikut mewarnai dan menyuburkan konsepsi alam pikiran dan kepercayaan masyarakat sebelum masuknya agama Hindu ke Bali. Ini betul-betul mempunyai nilai yang tinggi dan dilatar belakangi oleh konsepsi pemikiran yang sudah cukup maju. Unsur-unsur kepercayaan yang asli inilah yang menjadi landasan yang sangat kuat terhadap masuknya agama Hindu ke Bali (Putra,1985/1986:53). Dengan adanya pandangan kepercayaan yang sama maka wajarlah arca-arca sederhana tersebut tetap dikeramatkan oleh umat Hindu di Bali dan dibuatkan sebuah pelinggih khusus di dalam pura. Pada Waktu upacara piodalan, arca-arca sederhana tersebut dihaturkan atau disuguhkan sesajen seperlunya. Menurut I Wayan Widia dkk (1987:5) pratime = simbol perwujudan yang berupa patung, atau arca perwujudan khusus, dan juga dinamai image, idol, figur, daivata, devata pretima, pratikiti, murti, arca dan pertima. Perwujudan ini bukanlah bentuk sebenarnya dari pada bentuk dewa atau roh leluhur, melainkan hanya merupakan media konsentrasi yang ditujukan  kepada Dewa yang sebenarnya. Pretima ini dibuat dari kayu atau logam, dan kalu telah rusak, akan diganti dengan yang baru, sedangkan yang lama dihanyut (dibuang) ke air atau ke laut.

Dalam adat  dan agama Hindu di Bali pratime ini dipralina yaitu dibakar dan kemudian  abunya dihanyut (dibuang) ke laut. Dalam hal ini orang Bali menganggap bahwa yang telah rusak telah leteh (kotor) dan harus dikembalikan kepada asalnya.

Suatu simbol diyakini sakral oleh masyarakat Bali apabila diprosesi dengan inisiasi upacara agama yaitu melalui upacara. mulang dasar, pemakuh, pengurip-urip, mulang pedagingan, pemelaspas, pasupati dan piodalan. Dan apabila tidak melalui proses upacara maka hasil karya seni itu  sekalipun dalam bentuk simbol-simbol tertentu tidak akan diyakini kesakralannya. Contoh. Patung dewa-dewa, patung raksasa dan lain-lain yang dipajang di Batubulan, Singapadu, Silakarang dan lain-lain tetap tidak sakral, namun apabila dipindahkan ke pura dan diinisiasi dengan upacara agama secara lengkap dia akan berubah status menjadi sakral. Demikian juga patung Dewa Ruci di jalan alteri simpang siur, Kuta tidak dianggap sakral, sekalipun terdapat simbol-simbol, seperti simbol Acintya yang diidentikan dengan Dewa Ruci/Nawa Ruci, dimana patung ini tidak melalui inisiasi upacara/sakralisasi.

c. Fungsi estetik religius

Masyarakat agama Hindu umumnya dan Bali khususnya, umat Hindu  dalam berkomunikasi dengan Ida Sanghyang Widhi atau Tuhan tidak hanya melalui hubungan spiritual namun juga melalui media-media tertentu. Hal ini merupakan hakikat hidup manusia yang universal yaitu sebagai makhluk yang menggunakan simbol (animal symbolicum) sebagai alat komunikasi. Media-media yang digunakan sebagai alat komunikasi oleh umat Hindu di Bali khususnya adalah patung atau arca yang secara mitologis selalu dihubungkan dengan manifestasi Tuhan. Ketidakmampuan manusia berhubungan langsung dengan Tuhan melalui batiniah, menimbulkan cara lain untuk mencapai alam Ketuhanan. Cara-cara tersebut adalah dengan membuat upakara atau ritual dari berbagai bahan (banten=Bali) shingga di sana terpusat emosi keagamaan umat manusia melalui simbol benten. Di samping itu adanya seni ritual yang mendukung juga sistem komunikasi manusia dengan Tuhan adalah penciptaan bentuk-bentuk patung perwujudan (arca, pretima, dll) sehingga dalam bentuk-bentuk seperti itu tersirat atau terpadu antara emosi keagamaan, etika, kebenaran, estetika dan filosofis yang menjadi kekuatan sebuah simbol yaitu simbol pengejawantahan dari pemikiran manusia yang merupakan bagian dari kekuatan yang Maha Besar yaitu, Tuhan Yang Maha Esa. Simbol-simbol itu merupakan hasil cipta dan penghayatan manusia terhadap hadirnya kekuatan illahi yang bersemayam dalam estetika batin manusia (umat).

Simbol-simbol religi seperti itu dalam masyarakat Hindu Bali sangat disakralkan oleh orang Bali melalui tradisi yang ditanamkan kepada masyarakat dalam berbagai media, baik dalam media seni maupun lainnya. Media seni yang mendapat pengakuan religius/keagamaan disebut dengan seni sakral oleh karena disebut dengan seni sakral maka atribiut yang disandangnyapun terbawa oleh kesakralannya. Sedangkan seni yang tidak mendapatkan pengakuan/pengukuhan religius disebut seni profan/sekuler. Menurut I Wayan Dibia (2000:3-7)  bahwa untuk  pemahaman terhadap suatu karya seni yang terkait dengan religi (estetis religius) yang juga disebut seni sakral, kita tidak boleh lepas dengan ruang pikir Ke-Hindu-an (Bali). Konsep seni dalam ruang pikir manusia Hindu  khususnya Bali sangat terkait dengan sifat kemahakuasaan Tuhan yang meliputi tiga unsur penting, Satyam (kebenaran), Siwam (kebaikan/kesucian), dan Sundaram (keindahan). Cara pandang berdasarkan rumusan ini memperlihatkan bahwa setiap kesenian Bali, khususnya yang berbentuk kesenian ritual, me-ngandung rasa indah (sundaram), ke-Tuhan-an yang sejati (satyam ), mengandung unsur kesucian (Siwam) sekaligus kebenaran (satyam).

d. Fungsi  sekuler

Seni patung khususnya di Bali sebagai produk budaya yang di ilhami oleh agama Hindu disamping berfungsi religius juga dapat berfungsi secara sekuler.  Dikotomi antara sekuler dan sakral pada hakikatnya merupakan tingkatan penghayatan manusia yang bukan saja antara sesama, namun juga adanya hubungan yang vertikal yakni manusia dengan sang Maha Pencipta. Secara estetik ragawi seni pada prinsipnya dapat memuaskan aspek indria manusia. Dilihat dari sudut mediumnya, maka suatu karya seni mempunyai nilai indrawi (sensuous value) dan nilai bentuk (formal value). Nilai indrawi menyebabkan seseorang pengamat menikmati atau memperoleh kepuasan dari ciri-ciri indrawi yang disajikan oleh suatu karya seni, misalnya warna-warni yang terpancar dari sebuah lukisan (Gie, op. cit. p. 72). Nilai indrawi merupakan sisi sekuler dari fungsi seni dalam pemikiran dikotomi konsep sakral dan sekuler karya seni yang berkembang di Bali. Fungsi sekuler bukan semata-mata hanya penampakan segi luar dari karya seni, namun sangat sulit membedakan antara nilai indrawi dan nilai bentuk. Patung Dewa Ruci sebagai salah satu bentuk seni patung juga dapat dilihat fungsi luarnya atau sekulernya pada beberapa hal; sebagai daya tarik wisatawan, dan sebagai keindahan kota.

Karawitan Bali

Karawitan Bali

Oleh I Wayan Suweca

Ujian TA PS Seni Karawitan 2009Seniman karawitan Bali masa lampau sesungguhnya sudah sangat peka terhadap rasa musikal, hal itu kita warisi hingga sekarang dan kita cukup dibuat terpesona ketika mendengarkan gending-gending ciptaan mereka, rasa musikalnya enak dan cocok/sesuai dengan apa yang mereka ingin ungkapkan. Ketika hal ini ditanyakan kepada beberapa guru senior tradisional mereka menjawab dengan bermacam-macam. Ada yang menyebutkan hal itu disebabkan sang komposer masa lampau sudah sangat sepuh dan sangat peka terhadap rasa musikal, namun ada juga menyebutkan karena sang komposer masa lampau membuat lagu melewati eksplorasi yang mantap dan membutuhkan waktu yang cukup lama termasuk mengadakan semedi sebelum mencipta lagu (Wawancara dengan I Wayan Berata tanggal 28 Juli 2004 dirumahnya). Jawaban seperti ini tentu sifatnya sangat filosofis bahkan mungkin juga politis sehingga membuat kita selalu tanda tanya dan terus ingin menelusuri guna mendapatkan jawaban yang lebih mudah dipahami dari segi keilmuan.

Beberapa literarur telah ada yang menyinggung masalah rasa musikai seperti misalnya Lontar Prakempa dan Aji Gurnita, kedua lontar ini sesungguhnya telah menjelaskan teori rasa dalam karawitan Bali, walaupun untuk memahami secara mendalam masih sangat susah karena sifat literatur tersebut lebih mengedepankan aspek estetika filosofis. Di satu sisi dewasa ini kita sangat membutuhkan teori yang bisa memandu para seniman muda untuk memahami teori sekaligus mempraktekkannya.

Lontar Prakempa menyebutkan ada empat aspek utama dalam gamelan Bali yaitu tatwa (filsafat atau logika), susila (etika), lango (estetika), dan gegebug (teknik) (Bandem, 1986:1). Keempat unsur pokok sebagai isi dari lontar Prakempa ini pada dasarnya sebuah sumber berharga guna mencermati teori rasa musikal dalam karawitan Bait. Sebagai sebuah pedoman pokok keempat aspek utama ini masih perlu diteliti secara mendalam untuk bisa dijadikan landasan dalam menguraikan lebih eksplisit untuk menjadi sebuah keterangan yang mudah dicerna.

Lontar Aji Gurnita ada menyebutkan sebuah bab khsus yang diberi judul Tutur Catur Muni-Muni, yaitu empat gamelan sekawan yang semuanya dianggap bersumber pada gamelan Gambuh, sebuah gamelan yang konon penciptanya adalah para dewa dari langit (Ibid.,  p. 6). Gamelan Gambuh atau Pegambuhan oleh seniman Bali sering disebut-sebut sebagai “tambang emas” atau sumber inspirasi atau sumber acuan penciptaan gamelan dan repertoar gamelan lainnya.  Hal ini berarti dengan mengoreksi secara detail unsur-unsur musikal gamelan Gambuh akan ditemukan seperangkat cara atau aturan untuk menciptakan sebuah lagu yang baik.

Penelitian yang sifatnya menerangkan lebih detail mengenai isi Lontar Prakempa dan Aji Gurnita sesungguhnya sudah dilakukan oleh seniman karawitan Bali dan banyak melahirkan teori-teori yang sangat bermanfaat bagi pembelajaran karawitan Bali. Almarhum I Gusti Putu Geria lewat analisisnya telah melahir-kan konsep Tri Angga, sebuah teori logika musikal dan bedah struktur karawitan Bali, yang pada dasarnya adalah konsep estetika dalam memahami struktur. Teori ini sampai sekarang selalu dijadikan pedoman bagi para komposer untuk membuat struktur gending menjadi harmonis serta memiliki kaedah-kaedah estetika.

I Made Bandem selain telah menterjemahkan dan membedah dengan cermat isi Lontar Prakempa dan Aji Gurnita, juga menelaah dan menguraikan lebih detail aspek teknik/gegebug kemudian menyusun sebuah artikel berjudul Ubit-Ubitan, Sebuah Teknik Permainan Gamelan Bali. Ubit-ubitan atau kotekan yang dianalisis oleh I Made Bandem berdasarkan informasi dua maestro karawitan Bali yaitu almarhum I Gusti Putu Geria dan almarhum I Nyoman Kaler. Lebih lanjut disebutkan bahwa ragam kotekan atau ubit-ubitan juga akan menentukan rasa musikal tertentu (Ibid., p. 15).

I Wayan Rai S dalam orasi ilmiahnya berjudul Unsur Musikal dan Ekstra Musikal dalam Penciptaan Gending-Gending Iringan Tari Bali juga telah memberikan panduan kepada kita untuk memahami karakterisasi karawitan sebagai iringan tari. Rai menyebutkan ada dua unsur penting yang dijadikan acuan oleh komposer dalam menciptakan iringan tari Bail yaitu unsur musikal dan unsur ekstra musikal (Rai, op. cit. p. 4).  Penelitian yang dilaku-kan I Wayan Rai ini masih merupakan hasil analisis dan hipotesa awal untuk dijadikan acuan dalam mengadakan penyelidikan yang sifatnya lebih detail.

Colin McPhee dalam bukunya berjudul Music In Bali (1966) juga menjelaskan tentang adanya variasi dalam tetekep yang dapat melahirkan karakterisasi gending-gending Pegambuhan. McPhee menyebutkan tetekep selisir memiliki karakter halus (refined), tetekep tembung memiliki karakter keras (coarse), sedangkan tetekep sundaren memiliki karakter antara halus dan keras. Tetekep tebeng juga berkarakter halus tetapi biasanya digunakan secara khusus untuk mengiringi tokoh putri (princess), sedangkan tetekep baro untuk mengiringi tokoh pelayan dan pelawak dalam dramatari Gambuh (Phee, 1966:40). Namun demikian apa yang menyebabkan variasi tetekep itu dapat menentukan perbedaan rasa belum dijelaskan secara detail  McPhee hanya menjeiaskan kenyataan yang biasa dipergunakan kemudian dideskripsi seperti tersebut di atas.

Ekspresi dan Teknik Penciptaan dalam Seni Kriya

Ekspresi dan Teknik Penciptaan dalam Seni Kriya

Oleh I Wayan Sumantra

Karya Kriya dalam Ujian TAEkspresi adalah ungkapan tentang rasa, pikiran, gagasan, cita-cita, fantasi, dan lain-lain.  Sebagai suatu ungkapan, ekspresi merupakan tanggapan atau rangsangan atas berbagai fenomena sosial, kultural dan bahkan politik, yang memungkinkan terjalarnya pengalaman subjektif dari seniman kepada orang lain. Sebagai jiwa, ekspresi merupakan kristalisasi pengalaman subjektif seniman terhadap berbagai persoalan yang dipikirkan, direnungkan, dicita-citakan, diangan-angankan, dan apa yang difantasikan. Realitas itu menjadi sumber inspirasi lahirnya ide-ide dalam karya ciptaan seniman, sehingga ekspresi merupakan akumulasi ide yang membutuhkan sarana pengungkap, karena ide bukanlah sekedar ide tapi harus direalisasikan. Pada hakekatnya seni adalah bahasa komunikasi, baik bagi seniman itu sendiri dalam berdialog dengan karyanya secara internal, maupun dengan masyarakat secara eksternal.

Seni sebagai wahana komunikasi antara seniman dengan masyarakatnya, secara mutlak harus menghadirkan karya sebagai media komunikasinya. Oleh karena itu komunikasi dengan karya menjadi penting artinya. Karya seni sebagai hasil belum sempurna jikalau karya tersebut tidak dikomunikasikan kepada penonton (audience), sehingga karya seni sebagai hasil dialog bagi seniman menjadi sarana komunikasi. Oleh karena itu, ide, pikiran, fantasi, angan-angan dan lain-lain penting untuk diobjektivikasi, direalisasi, dimanifestasikan ke dalam bentuk konkrit lahiriah. Hal ini hanya mungkin dilakukan dengan menciptakannya, dan tentu untuk menciptakannya memerlukan apa yang disebut teknik. Teknik menjadi bagian sentral bagi seniman, karena betapapun tingkat kemampuan seorang seniman tidak dapat lepas dari persoalan ini. Ide, pikiran, cita-cita dan lain-lain menjadi pendorong tentang apa yang hendak diekspresikan dan teknik menjadi sarana bagaimana untuk mengungkapkannya.

Teknik menjadi mutlak bagi seniman, karena tanpa teknik, ide, pikiran, fantasi dan lain-lain yang dipikirkan, direnungkan, dikhayalkan oleh seniman akan tetap tinggal ide, tidak membekas bagi orang lain. Karya sebagai wahana komunikasi untuk dapat dihayati, dicermati dan barangkali sampai ketingkat dipahami menuntut visualisasi dan realitas. Teknik merupakan kendaraan di mana ide hendak diantarkan. Sebagai suatu kendaraan seniman dituntut menguasai teknik untuk dapat mengendarainya ke tempat tujuan yang diinginkan.

Akhirnya, ekspresi dan teknik penciptaan dalam seni adalah dua hal yang saling terkait. Ekspresi tanpa teknik akan berjalan gontai, sedangkan teknik tanpa ekspresi akan berjalan tanpa akhir atau dengan kata lain produktivitas yang hanya mengandalkan teknik akan menghasilkan karya yang kurang bermakna, kurang berbobot sedangkan kekayaan ide yang menjadi modal dasar ekspresi tanpa teknik dalam artian tidak merealisasikannya adalah suatu kualitas yang semu karena tidak diwujudkan.

Betapapun sensitifnya seorang seniman terhadap lingkungan di sekitarnya, ia tidak dapat mengkomunikasikan apa yang ia rasakan kecuali kalau ia melatih dirinya sendiri untuk mengontrol tangannya dan jenis peralatan yang digunakannya. Ia membuat sesuatu seperti halnya seorang kriyawan,  ia menyesuaikan bahan dan metode terhadap makna yang ingin diekspresikan. Seni adalah suatu bentuk ekspresi. Sebagai suatu bentuk, seni hadir sebagai responsi realitas melalui serangkaian kegiatan, baik yang bersifat jasmaniah maupun rohaniah seniman. Masing-masing tataran kegiatan itu saling berhubungan, tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya. Untuk sampai pada bentuknya, kegiatan seni berawal dari pengamatan untuk menangkap substansi yang menggugahnya, menginkubasi serta merealisasikannya ke dalam suatu karya.

Sebagai suatu bentuk ekspresi, ide, pikiran, emosi, fantasi dan lain-lainnya itu dapat merujuk (terinspirasi) melalui berbagai realitas, baik yang bersifat kasat mata maupun maya, yang menggugahnya. Visualisasinya dapat menggugah secara langsung melalui kesan kuat yang terindikasi melalui garis, bentuk, dan warnanya atau melalui subjek matter yang memotret realitas sosial yang memilukan. Atau dapat juga hadir melalui serangkaian langkah yang penuh pertimbangan dan perhitungan.

Ekspresi hadir dalam berbagai medium ungkap seni, ia telah memilah dan memilih aliran tertentu untuk dapat dikatakan sebagai seni yang memiliki ekspresi. Karena ekspresi, dalam makna yang luas dapat hanya menunjuk karakter keekspresifannya (expressiveness) yang spontan menggetarkan semata, akan tetapi dapat juga gugahan untuk merasakan ekspresi itu tersembunyi di balik tampilannya. Sehingga ekspresivitas yang dibawakan tidak secara serta merta ditangkap oleh audience, akan tetapi pada perenungan yang tersisa dari amatan yang dilakukannya. Akan tetapi yang jelas untuk dapat mengungkapkan apa yang dipikirkan, digagaskan, diimpikan, difantasikan, dan dirasakan seorang seniman tidak begitu saja mampu memberi bentuknya. Ekspresi sebagai bahasa ungkap bagi seniman mempersyaratkan keterampilan dan kemampuan. Ia tidak sekedar kemampuan menangis atau tertawa yang in born ability, akan tetapi melalui serangkaian latihan, percobaan sehingga mencapai penguasaan yang mahir.

Panorama teknik penciptaan juga sangat menjolok hadir sebagai persyaratan  dalam menghasilkan produk dalam seni kriya. Seni kriya yang pada situasi awal secara jelas dan tegas menunjukan ketidakterpisahannya dengan fungsi praktis. Teknik penciptaan sebagai wahana mengungkapkan ide bagi pelakunya menjadi bagian sangat penting. Hampir pada setiap langkah penciptaannya, seni kriya penuh pemikiran terkait dengan bahan, teknik serta konstruksinya, sehingga seolah-olah tidak ada ruang gerak bagi ekspresi. Akan tetapi bukan berarti bahwa produk seni kriya nihil ekspresi. Pencermatan terhadap produk-produk prasejarah melalui torehan garis pada tanah-tanah liat maupun bentuk-bentuk pahatan pada batu, misalnya karakter garis yang dihasilkan menyiratkan keekspresifannya. Dalam variasi produk yang lain, nilai keekspresifannya juga menghiasi relief atau ukiran pada elemen arsitektural rumah hunian. Seorang Empu, untuk menciptakan sebilah keris membutuhkan waktu tidak hanya dalam proses garapan, yang tekniknya dilakukan secara sistematis dalam pencapaian nilai-nilai eksetoriknya, akan tetapi membutuhkan waktu panjang dan dengan melalui tahapan-tahapan mistis untuk memberikan muatan nilai isetoriknya.

Dalam relief candi seperti Borobudur, misalnya walaupun atmosfir religius demikian kuat akan tetapi fragmentasi yang hadir padanya membawa interpretasi keluasan makna. Relief tersebut tidak sekedar rangkaian komposisional yang berdemensi keagamaan, akan tetapi padanya juga mengekspresikan (dalam arti luas) gagasan atau pikiran yang bersifat edukatif terhadap kehidupan yang lebih baik. Ajaran yang bersifat moral termanifestasikan ke dalam relief yang membantu memudahkan pemahaman hidup menuju ke nirwana. Teknik penciptaan untuk mengungkapkan ajaran moral keagamaan secara visual ilustratif itu memudahkan pemahaman terhadap gagasan, pikiran yang hendak disampaikan kepada umatnya, merupakan suatu ekspresi religius yang dikomunikasikan melalui fragmentasi relief.

Loading...