Seni Lukis Kontemporer

Seni Lukis Kontemporer

Oleh Ni Made Purnami Utami

Bhendi YudhaPengertian “Kontemporer” dibandingkan dengan istilah modern. Kontemporer sekedar sebagai munculnya perkembangan seni rupa sekitar tahun 70-an dengan menempatkan seniman-seniman Amerika seperti David Smith dan Jackson Pollok sebagai tanda peralihan. Udo Kulterman seorang pemikir Jerman mengatakan bahwa pengertian kontemporer dekat dengan pengertian post modern dalam arsitektur, munculnya era baru dalam ekspresi kesenian. Paham baru ini menentang paham modern yang dingin dan berpihak pada simbolisme instink (Dharsono, 2004). Sumartono menjelaskan, ada dua pengertian “seni rupa kontemporer” yang berlaku di Indonesia: 1). Pengertian yang beredar secara luas dimasyarakat, ‘seni rupa kontemporer’ bisa berarti seni rupa kontemporer bisa berarti seni rupa modern dan seni rupa alternatif, seperti: instalasi, happenings,dan  performance art , yang berkembang di masa sekarang. Instalasi adalah karya seni rupa yang diciptakan dengan menggabungkan berbagai media, dengan membentuk kesatuan baru, dan menawarkan makna baru. Karya instalasi tampil secara bebas, tidak menghiraukan pengkotakan cabang-cabang seni menjadi ‘seni lukis’ seni patung, seni grafis, dan lin-lain. Instalasi bisa saja mengandung kritik, sindiran atau keprihatinan. 2). Membatasi seni rupa kontemporer hanya saja pada seni rupa alternatif, seperti instalasi, happenings, performance art, dan karya-karya lain yang menggunakan kecendrungan bertentangan dengan seni rupa modern. Seni rupa kontemporer adalah penolakan terhadap seni rupa modern. Istilah kontemporer cenderung mengarah untuk seni rupa kontemporer dalam pengertian yang kedua ‘antimodernisme’.

Moderinisme selalu mementingkan norma kebenaran, keaslian dan kreativitas. Prinsip tersebut melahirkan “tradisi of the new”  atau “ tradisi Avan Garde”, pola lahirnya gaya seni yang baru, sempat ditolak kemudian diterima masyarakat sebagai inovasi baru. Seni instalasi, happenings, performance art, dan karya-karya lain yang mengandung sindiran, kritik, ritual, ruwatan atau keprihatinan sebagai perkembangan seni rupa paling mutakhir. Seni rupa ini dekat kepada masyarakat. Tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat menyentuh berbagai aspek kehidupan dengan media dan teknik terbatas. Dalam seni rupa kontemporer setiap negara memiliki cara pandangnya sendiri – sendiri dalam menghadapi globalisasi berlandaskan etnisitas masing-masing. Karena seni rupa kontemporer bukan gerakan atau aliran, bukan mengejar identitas, tetapi merupakan refleksi masa tradisi.

Munculnya berbagai karya seni yang radikal sebagai reaksi terhadap modernisme, seperti yang ditunajukkan oleh Pop Art, Neo Dada, performance Art, Happening Art, dan Seni Instalasi. Sering kali karya-karya mereka hanya membuat shock pada penonton dari pada kesenangan estetik, karena wajah seni rupa sudah tidak terperikan. Wajah seni yang semakin beragam, dikenal sebagai pluralisme, merupakan paraktek kesenian yang memiliki prinsip saling bertentangan. Seni terkadang tidak bisa lepas dari ideologi politik dan diperalat untuk memperjuangkan kepentingan ideologi yang bersifat advokatif. Akibatnya banyak karya-karya seniman kontemporer yang hadir dengan penampilan radikal untuk menarik perhatian, mengangkat persoalan dan mereka yakin bahwa seni bisa dipergunakan sebagaia salah satu alat untuk perubahan sosial (Irianto, 2000).

seni modernitas yang telah dianggap menjadi konvensi-konvensi yang beku terhadap perkembangan zaman, perlu pencarian nafas baru yaitu seni kontemporer yang dianggap mampu membikin gerak dinamika dan sesuai dengan nafas zaman. Seni kontemporer tidak terikat oleh konvensi atau dogma manapun. Oleh karena itu ia arti kemampuan (anti segala konvensi, gaya, corak bahkan estetik).

Memasuki abad, kita dihadapkan berbagai masalah sosial, budaya, politik, ekonomi dan berbagai segi kehidupan yang terkait dengan moralitas. Maka munculah beberapa kelompok seniman muda mencoba menawarkan berbagai warna dalam berbagai bentuk “performance art, instalasi art, dan collaborasi art, sebagai pijakan berkarya. Mereka mengangkat idiom tradisi yang sarat ajaran budaya pluralis sebagai satu tawaran alternatif tarif, yang mampu memberikan berbagai makna universal dari sisi kehidupan  (Dhasono, 2004).

Kecedasan kreatif adalah kemampuan untuk memunculkan ide-ide baru, menyelesaikan masalah dengan cara yang khas, untuk meningkatkan imajinasi, prilaku dan produktivitas kerja (Buzan, 2002). Seniman kreatif selalu berusaha mencari nilai-nilai kebaruan pada saat mereka berhadapan dengan setiap obyek dengan sikap pandangan yang berbeda untuk mencapai originalitas yang tinggi.

Sunjoya (1976), menyatakan bahwa jenjang karya menurut Revesz dipilih sebagai berikut:

1. Karya reproduktif, adalah hasil dari meniru karya lain setepat mungkin.

2. Karya aplikatif, karya yang dipelajari diterapkan dengan penuh arti pada situasi dan kondisi yang dihadapi.

3. Karya interpretatif, karya yang dipelajari, mendapat tafsir pribadi, masih mengalami dan menghormati sumbernya.

4.  Karya produktif, karya asli yang belum pernah ada.

Apresiasi Estetika  Etnis Multikultur: Studi Kasus Sanggar Tari  Lokananta, Singapadu

Apresiasi Estetika Etnis Multikultur: Studi Kasus Sanggar Tari Lokananta, Singapadu

Oleh Ketut Sumadi

Ujian TA Seni Tari 2009Keanekaragaman kebudayaan Indonesia yang didukung oleh 931 etnik, 600-an bahasa daerah dan ribuan aspirasi kultural (Mulyana, 2005 : 9),  maka dalam proses interaksi sebagai bagian dari negara kesatuan antar etnik tersebut diperlukan sebuah toleransi yang tinggi terhadap keberadaan kebudayaan satu etnis dengan etnis yang lainnya dalam kerangka nasionalisme kebangsaan, sebuah ideologi transetnis yang menjadi cita-cita bersama. Toleransi inilah yang nantinya bermuara pada konsep adaptasi budaya sebagai sebuah out put yang bijaksana dan bebas konflik.

Konsep adaptasi sangat berkaitan dengan persoalan lingkungan sebagai kunci dalam orientasi ekologi budaya. Adaptasi sering diartikan sebagai proses yang menghubungkan sistem budaya dengan lingkungannya. Mustahil berpikir tentang adaptasi tanpa mengacu pada sesuatu lingkungan tertentu (Kaplan,1999:112). Dalam masyarakat multietnik maka kecenderungan proses adaptasi budaya ini semakin tinggi, sebab mobilitas penduduk antaretnis sangat tinggi. Konsep adaptasi ini adalah sebuah proses penyesuaian suatu budaya terhadap budaya lainnya, dalam rentang waktu yang cukup panjang.

Adaptasi budaya antaretnis di Indonesia, saat ini mengharuskan kita untuk melihat perspektif kemajemukan dan adaptasi tersebut dalam konteks daerah atau lokal, nasional dan internasional atau lintas negara. Kemajemukan dan adaptasi antaretnis pada tingkat lokal pada umumnya terdapat di daerah perkotaan, khsususnya kota-kota besar. Kemajemukan ini disebabkan oleh terpusatnya kegiatan ekonomi, politik, industri terutama industri berteknologi tinggi, pusat kekuasaan/pemerintahan dan sebagainya. Sebagai konsekuensi dari tersentralisasinya segala kegiatan seperti itu, maka jumlah urbanisasi menjadi sangat tinggi dan sulit untuk membendungnya di samping itu kota juga merupakan tempat berbagai hal yang saling bertentangan (kontras). Kota merupakan pusat pendidikan, seni, ilmu pengetahuan dan pengobatan, kegembiraan, daya tarik dan “kemajuan”; sebaliknya daerah pedesaan dipandang sebagai tempat cara pandang kedaerahan, takhayul, kebodohan dan kefanatikan (Horton dan Chester L. Hunt,1989:151 dalam Dwija, 2007: 20).

Semboyan Bhineka Tunggal Ika dalam Pancasila, lambang Negara Indonesia, tidak bisa terbantahkan keampuhannya mengukuhkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Budayawan Muji Sutrisno dan Taufik Rahzen  dalam Dialog Budaya (Metro TV: 2006) yang selalu menjadikan  Bali sebagai contoh studi kasus dalam pembicaraannya tentang multiculture dan culture studies. Muji Sutrisno misalnya, menyebut konsep kearifan lokal  desa, kala, patra dari Bali sebagai konsep tentang tempat, ruang dan waktu, bisa sejalan dengan pemikiran culture studies yang melahirkan sikap saling menghargai keragaman budaya dan mengembangkan  sikap toleransi untuk saling memahami makna budaya masing-masing daerah. Selain itu, orang Bali juga memiliki beberapa konsep untuk menjalin hidup bersama, saling menghormati, dan menghargai satu sama lain, seperti tat twam asi,  menyama braya,  sagilik saguluk salunglung sabayantaka, paras paros sarpanaya.

Taufik Rahzen  lebih berani menyebut Bali sebagai model tempat persemaian budaya global tanpa menggilas budaya lokal. Pendapatnya ini didasari atas  hasil pengamatannya  tentang teguhnya masyarakat Bali mempertahankan tradisi seperti ritual yang hampir tiada putus-putusnya. Disamping mengutif hasil penelitian orang asing yang mengadakan penelitian di  tiga tempat  yakni New York, Papua, dan Bali, dalam kaitannya dengan  teroris dan tragedi bom di Bali Oktober 2002. Ternyata,   dibanding New York dan Papua,  masyarakat Bali memiliki respons budaya yang sangat unik untuk bangkit dari tragedi, yakni bangkit dengan kearifan lokalnya,  dalam bentuk ritual, perenungan ke dalam diri dan tidak balas dendam. Sedangkan masyarakat New York dan Papua lebih memilih membela diri dengan balas dendam lewat invasi perang. Ini terlihat dari invasi militer Amerika dan sekutunya ke negara-negara yang diduga sebagai sarang teroris,  sedangkan di Papua  terjadi perang suku.

Kasus menarik patut dilirik aktivitas  Sanggar Tari Lokananta di Banjar Mukti Singapadu, Sukawati, Gianyar yang berdiri tahun 2001. Jumlah anak-anak yang belajar menari di sanggar ini tercatat 180 orang, namun yang aktif bisa mengikuti pelatihan setiap minggu dua kali yakni pada hari Jumat dan Minggu sore sekitar 100 orang. Yang tidak aktif karena banyak ikut kegiatan di sekolah, tapi jika mereka akan pentas atau ngayah menari, biasanya mereka minta jadwal berlatih secara khusus.

Di Sanggar Tari Lokananta ternyata tidak hanya diberikan pelatihan menari Bali, tetapi juga diberikan pelatihan tari-tarian etnis dari berbagai daerah di Nusantara. Menurut Ketua Sanggar Tari Lokananta, I Wayan Sutirtha, SSn, apresiasi seni etnis multikultur itu diberikan kepada anak-anak agar mereka lebih mengenal seni budaya yang beranekaragam di Indonesia. “Kami sejak dini  ingin menanamkan  semangat multikulturalisme, semangat saling menghormati dan menghargai seni budaya berbagai daerah di Tanah Air, sebagai ilmpelementasi dari konsep “Ajeg Bali” dan memperteguh  Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ungkap Sutirtha yang juga dosen ISI Denpasar ini. (Bali Post, 4 Februari 2007).

Kondisi bangsa yang memprihatinkan ini memang telah menjadi wacana hangat belakangan ini. Banyak orang, para seniman  termasuk Wayan Sutirtha, tergerak melakukan sesuatu untuk menyelematkan bangsa dengan cara dan kemampuannya masing-masing. Sebagai seniman tari yang telah beberapa kali mengantar Kabupaten Gianyar meraih juara satu dalam bidang tari kreasi pada Pesta Kesenian Bali, I Wayan Sutirtha kini mengajak anak-anak yang tergabung di Sanggar Tari Lokananta mencintai kebudayaan bangsanya melalui seni tari. “Kekayaan budaya Nusantara itu harus dikuasai oleh anak-anak kita, agar mereka menjadi insan yang mampu hidup penuh toleransi dan saling menghormati, menembus batas etnis  serta lapisan sosial,” katanya.

Namun untuk menumbuhkan semangat multikulturalisme  dan memahami budaya orang lain di kalangan anak-anak melalui kegiatan berkesenian, memang tidak mudah. “Diperlukan kesabaran dan ketekunan melatih mereka, karena olah tubuh dalam gerakan tarian itu masih asing, di samping itu mereka belum memahami nilai-nilai luhur yang ada dalam tarian itu,” ungkap Sutirtha  serius.  Syukurnya, anak-anak memiliki talenta seni yang bagus, sehingga gerakan tarian akhirnya bisa dikuasai meskipun kurang sempurna, seperti penari dewasa.

Dalam tahap awal pengenalan tari Nusantara itu, Wayan Sutirtha yang mendirikan sanggar tari sejak enam tahun yang lalu bersama istrinya,  Dwi Wahyuning Kristiansanti, S.Sn,  anak-anak diberikan Tari Saman, sebuah tarian dari Daerah Aceh yang gerakannya  sangat dinamis dengan suasana ceria. “Tarian ini  sangaja dipilih, sekaligus kita ingin mengajak anak-anak memberi dukungan semangat dan moral kepada anak-anak di Aceh yang ditimpa bencana gempa dan tsunami,” ungkap Sutirtha. Di samping  itu, anak-anak dilatih Tari Rantak, sebuah tarian daerah Minangkabau, Sumatera Barat. Tarian ini mendapat inspirasi dari gerakan Pencaksilat  yang tangkas, cekatan, dan penuh sukaria,  sehingga cocok bagi perkembangan dan jiwa anak-anak gemar  bermain dan periang. “Untuk melatih dua tarian ini perlu waktu cukup panjang, agar mereka tidak hanya hafal gerakannya, tetapi juga memahami budaya Aceh dan Minangkabau untuk menambah pengetahuan budaya yang mereka dapatkan di bangku sekolah,” ujar Sutirtha, ayah dua putra ini.

Tari Saman dari Daerah Aceh, dan Tari Rantak dari daerah Minangkabau, Sumatera Barat, yang dipersembahkan pada  puncak perayaan Hari Ulang Tahun Sanggar Tari Lokananta ke-6, tanggal 28 Januari 2007,  di samping tari Bali berupa Tari Kukus Arum dan Tari Cak Sunda-Upasunda, merupakan salah satu wujud  dari proses belajar anak-anak yang panjang dalam mengapresiasi estetika etnis multikultur di Indonesia. Karena itu, tema yang diusung pada  peringatan pada Hut ke – 6  Sanggar Tari Lokananta  itu yaitu “Dengan Semangat Multikultural, Kita Bersatu dalam Aktivitas Seni Budaya Menuju  Ajeg Bali dan Keutuhan NKRI “. Tema ini kedengarannya memang sangat bombastis, tetapi dalam perspektif kajian budaya, kita patut memberikan dukungan dan semangat, bahwa Sutirtha dan anak didiknya telah berbuat yang terbaik demi bangsa dan negara. Meski belum berjalan sempurna, proses belajar apresiasi estetika model Sanggar Tari Lokananta ini patut ditiru dan disebarluaskan.

Local Color In The Novel “Tarian Bumi”: Balinese Cultural Expression

By I Made Suastika In MUDRA Special Edition 2007

Tarian Bumi (or “The Dance of the World”) by Oka Rusmini is published by Indonesia Tera, Magelang, in 2002. As a novel, Tarian Bumi consists of 140 pages and divided into 20 chapters but has no chapter’s number. In its introduction, the publisher tells about the general vision and mission of the novel, including the condition and position of woman writer (Oka Rusmini) in Indonesian literature.

Tarian Bumi is worth to be discussed because 1) Tarian Bumi is written by a woman writer in which, so far, dominated by man. 2) Tarian Bumi evokes local color, which is very rare and less attracted in literature writing. 3) The theme is about Balinese culture, one of the unique cultures in Indonesia. At the end, there is a brief biography of the writer and a note on local words.

Synopsis

Luh Sekar is a poor sudra, the lowest caste in Bali. Her mother is Luh Dalem. Some people say, she has been robbed and raped by more than three men, then she gets pregnant even blind. Many efforts have been done to miscarriage but fails to do that. She then bears two babies, they are Luh Kerta and Luh Kerti, Luh Sekar’s younger sisters. To earn their living, Luh Sekar sells things in Badung market.

Luh Dalem, especially her daughter Luh Sekar, is a hardworking  woman. They want to improve their life. That is why Luh Sekar chooses to marry a man from a brahmana caste, the highest caste. In order to attract the man, she learns dancing. She also prepares herself with a jimat (magical power) given by her mother. Beside that, she looks for a taksu (inner, spiritual power from God) by praying in a temple at night accompanied by Luh Kenten.

Luh Sekar is able to change her life for she succeeds to marry Ida Bagus Ngurah, a brahmana. Due to Balinese traditional culture, she is given a title called jero. Her new name is Jero Kenanga. It is true that, after the marriage, being a new brahmana, she becomes a woman with a changed socio-economic condition. In fact, she is not happy as her husband is a playboy and a gambler. She is so stressed because of the tight rule as a brahmana. So, many rules have to follow. In the family, she is so dilemmatic because she is now a brahmana but treated a sudra.

From her marriage, she has a brahmana daughter, named Ida Ayu Telaga Pidada alias Tugeg. Like her mother, Ida Ayu Telaga Pidada is good at dancing. Under the guidance of Luh Kambren, her dance teacher, she can dance various traditional dances.

However, there are so many different characters between Ida Ayu Telaga Pidada and her mother. Her mother is very ambitious in terms of socio-economic status whereas Ida Ayu Telaga Pidada seems very humble. As a brahmana, Ida Ayu Telaga Pidada cherishes all people. She hates any rule run in the brahmana family. Different from her mother, she does not like to marry a man from the same caste (brahmana). That is why, she chooses to marry a sudra painter named Wayan Sasmita. It is told that, Wayan Sasmita is an unexpected child from illegal marriage between Ida Bagus Ketu and Luh Gumbreg whom are Ida Ayu Telaga Pidada‘s father and mother-in-law.

The marriage between Ida Ayu Telaga Pidada and Wayan Sasmita is not lasted long for Wayan Sasmita dies of heart-attack. But, they have a daughter named Luh Sari. After her husband death, Ida Ayu Telaga Pidada suffers so much. Wayan Sasmita’s mother-in-law (Luh Gumbreg) blames Ida Ayu Telaga Pidada as the cause of her son‘s death. She thinks that it is all because Ida Ayu Telaga Pidada does not hold a special religious ceremony concerning her giving up relationship from her being brahmana. To do that, such a ceremony is held one day.

On the other hand, Sadri, Wayan Sasmita‘s sister, is jealous with Ida Ayu Telaga Pidada. Once, Ida Ayu Telaga Pidada is also raped by Putu Sarma, her brother-in-law.

Local Color In The Novel “Tarian Bumi”: Balinese Cultural Expression, download

Balaganjur dalam Makna Profan

Balaganjur dalam Makna Profan

Oleh I Wayan Suharta

Adi MerdanggaPerkembangan makna Balaganjur sebagai ekspresi berkesenian dalam konteks keterkaitannya dengan ritual menjadi pertunjukan yang bermakna profan dapat dijelaskan dari pendekatan wujud kebudayaan, yaitu dari sistem budaya, sistem sosial dan sistem fisik. Sebab pada hakekatnya setiap unsur kebudayaan bermula dari ide-ide dari nilai-nilai yang mendorong ke arah prilaku dalam bentuk aktivitas yang akhirnya menghasilkan peralatan atau benda-benda konkret.

Makna profan Balaganjur dari aspek sistem budaya adalah dijadikannya Balaganjur sebagai “media ungkap seni” atau menjadi sumber inspirasi dalam konteks intepretasi estetis maupun akulturasi seni antara tradisi dengan seni modern. Munculnya karya seni dengan media Balaganjur semuanya bermula dari dunia ide para senimannya dengan mempertimbangkan manfaat praktis yang secara positif perlu dipertahankan dan dikembangkan.

Makna profan pertunjukan Balaganjur dari aspek sistem sosial adalah sebagai media penyaluran pengisi waktu dengan berkesenian, berkumpul, dan berorganisasi. Para seniman ketika merintis lahirnya sebuah seni pertunjukan, memiliki wadah berkesenian yang tidak terikat dengan ritual keagamaan. Begitu pula seniman mempunyai ekspresi berkreativitas seni yang lebih memberikan kebebasan untuk berimprovisasi.

Pembentukan sekaa-sekaa Balaganjur yang kini tersebar di Bali, pada prinsipnya dapat mengangkat potensi seni di masing-masing komunitas. Sebuah sekaa Balaganjur terwujud dari sosio-estetis para seniman tabuh. Sesuai dengan peran dan tugasnya, semua sekaa mendapat pengakuan untuk mengekspresikan bakat seni dan rasa keindahannya yang terungkap lewat Balaganjur.

Makna profan pertunjukan Balaganjur dari aspek sistem fisik adalah leluasanya para seniman dan sekaa-sekaa Balaganjur menjelajahi berbagai kemungkinan konsep artistik, baik dari segi musikalitasnya maupun tata penyajiannya. Balaganjur dari aspek sistem pisik jika ditinjau dari kreativitas ekonomi adalah kebebasan akan tempat, waktu, keadaan dan penyajiannya. Dalam konteks presentasi estetis sebagai tontonan wisatawan, Balaganjur tidak mengklasifikasikan tempat, yang penting arenanya dianggap cukup pementasannyapun dapat berlangsung. Dalam konteks profan pada prinsipnya Balaganjur dapat dipentaskan kapan saja. Tetapi untuk pementasan di ruang terbuka, Balaganjur lebih ideal dipentaskan sebagai musik prosesi dengan pertimbangan estetika dan efek akustika.

Makna Estetis

Agama Hindu merupakan unsur paling dominan sekaligus merupakan roh budaya Bali. Agama Hindu adalah sumber utama dari nilai-nilai yang menjiwai kebudayaan Bali. Setiap hasil kreativitas budaya Bali termasuk kesenian seperti Balaganjur tidak akan bisa lepas dengan ikatan nilai-nilai luhur budaya Bali, terutama nilai-nilai estetika yang bersumber dari agama Hindu.

Estetika berasal dari kata aisthesis dalam bahasa Yunani  dapat diartikan sebagai rasa nikmat, indah yang timbul melalui pencerapan panca indra (Djelantik, 2004:5). Estetika dimaknai sebagai keindahan yang dapat merangsang dan mendorong manusia untuk berkreasi dan bersikap dinamis untuk mencapai kepuasan bathin dalam mempertajam intuisinya yang menyangkut rasa keindahan yang membuat kita senang, terkesima, terpesona, bergairah dan bersemangat.

Kebutuhan manusia akan rasa kenikmatan estetis mendorong mereka untuk terus menciptakan objek-objek bernilai estetis. Jika diperhatikan di sekeliling kita terdapat berbagai objek yang dapat menimbulkan rasa lango (menyenangkan). Di jalan-jalan kita melihat benda-benda yang bernuansa estetis seperti patung-patung, tiang-tiang lampu, ukiran-ukiran rumah dan dekorasi-dekorasi lainnya. Akan tetapi benda-benda estetik yang ada di sekitar kita sesungguhnya tidak semua diciptakan oleh seniman atau penciptanya dengan tujuan yang sama sebagai benda kesenian. Ada karya-karya seni yang memang sengaja dibuat untuk dinikmati keindahannya dan tidak sedikit yang semula berupa benda atau barang pakai yang baru kemudian dijadikan benda seni. Oleh Jacques Maquet menamakan tiap-tiap objek keindahan menjadi art by distination dan art by metamorphosis (Dibia, op. cit. p. 96).

Seni pada dasarnya tidak dapat dipisahkan kehidupannya dengan masyarakat, terutama masyarakat Bali. Seni dan masyarakat adalah satu. Oleh karena itu nilai estetis adalah sangat kuat dalam kehidupan masyarakat Bali. Kesadaran dan kehidupannya di bidang seni sangat tinggi, dan boleh dikatakan antara seniman dan masyarakat penontonnya terdapat komunikasi yang hidup (Mantra, 1993:32). Keberadaan seni pertunjukan dalam kehidupan masyarakat tidak dapat dilepaskan dari fungsinya sebagai suatu sarana interaksi dan komunikasi dalam masyarakat yang mengandung makna tertentu utamanya bermakna estetis.

Pembicaraan mengenai Balaganjur yang bernilai artistik bertumpu kepada masalah rasa akan selalu mengacu kepada dua sisi yang terkait, yaitu objektivitas dan subjektivitas. Sisi yang pertama menyangkut realita atau kenyataan dari bentuk Balaganjur, sedangkan sisi yang kedua menyangkut kesan yang ditimbulkan oleh Balaganjur tersebut. Oleh sebab itu, hasil penilaian estetis yang optimal dapat dicapai dengan memadukan kedua sisi objektif dan subjektif.

Penilaian terhadap kualitas Balaganjur secara estetis, juga sering kali ditentukan oleh etika (norma baik buruk) yang berlaku di lingkungan masyarakat budaya setempat. Kualitas keindahan Balaganjur sering kali kehilangan makna estetisnya jika ternyata didalamnya terdapat unsur-unsur yang bertentangan dengan etika yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu di lingkungan budaya tertentu kenikmatan keindahan juga memberikan kesenangan sesuai dengan norma baik-buruk yang berlaku.

Estetika Hindu pada intinya merupakan cara pandang mengenai rasa keindahan yang diikat oleh nilai-nilai agama Hindu yang didasarkan atas ajaran-ajaran kitab suci Weda. Ada beberapa konsep yang menjadi landasan penting dalam estetika Hindu. Konsep-konsep yang dimaksud antara lain konsep kesucian, konsep kebenaran dan konsep keseimbangan (Dibia, op. cit. p. 96).

Kesucian pada intinya menyangkut nilai-nilai ketuhanan yang juga mencakup yadnya dan taksu. Umat Hindu seperti yang terlihat di Bali, memiliki pandangan estetik yang diikat oleh nilai-nilai spiritual ketuhanan sesuai dengan ajaran agama Hindu. Seperti telah banyak dikemukakan oleh para pakar agama Hindu, bahwa Tuhan itu adalah maha-indah dan sumber dari segala keindahan. Atas ke-percayaan ini manusia Hindu percaya bahwa segala sesuatu yang bernilai artistik adalah ciptaan Tuhan.

Makna Kreativitas

Berbicara  tentang perwujudan karya seni, belumlah sempurna sebelum menyebut dua macam perbuatan dan perilaku kesenian yang berbeda secara mendasar, yakni kreativitas; perilaku kesenian yang menghasilkan kreasi baru, dan produktifitas; perilaku kesenian yang menghasilkan produksi baru merupakan ulangan dari apa yang telah terwujud, walau sedikit percobaan atau variasi di dalam pola yang telah ada (Djelantik, op. cit. p. 67).

Kebebasan berkreasi tidak berhenti pada satu titik atau era tertentu. Sepanjang proses berkesenian itu terus bergulir,  selama itu kreasi-kreasi baru akan terus ada, artinya pada suatu era suatu produk seni adalah sebuah kreasi baru. Namun ketika kreasi baru itu sudah biasa dan tidak baru lagi atau sudah menjadi pola tertentu, maka muncullah kreasi-kreasi yang lebih baru lagi yang pada era-era berikutnya kembali menjadi tidak baru, demikian seterusnya (Ibid., p. 68).

Kayam (1981:39) antara lain mengemukakan  bahwa kesenian tidak pernah lepas dari akar kulturnya yakni masyarakat. Masyarakat sebagai pendukung kesenian dan kebudayaannya tidak pernah berhenti berkreasi. Kesenian adalah ungkapan kreativitas dari kebudayaan itu sendiri. Masyarakat sebagai menyangga kebudayaan, demikian pula kesenian dapat memberikan peluang untuk bergerak, memelihara dan mengembangkan. Sedangkan kreativitas masyarakat berasal dari manusia-manusia yang mendukungnya.

Berpijak dari konsep Kayam tersebut, maka Balaganjur merupakan salah satu ungkapan kreativitas masyarakat dalam bidang seni pertunjukan, memiliki unsur-unsur yang bermakna dalam kehidupan bermasyarakat. Dorongan ke arah kreativitas dan pengalaman-pengalaman estetis dihidupi oleh semangat jiwa yang mendorong untuk tampil ke depan dan mengorbit (Sumandiyo, 2003:6). Sehubungan dengan dorongan kreatif serta kebutuhan indra yang mendasar, Balaganjur kaya akan warna nada dan ritme.

Lomba Balaganjur dan difungsikannya Balaganjur sebagai musik iringan tari merupakan babakan baru dari moment kreatif gamelan Bali. Sehingga penataan artistik dalam Balaganjur  menempati proporsi yang lebih dominan, Balaganjur sudah menjadi bentuk seni pertunjukkan tersendiri; para pemain sebagai penabuh dan juga sebagai penari. Hal ini merupakan bentuk kreativitas baru dalam menyemarakkan kehidupan dan perkembangan dunia kesenian, tentunya tidak terlepas dari peranan seniman didalam melahirkan nuansa baru dalam seni pertunjukan di Bali.

Seniman selalu berusaha memperbaharui tingkat perkembangan terakhir dari sebuah perkembangan. Tidak jarang garapan Balaganjur memiliki unsur kerumitan yang sangat tinggi dengan menampilkan kompleksitas garap melalui penonjolan pada pengolahan dinamika, ritme, melodi dan harmoni. Secara konsepsual telah menunjukkan adanya ungkapan kreativitas selera kekinian, terutama dalam hal penyajian gending-gending Balaganjur yang muncul belakangan ini.

Demikian pula upaya-upaya untuk menghasilkan sebuah ungkapan baru tidak saja mengolah materi yang telah ada melainkan menggali, menambahkan atau juga mereformasi bentuk-bentuk yang telah ada, sehingga memberi nuansa dan kesan yang baru pula. Memadukan unsur-unsur lama dan baru juga merupakan upaya kreatif seorang seniman, dalam upaya menghadapi pengaruh kultural dari luar dengan mencari bentuk dan model untuk menyesuaikannya.

Kusumawardani (2003:339), menyatakan berbagai bentuk seni timbul karena kemampuan manusia untuk menggali pandangan-pandangan yang tajam dari pengalaman hidup, karena keinginan untuk memberikan bentuk luar dari tanggapan serta imajinasi yang unik. Seni berkaitan erat dengan kreativitas, tentunya identik dengan kegiatan inovasi untuk menemukan gagasan baru, ide-ide baru yang cemerlang, fungsional dan komunikatif.

Makna Ekonomi

Ketika menjadi seni pertunjukan sekuler, Balaganjur telah mengalami perkembangan makna secara sistem budaya, sistem sosial dan sistem pisik. Perkembangan Balaganjur dari makna relegius dalam konteks ritual kepada makna ekonomi dapat ditinjau dari kreativitas estetis dan aktivitas sebagai seni wisata.

Balaganjur bermakna ekonomi dapat ditinjau dari aspek sistem budaya pada aktivitas dan kreativitas Balaganjur dalam perkembangannya menjadi seni pertunjukan turistik, penyajian Balaganjur dapat ditonton dan dibayar oleh para wisatawan. Munculnya Balaganjur sebagai tontonan turis di Bali merupakan stimulasi dari potensi pasar wisata dan kesadaran ekonomi para seniman Balaganjur.

Sebagaimana yang diramalkan oleh Covarrubias, kini terbukti bahwa perkembangan pariwisata telah membawa energi dobrak yang sangat dahsyat, sehingga menyebabkan perubahan-perubahan yang sangat struktural bagi masyarakat dan kebudayaan Bali (Bagus, 1977:92). Industri pariwisata adalah cermin teknologi modern. Ia digarap, dikelola dan digerakkan menurut prinsip dan nilai-nilai modern, nilai-nilai yang terutama berlaku dalam tatanan masyarakat  yang sudah bergeser dari statusnya yang “utuh” dan “tertutup”. Karena industri ini percaya kepada kompetisi, kepada prestasi individu, kepada efisiensi organisasi, kepada pengejaran dan perluasan keuntungan, kepada pengembangan yang terus menerus.

Pariwisata dalam arus modernisasi mengarahkan per-kembangan kebudayaan ke suatu arah modernitas. Pariwisata pada suatu sisi memberikan dampak positif, karena telah memberikan kontribusi yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Bali yang tidak kecil jumlahnya. Demikian pula pada kehidupan berkesenian seperti Balaganjur selalu memberikan peluang untuk memunculkan kreativitas yang baru untuk menghibur wisatawan, sekaligus sebagai salah satu daya tarik pariwisata.

Barker (2004:115), menjelaskan globalisasi bukan hanya menyangkut persoalan ekonomi saja, melainkan juga telah terkait dengan isu budaya. Kendatipun nilai makna yang sudah melekat pada suatu tempat tetap mempunyai arti, bagi yang berkiprah di bidang budaya merasa semakin terjerat dalam jaringan yang meluas jauh keluar dari fisik budaya. Dalam hal ini yang digambarkan budaya bukanlah suatu bagian dari negara atau budaya dunia yang satu, namun di sini cukup jelas dapat mengidentifikasikan proses global, integrasi dan disintegrasi budaya, yang terlepas dari hubungan antar negara. Globalisasi yang mengalami percepatan pada era modernitas akhirnya menjadikan metafora perjalanan begitu relevan karena semua yang lokal kini mampu dipengaruhi.

Makna ekonomi seni pertunjukan Balaganjur dari aspek sistem sosial adalah munculnya Balaganjur sebagai komuditas pariwisata. Sebagian besar dari motivasi sekaa-sekaa Balaganjur adalah didasari oleh suatu kesepakatan sosio-ekonomis, dimana orientasi pasarnya adalah para wisatawan yang datang ke Bali. Sangat jarang ada pementasan Balaganjur yang mencari keuntungan finansial dari masyarakat lokal Bali.

An Ethnomusicological Study Of The Belia Ceremony In Central Kalimantan

By Haryanto

Siang people, like other Dayak ethnic groups, believe in the presence of life after death. After a person dies, his or her soul begins its travel to a place called rowulio, a kind of purgatory, before finally arriving at heaven. The soul has the same form and face as in its previous life, but cannot be seen by the living ones.

However, the soul can still have a relationship with the living ones, for example through dreams or if called up by a magician or medium named Basi (shaman). There are not only good and helpful souls, but also bad spirits called ontu or ghosts. The ontu usually lives in a big tree, river, grave or mountains. This ghost spirit frequently disturbs humans. When this occurs, the Siang people hold a ceremony, at which they always serve ritual food as an offering to it. The good soul, on the other hand, usually lives around the house before leaving for heaven or batang talla bulan (Siang language).

Despite their logical and critical thought, mythological thought still plays an important role for Dayak ethnic groups in general and Siang people in particular, specifically when facing some unexplainable occurrence whilst working on the farm, making a fence to protect their plants from animal attack, or in formulating traditional medicine to cure a disease and so on. If an undertaking fails, they attribute it to mythology, as they believe failure is a punishment or disturbance from surrounding spirits, and that such spirits must be paid with a worship ceremony, for example the belian ceremony.

The belian ceremony itself is currently under threat due to several issues. The younger generation are generally not interested in learning the music and continuing the tradition. The influence of Christianity is having a negative effect in that the religion forbids use of the ceremony as a means of cure. The associated introduction of Western pharmaceuticals to treat ailments has strongly influenced society, to the extent that many societal members favor their use over traditional medicine. There is a danger that the belian ceremony may become lost, and hence Siang society will also suffer the loss of the music associated with it, an aspect of the culture important to Siang identity.

I thus conducted a study to determine more about the belian ceremony from an ethnomusicological perspective. The purpose of this study was thus to describe the ethnography of the music of Siang society, which until now has remained unknown to outsiders. The goal of the study was based on the question: What do the Siang people think of the belian ceremony?

This research is related to earlier studies conducted on the music of the Dayak peoples, which were undertaken in East Kalimantan (1994-1995 – under the guidance of Prof Takashi Shimeda). The study reported here was undertaken in Central Kalimantan (Tanah Siang district) by myself as a sole researcher. In conducting the research, I obtained data from society members by observation, participation and from institutions of the Tanah Siang sub-district government, in addition to undertaking bibliographic research to supplement the data. Data obtained from the society were collected by interview with basi, the Head of traditional custom, the Head of the Kaharingan religion, kandan singers, a society pioneer, parents and youths. I also documented some photos and cassette recordings.

In mudra special edition 2007, download

Rumah Peninggalan Austronesia 1

Rumah Peninggalan Austronesia 1

Oleh : Tjok Istri Ratna Cora Sudharsana Fakultas Seni Rupa dan Desain – Jurusan Interior Desain Institut Seni Indonesia Denpasar

Rumah BatakRumah Austronesia biasanya terdiri atas bangunan persegi empat, berdiri atas tiang-tiang, beratap ilalang. Pintu masuk berupa tangga dari batang pohon yang ditarik dan ada perapian dengan rak diatasnya untuk kayu bakar dan penyimpanan. Bentuk dasar ini menjalani pembaharuan di daerah Austronesia. Susunan bentuk dan ukuran yang disempurnakan ditemukan dalam masyarakat Dayak di Kalimantan, Minangkabau dan Batak di Sumatera, serta suku Toraja di Sulawesi. Bahasa yang sama dengan Bahasa Indonesia untuk tempat tinggal (rumah), tempat pertemuan (balai), dan penyimpanan padi (lumbung) terdapat di seluruh Nusantara dan daerah Austronesia umumnya. Bagi orang Austronesia, rumah lebih dari sekedar tempat tinggal, melainkan merupakan bangunan teratur berlambang yang menunjukkan sejumlah ide penting dan hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan dan iklim setempat. Karena itu, rumah Austronesia mungkin dilihat sebagai perwujudan keramat para leluhur, perwujudan fisik jatidiri kelompok, contoh jagad raya, dan ungkapan tingkat dan kedudukan sosial.

Rumah Batak , Sumatera

Seni bangunan Batak dikenal dengan penampang atapnya yang luar biasa dan permukaannya yang dihias dengan teliti. Bentuk atap antar subsuku dalam satu kawasan memiliki perbedaan. Meski setiap sub-suku Batak dibedakan oleh tradisi seni bangunan yang menonjol, sejumlah prinsip umum masih tampak. Ragam jenis bangunan yang berbeda tetap ada tergantung daerahnya, meliputi tempat tinggal, rumah pertemuan, lumbung, gubuk penumbukan padi bersama, dan rumah pemakaman. Semua bangunan ini memiliki rencana denah persegi empat dan lantai panggung yang ditopang tiang-tiang dengan atap besar di atasnya. Atap jerami dengan ijuk kelapa, dinding segitiga dan atap mengarah ke luar. Rumah Batak tradisional dibangun seluruhnya dari kayu dan bahan alami lainnya, tanpa menggunakan paku; unsur terpisah disatukan dengan sambungan tanggam dan lumping atau diikat dengan tali serat ijuk. Secara umum tiang rumah bersandar pada pondasi batu dan ruang bawah lantai ditutup untuk dijadikan kandang kerbau. @ Tjok Istri Ratna Cora Sudharsana – FSRD

Rumah Tongkonan Toraja

Rumah TorajaDengan atap menyapu ke atas menantang gaya tarik bumi dan keselarasan yang kaya hiasan berukir dan berwarna, rumah asli Toraja membuat kesan dramatis dan tak terlupakan. Seperti kebanyakan seni bangunan vernacular Indonesia, tata letak rumah Toraja dipenuhi dengan makna perlambang. Orientasi rumah Toraja mempunyai makna alam semesta, rancangan dan susunan ragam hias ukiran di serambi menunjukkan berbagai pesan susunan sosial dan hubungannya dengan dunia roh. Rumah harus menghadap Utara – arah yang dihubungkan dengan pencipta “diatas”, Puang Matua. Ujung Selatan, sebaliknya, adalah “belakang” rumah (pollo ‘ banua), dihubungkan dengan nenek moyang dan dunia kemudian, Puya. Barat dan Timur menunjukkan tangan kiri dan kanan tubuh. Timur dihubungkan dengan kedewaan (dewata), sementara barat dikenal sebagai nenek moyang dalam bentuk yang didewakan.

Loading...