Seni Pertunjukan Tradisional Bali Dalam Jalinan Sejarah

Seni Pertunjukan Tradisional Bali Dalam Jalinan Sejarah

Oleh I Gusti Ngurah Seramasara

Golongan gamelan TuaDari hasil-hasil penelitian para ahli, maka  periode jaman Bali kuna ditetapkan dari abad IX sampai dengan abad XIV, karena pada kurun waktu ini pengaruh Majapahit belum ada walaupun pengaruh Jawa sudah masuk ke Bali. Batas antara Bali Kuna dengan Bali yang kita kenal sekarang sebagai pewaris budaya kerajaan Majapahit disepakati oleh sejarawan sejak jatuhnya kerajaan Bedahulu di bawah pemerintahan Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten adalah tahun 1364. Jelas merupakan suatu periode yang masih perlu diperbincangkan, tetapi pemikiran historis bahwa penetapan itu berdasarkan atas sumber-sumber tertulis yang ada. Sumber-sumber tertulis dalam bentuk prasasti-prasasti mengenai Bali, baru diketahui sejak abad IX, dan  dari hasil-hasil penelitian para ahli yang ingin mengetahui sejarah Bali secara lebih mendalam, jatuhnya Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten dianggap sebagai munculnya budaya Baru yang di bawa oleh penguasa Majapahit ke Bali.

Peneliti-peneliti asing yang banyak memperbincangkan sejarah Bali  antara lain: Dr. H.N. van der Tuuk dan Dr. J.L.A Brandes menemukan prasasti Blantih dan prasasti Klandis pada tahun 1885, dan pada tahun 1890 kedua peneliti ini menemukan beberapa Parasti di desa Julah yang sekarang disimpan di desa Sembiran yang disebut dengan prasasti Julah. Penelitian mengenai prasasti Bali kemudian dilanjutkan oleh Dr. P.V van Stein Callenfels, yang hasilnya diterbitkan dalam Ephigrafia Balica tahun 1926. Pada tahun 1928 Dr. W.F Stutterheim di Pura Sibi. Desa Kesian, Gianyar yang kemudian hasilnya diterbitkan dalam sebuah buku yang berjudul Ouheden van Bali (1929). Kemudian Dr. R. Goris melanjutkan penelitian tersebut di atas serta membukukan prasasti-prasasti tersebut dengan Judul Prasasti Bali I dan Prasasti Bali II pada tahun 1954 ( Kartodirdjo, 1976:129-186).

Prasasti pertama yang berhasil ditemukan berangka tahun 804 saka, yang isinya adalah ijin kepada beberapa bhiksu untuk membangun pertapaan di Bukit Kintamani, kemudian prasasti yang berangka tahun 818 saka pemberian ijin kepada beberapa bhiksu untuk membangun kuil Hyang Api di desa Banua Bharu. Prasasti Trunyan yang berangka tahun 813 saka adalah pemberian ijin untuk membangun kuil Bhatara Da Tonta. Hal ini menunjukan bahwa pengaruh  India sudah masuk ke Bali melalui ajaran agama dan ajaran agama itu menuntut dibangunnya tempat-tempat pemujaan, sehingga ijin untuk membangun tempat pemujaan dapat diasumsikan bahwa agama yang datang ke Bali telah  mengekpresikan kebudayaannya melalui berbagai jenis dan bentuk kesenian. Misalnya muncul arsitektur bangunan suci, sistem pemujaan, serta berbagai bentuk kesenian seperti seni patung (arca), seni tari, kerawitan dan pedalangan. Prasasti itu juga memberikan petunjuk bahwa budaya Hindu sudah ada di Bali sebelum jatuhnya Bali ketangan Majapahit.

Prasasti Blanjong yang berangka tahun 835 saka berisi tentang kemenangan raja Sri Kesari Warmadewa, dan juga menyebutkan istananya terletak di Singadhwalawa, kemudian pada tahun 837 menyebutkan nama raja Sri Ugrasena yang kemudian dilanjutkan oleh raja Tabanendra pada tahun 877-889 saka, tetapi pada tahun 882 muncul sebuah prasasti yang menyebut nama Jayasinga Warmadewa. Setelah pemerintahan raja Jayasinga Warmadewa tahun 897 ditemukan lagi nama raja Jaya Sadu Warmadewa. Setelah pemerintahan Dinasti Warmadewa, munculah dinasti Udayana yang memerintah bersama istrinya yaitu Gunaprya Dharmapatni, yang lebih dikenal dengan Mahendradata pada tahun 923 saka. Udayana mempunyai tiga orang anak yaitu Airlangga, Marakatta, dan Anak Wungsu. Airlangga kemudian   memerintah di Jawa Timur, sehingga tahta pemerintahan Udayana dilanjutkan oleh Marakatta (944 – 971saka). Setelah Marakatta pemerintahan dilanjutkan oleh Anak Wungsu (971-999 saka). Setelah dinasti Udayana muncul nama raja Sri Walaprabu (1001-1010 saka), kemudian muncul nama raja Sakalendukirana 1010 – 1023 saka), dilanjutkan oleh Sri Suradipa (1037-1041), kemudian Bali diperintah oleh Sri Jayasakti (1055 – 1072 saka), kemudian Ragajaya (1077 saka) dan pemerintahan dilanjutkan oleh Sri Jayapangus (1099-1103 saka). Setelah pemerintahan Sri Jaya Pangus Bali diperintah oleh Eka Jaya Lencana (1122 saka), kemudian dilanjutkan oleh Hyang Adidewa Lencana 1182. Setelah pemerintahan Adidewa Lencana Bali dikuasai oleh Raja Singosari yaitu Kerta Negara.  Setelah hancurnya Singosari, di Bali muncul nama raja Sri Maharaja Bhatara Mahaguru Dharmottungga Warmadewa (1247). Munculnya dinasti Warmadewa kembali menarik perhatian bagi peneliti sejarah karena unsur nama Warmadewa sudah lama hilang pada raja-raja Bali (Ibid., p. 187 ). Pada tahu 1259 saka, Bali diperintah oleh Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten yang dianggap sebagai raja penganut aliran Tantrayana dan menganggap dirinya adalah Tuhan. Dari penjelasan prasasti tersebut dapat dibuktikan bahwa di Bali telah ada system pemerintahan, struktur kenegaraan, serta system kepercayaan yang merupakan emberio dari agama Hindu yang kita anut sekarang.

Prasasti-prasasti tersebut kemudian dikumpulkan oleh Dr. R Goris dalam sebuh buku yang diberi judul Prasasti Bali I dan Prasasti Bali II. Prasasti ini disamping memuat dinasti dari raja-raja yang berkuasa di Bali juga memuat mengenai masalah perpajakan, perundagian, pertanahan, juga memuat berbagai jenis kesenian yang ada pada jaman Bali Kuna. Jenis-Jenis kesenian tersebut antara lain: patapukan, pamukul, menmen, abanwal, abonjing, bangsa, anuling, pasangka, parbwayang, aringgit, dan parpadaha. Semua istilah ini adalah istilah seni misalnya: partapukan (pertunjukan topeng), pamukul (pemukul gambelan), menmen (topeng), abanwal (badut atau bondres), abonjing (angklung), anuling (suling), pasangka (peniup trompet), parbwayang (pertunjukan wayang), parpadaha (permainan kendang), aringgit (pertunjukan wayang).  (Goris, 1954:125 ).

Disamping  sumber-sumber prasasti seni pertunjukan akan dapat diamati melalui data-data berupa relief-reliaf candi, dan seni arca-arca  maupun alat-alat kesenian dari prunggu seperti nekara Pejeng yang dapat dianggap sebagai alat musik dan reliefnya juga menggambarkan data-data kesenian.

Ketika kita mengamati sikap-sikap tangan dan kaki pada seni arca batu,  kita akan dapat membayangkan bahwa sikap tangan dan kaki dari arca itu menggambarkan gerak tari. Hal ini menunjukan bahwa Tari sebagai sebuah hasil kreativitas seni tidak hanya ada ketika ditemukannya prasasti tetapi lebih jauh dapat dianggap sebagai hasil kebudayaan zaman Megalitik. Sumber sumber kesenian ketika Bali ditaklukan oleh kerajaan Majapahit, tidak hanya dapat diamati melalui prasasti dan seni arca juga mulai diabadikan melalui penulisan babad dan pemancangah serta plutuk-plutuk bebantenan.

Proses Komodifikasi Dalam Lagu Pop Bali

Proses Komodifikasi Dalam Lagu Pop Bali

Tisna Titiana dalam acara hut Bali tvOleh: I Komang Darmayuda

Lagu pop Bali yang dikemas dalam bentuk kaset dan VCD, merupakan bentuk komoditas yang diproduksi untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Proses berlangsungnya industrialisasi dan produksi lagu pop Bali tersebut mengakibatkan terjadinya komodifikasi, sehingga layak dikonsumsi oleh masyarakat. Piliang (1998 : 26) mengemukakan bahwa dalam masyarakat konsumen, setidaknya ada tiga  bentuk kekuasaan yang beroperasi dibelakang produksi dan konsumsi objek-objek estetis yaitu;  1) kekuasaan kapital, 2) kekuasaan produsen, serta 3) kekuasaan media massa.

Kekuasaan Kapital

Kaum kapitalis merupakan kekuatan yang paling utama bagi keberlangsungan sebuah produk tertentu. Oleh karena itu, kaum kapitalis akan memproduksi lagu-lagu tersebut sesuai dengan selera pasar, dan tidak dapat dipungkiri lagi kaum kapitalis memerlukan konsumen yang akan menikmati hasil produksinya.

I Gde Dharna, seorang sastrawan Bali modern yang sekaligus sebagai pelopor lagu pop Bali secara umum melalui artikelnya di Bali Post (Minggu, 26 januari 2003) menyatakan bahwa dalam dunia industri, pasar memang memegang peranan yang  sangat penting karena seorang pemilik modal selalu mempertimbangkan selera pasar dalam memproduksi suatu karya seni agar tidak mengalami kerugian. Selanjutnya dikatakan bahwa studio rekaman itu bagaikan dagang, tentunya apa yang disukai oleh konsumen itulah yang diproduksi oleh proguser (pemilik modal). Dengan demikian yang dipesan oleh produser kepada pencipta lagu adalah lagu-lagu yang disesuaikan dengan selera konsumen.

Kekuasaan Produsen

Album kasetKekuasaan produsen dipegang oleh pencipta lagu, penyanyi, dan penata iriran musik. Melihat keberadaan industri rekaman dewasa ini, seorang penyanyi dituntut bekerja secara professional, inovatif,  berusaha untuk meningkatkan diri, dan selalu menjaga kualitas vokal dengan baik. Demikian pula pencipta lagu pop Bali,  harus selalu meningkatkan kreativitas seni dan daya imajinasinya agar dapat menghasilkan lagu yang berkualitas.. Menurut Komang Raka, salah seorang pencipta lagu pop Bali mengatakan para pencipta lagu tidak bisa selamanya mengekor pada lagu-lagu yang “meledak” di pasaran. Sebagai pencipta professional diperlukan kemampuan untuk menciptakan warna atau kemasan berbeda dan baru dari yang sudah ada di pasaran. Dengan demikian akan memperkaya dan menambah bobot pada lagu-lagu pop Bali wawancara , 20 April 2006). Pembuat iringan musik berperan sangat penting terhadap indahnya suatu lagu. Untuk itu, dalam membuat iringan musik suatu lagu, seorang penata musik iringan (arranger) perlu menyimak dan memahami terlebih dahulu karakter melodi dan isi lirik suatu lagu, sehingga terjadi kesatuan antara lagu dengan iringan musiknya.

Kekuasaan Media Massa

Ahsadi Siregar (1995:59) menegaskan bahwa media massa sebagai institusi sosial selamanya bersifat fungsional bagi khalayak dalam kehidupan sosial. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa media massa merupakan agen sosialisasi yang secara tidak langsung ikut menanamkan pemahaman, pengetahuan, sikap, dan nilai pada individu di masyarakat.

Pasang-surut perkembangan lagu pop Bali sangat ditentukan oleh peranan media. Ketika pertama kali muncul awal tahun 1970-an, radio-radio memegang peranan penting dalam memperkenalkan lagu-lagu pop Bali selain pementasan-pementasan langsung. Waktu itu televisi belum ada menayangkan lagu pop Bali karena belum ada vidio klip untuk lagu-lagu pop Bali saat itu (Setia dam Darma Putra, 2004 :95).

Memasuki akhir tahun 1990-an dan di awal tahun 2000-an lagu-lagu pop Bali kembali semarak. Hal ini terjadi karena radio dan televisi kembali gencar  mempublipikasikanlagu pop Bali. Peran Bali TV  menayangkan video klip lagu dan acara ajang yang dikenal dengan BRTV Bali TV cukup besar dampaknya terhadap terhadap popularitas lagu pop Bali di tengah masyarakat. Di samping itu peran radio-radio pemerintah dan swasta memperdengarkan lagu-lagu pop Bali hampir setiap saat menjadikan lagu-lagu pop Bali tambah semarak bagi pengemarnya. Lewat peran besar media tersebut dan dengan didukungoleh  pemberitaan di media cetak, menjadikan lagu-lagu pop Bali bangkit dan mampu  menjadi tuan di daerah sendiri, di tengah derasnya pengaruh musik luar.

Kajian Estetik Arsitektur Puri Kanginan Singaraja

Kajian Estetik Arsitektur Puri Kanginan Singaraja

Laporan Penelitian Dosen Muda

Oleh: I Made Pande Artadi, M. Sn

Kajian Estetik Arsitektur Puri Kanginan SingarajaPuri sebagai sebuah karya arsitektur merupakan wujud kebudayaan fisik yang lahir melalui ide dan sistem budaya serta sistem sosial masyarakat Bali di masanya. Melalui arsitektur puri dapat dilihat gambaran budaya masyarakat Bali pada masa tertentu. Perubahan sosial dan budaya yang terjadi pada masyarakat Bali yang berlangsung pada rentang waktu tertentu akan tercermin pada perubahan elemen-elemen arsitektur puri. Perubahan sosial dan budaya yang cukup tajam sangat jelas terlihat pada periode Bali Kolonial. Secara garis besar wujud  kebudayaan dibagi menjadi 3, yakni: cultural system, cultural activities, material culture. Ketiga wujud kebudayaan tersebut sangat erat kaitannya.  Bila terjadi mobilitas sistem budaya yang meliputi nilai-nilai, gagasan, konsep, dan berbagai macam norma, maka akan mempengaruhi berbagai aktivitas budayanya, serta bermuara pada pergeseran perwujudan benda budaya/ material culture. Arsitektur Puri sebagai salah satu manifestasi kebudayaan yang berwujud benda (material culture), kehadiranya tidak lepas dari pola pikir dan perwujudan yang lahir dari tanggapan terhadap sekumpulan kondisi yang ada. Ini berarti wujud arsitektur puri Kanginan Singaraja sangat terkait dengan sistem peradaban masyarakat, seperti: tata nilai, sosial, budaya, politik, dan keadaan lingkungan alamnya. Dengan demikian perubahan atau pergeseran nilai-nilai budaya yang terjadi akibat politik kolonial di daerah Buleleng akan berpengaruh pula pada prinsip-prinsip estetik dan tata nilai perwujudan arsitektur  Puri Kanginan Singaraja.

Metode yang digunakan dalam penulisan adalah metode deskriptif, sedangkan metode analisa yang digunakan adalah analisis kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari berbagai obyek yang diawasi. Penilaiannya didasari oleh analisa kesesuaian antara teoritis ilmiah dengan pengamatan terhadap studi kasus, sehingga terbentuk analisis studi konformitas yaitu menyesuaikan antara fakta yang ada dengan tolok ukur yang diungkapkan secara deskriptif.

Dalam kajian estetik arsitektur Puri Singaraja dapat dilihat bahwa prinsip-prinsip estetika klasik Barat menjadi acuan dalam perwujudan bentuk visual bangunan.  Kesatuan, keseimbangan, proporsi dan irama  berintegrasi dalam konsep tata ruang lokal. Ini terlihat dari penggunaan molding yang dibuat mengalir mengikuti elevasi dinding pada beberapa bangunan sehingga menampilkan irama (ritme) pada desainya. Irama molding sebagai penghubung dan menciptakan kesatuan visual (unity) bidang dinding satu dengan yang lainnya.  Pemilihan warna yang analog pada elemen bangunan seperti kusen, pintu, jendela dan lisplank merupakan hasil  pertimbangan yang matang untuk menciptakan keselarasan dan kesatuan (unity) dalam mendukung bobot estetik bangunan

Aturan letak masa bangunan yang berkaitan dengan simbol-simbol relegi, yakni aturan luan-teben dan kosep Tri Angga (utama, madya, dan nista) pada prinsipnya masih tetap dipertahankan.  Konsep Tri Angga dalam teritorial puri sangat tegas terlihat, yakni area jaba sisi sebagai kaki, jaba tengah sebagai badan dan jeroan sebagai kepala. Batas masing-masing area sangat tegas dipisahkan oleh tembok penyengker (pagar pembatas).  Area jeroan memiliki hirarki ruang yang tinggi dibandingkan area lain. Ketegasan perbedaan nilai hirarki masing-masing ruang ditunjukan dengan adanya perubahan level pekarang dari area ancak saji ke jeroan.  Area ancak saji memiliki level yang paling rendah, selanjutnya diikuti area jaba tengah, dan area jeroan sebagai level yang paling tinggi.  Konsep ini menuntut pengguna untuk berjalan berbudaya, melangkah terstruktur, namun bertahap yakni dari lapis yang rendah ke yang tinggi, dari yang profan luar ke yang sakral suci.

Kekaburan aturan  luan-teben sedikit terlihat pada area jeroan yakni  pewaregan (dapur) yang terletakan di area luan (area utama).  Namun kehadiran dapur dalam satu banguan yang terletak di area ‘utama’ pekarangan ini tidak terlepas dari keberadaan Bale Dangin yang menghadirkan ruang makan pada serambi belakang rumah, sehingga apabila dilihat dari sudut pandang efesiensi letak dapur adalah benar.  Ini berarti prinsip-prinsip tata letak yang bersumber pada relegi masyarakatnya telah diabaikan, beralih pada prinsip-prinsip penataan arsitektur  modern yang mempertimbangkan rasio dan fungsi.

Disamping eskpresi prinsip-prinsip estetika Barat, bebarapa bangunan yang ada di area puri Kanginan banyak menggunakan elemen-elemen estetika arsitektur kolonial yang ada di Indonesia, seperti penggunaan molding, gevelCurviliner Gabele’, Pediment, kolom jenis ‘Tuscan’, dan overstack.  Pada prinsipnya kehadiran elemen-elemen arsitektur kolonial dalam arsitektur tradisional Bali adalah salah satu proses akulturasi budaya yang cenderung terjadi dalam perjalanan dinamika budaya. Akulturasi yang dimaksud dalam hal ini adalah pertemuan dua budaya dalam wujud arsitektur (arsitektur tradisional Bali dengan arsitektur kolonial Belanda), kemudian terjadi peminjaman unsur-unsur arsitektur kolonial  dalam arsitektur tradisional Bali. Dalam hal ini budaya kolonial sebagai kebudayaan donor dan budaya tradisional Bali sebagai kebudayaan acceptor. Peminjaman  unsur-unsur ini dalam proses integrasi  melahirkan wujud arsitektur baru yang berbeda dari bentuk arsitektur  masing-masing dua budaya tersebut.

Fungsi Geguritan Sebun Bangkung

Oleh I Wayan Rinda Suardika

Fungsi Geguritan Sebun Bangkung terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat Hindu di Bali meliputi fungsi Ketuhanan (Widhi Tatwa), fungsi moralitas (etika), fungsi upacara (rituil), fungsi pendidikan, fungsi estetika, dan fungsi sosial budaya. Fungsi Ketuhanan dapat dilihat lewat tokoh-tokoh dewa-dewa, bhatara, seperti Dewa Parama Siwa, Dewa-dewa Panca Dewata, Dewata Nawa Sanga, Sang Hyang Licin, Sang Hyang Guru Reka, Hyang Durga, bahkan dalam Teks Nabi ada sebutan Allah. Semua itu adalah Tuhan itu sendiri atau manifestasi kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan fungsinya masing-masing. Fungsi pendidikan moral (etika) dapat dilihat atau tecermin pada tokoh Jero Dukuh ketika memberikan ajaran agama (sastra) kepada tokoh I Made Tanu dan I Gede Togag, seperti yang tersirat pada Teks Guyu Pasaja. Fungsi upacara (ritual) dapat dilihat hanya berkisar pada upacara-upacara yang berhubungan  dengan kelahiran manusia dalam ajaran Kanda Empat (Geguritan Sebun Bangkung, bait 96). Fungsi pendidikan dapat dilihat dari metode pendidikan malajah sambilang magending (“belajar sambil bernyanyi”). Dengan membaca sebuah lontar, dididik untuk membaca huruf Bali, memahami bahasa yang dipergunakan, serta mencari nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam kesusastraan tersebut sehingga dapat menjauhi budaya anak muda seperti Teddy Boys, Hippies, Hell Angels (Tester, 2003:154). Fungsi estetika, pengungkapan rasa estetik tersirat pada kemampuan pengarang untuk mengungkapkan rasa keindahannya lewat tokoh-tokoh Dewi Saraswati, Kawi Swara, Dewa Kama, Dewi Ratih. Kemudian ungkapan rasa keindahan lewat sajak keindahan dalam diri seorang gadis, dalam bunga, deburan ombak (Geguritan Sebun Bangkung, Lb. 25a, bait 198). Di samping itu pemakaian berbagai macam pupuh dalam Geguritan Sebun Bangkung sehingga dapat dinyanyikan sesuai dengan watak, fungsi serta misi yang dibawa untuk menghibur pendengar, maupun yang menyanyikan. Fungsi sosial budaya, fungsi ini dapat terlihat dalam mengimplementasikan ajaran melalui megeguritan. Dalam megeguritan jelas ada aktivitas manusia baik secara individu maupun berkelompok dalam bentuk Sekaa Santi, seorang terhibur, menghibur, menghilangkan rasa gundah. Melalui kegiatan ini pula ada aktivitas saling tolong menolong sesama umat tatkala melakukan upacara-upacara keagamaan disuguhkan nyanyian (gending-gending) oleh sesama Sekaa Santi. Hal ini sesuai dengan pendapat Horace (Welled dan Waren, 1990:25) yang menyebutkan bahwa karya sastra dalam masyarakat berfungsi dulce (hiburan atau menghibur) dan utile (bermanfaat).

Geguritan Sebun Bakung Selengkapnya

Macam dan Jenis Kerajinan di Kabupaten Klungkung

Macam dan Jenis Kerajinan di Kabupaten Klungkung

Laporan Penelitian Imhere

Oleh: I Made Berata, S.Sn, Msn, Drs. I Wayan Mudra, M.Sn., Dra. Ni Kadek Karuni, M. Sn., I Made Latra., I Made Yudha Pariwa

Abstrak

Lukisan KamasanPenelitian ini bermaksud mengungkap dan memetakan berbagai macam produk seni kerajinan yang dimiliki Daerah Kabupaten Tingkat II Klungkung, yang tersebar di wiayah kecamatan. Oleh karena itu diperlukan pendekatan, yakni pendekatan survei, temasuk dalam wadah penelitian kwalitatif. Data-data dikumpulkan melalui studi kepustakaan, observasi, wawancara untuk mengumpulkan data verbal dan sekunder. Terkait data-data visual dikumpulkan dengan pemotretan. Data tersebut kemudian dikodifikasi, dikategorikan, direduksi, selanjutnya dianalisis dengan teknik deskriptif analitis.

Hasil penelitian ini menunjukan, bahwa beragam aktivitas dan produktivitas kerajinan yang tersebar di wilayah pedesaan terpencil, yang terdapat di tiap-tiap kecamatan, daerah Kabupaten Klungkung. Berbagai macam produk kerajinan seperti, kerajinan klongsong peluru, pis bolong (uang kepeng), perak, cenderamata di desa kamasan. Kerajinan gerabah di desa tojan, tenun songket di desa gelgel, kerajinan kuningan/ bola mimpi di desa Budaga, pelepah pisang di desa Satra, dan kerajinan tenun warna alam di desa Tegak Kecamatan Klungkung. Macam produk kerajinan seperti tedung (payung), kain prada, tempurung terdapat di desa Satriya, dan kerajinan keris terdapat di desa Kusamba Kecamatan Dawan. Sedangkan kerajinan gong di desa Tihingan, batok/tempurung kelapa di desa Banjarangkan, kecamatan Banjarangkan. Pruduk-produk kerajinan tersebut di atas bukan hanya untuk konsumsi pariwisata, tetapi lebih pada konsumsi masyarakat lokal terkait dengan kepentingan keagamaan, sehingga aktivitas membuat barang kerajinan di Kabupaten Klungkung tetap eksis.

Proses produksi barang-barang kerajinan tersebut, secara umum para perajin, ternyata menerapkan teknik dan peralatan konvensional, hanya sebagian kecil prosesnya dibantu dengan peralatan masinal. Maka, produk yang dihasilkan lebih menonjolkan pekerjaan tangan (handwoork), sehingga nampak memiliki nilai artistik dan estetik yang masif.

Berbagai macam produk kerajinan yang ada di masing-masing kecamatan daerah Kabupaten Klungkung, terbukti memiliki produk yang mendominasi serta identitas tersendiri sebagai aset unggulan, seperti di Kecamatan Klungkung produk kerajinan yang lebih mendominasi adalah wayang kamasan, tenun songket, klonsong peluru, dan bola mimpi; di kecamatan Dawan kerajinan keris, kain prada dan tedung (payung); sedangkan kerajinan gong lebih mendominasi kecamatan Banjarangkan.

Tinjauan Rarajahan

Tinjauan Rarajahan

Kiriman Bendhi Yudha (Dosen Program studi Seni Rupa Murni)

Alam Menggugat Karya Bendhi YudhaDi Bali  rarajahan hampir selalu digunakan dalam kaitannya dengan upacara keagamaan yang lebih dikenal dengan Panca Yadnya, yaitu lima bentuk korban suci yang dilakukan dengan tulus ikhlas, di mana bentuk-bentuk rajah tersebut tidak hanya berbentuk huruf-huruf , tetapi bermacam-macam wujud benda baik bergerak maupun tidak bergerak, benda mati maupun benda hidup dan lain-lain.

Sebagaimana yang diuraikan oleh Ginarsa (1979) sebagai berikut: Pertama berupa tulisan atau kaligrafi Bali, kedua berupa stilisasi dari bentuk manusia, ketiga berupa gambar-gambar binatang yang digabung dengan gambar khayalan. Sedangkan Jaman dalam Titib (2001: 480), mengkelompokkan meliputi; (1), Rarajahan berbentuk huruf-huruf terutama huruf-huruf suci atau Vijaksara mantra, kutamantra maupun mantram yang singkat. Vijaksara tersebut meliputi : Omkara simbol Tuhan Yang Maha Esa (Brahman), Am (simbol Brahma). (2), Rarajahan ini banyak digunakan terutama pada waktu upacara  Panca Yadnya, misalnya upacara Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Manusa Yadnya, Bhuta Yadnya, dan upacara Rsi Yadnya. (3), Rarajahan berbentuk benda-benda langit seperti matahari, bulan dan bintang yang dikombinsikan dengan huruf-huruf suci, vijaksara, dan senjata dewa-dewa. (4), Rarajahan berbentuk bunga terutama bunga padma atau teratai, sering pada masing-masing kelopak daunnya dirajah dengan huruf-huruf suci vijaksara. (5), Rarajahan berbentuk binatang seperti harimau, singa, ular atau naga, ikan laut, ulat dan lain-lain. (6), Rarajahan berbentuk dewa-dewa, lengkap dengan masing-masing dewi (sakti)-Nya, kendaraan (tunggangan)- Nya, senjata-Nya, posisi-Nya pada tubuh manusia, warna dan penjuru yang dikuasainya. (7), Rarajahan berbentuk manusia, manusia berkepala binatang, binatang berkepala manusia, anggota badan manusia seperti manusia tanpa kepala, kepala tanpa badan, tangan berkepala manusia, kaki berkepala manusia dan sebagainya. (8), Rarajahan berbentuk raksasa lengkap dengan senjatanya, warna dan lain-lain, serta yang terakhir adalah rerajahan berbentuk bangunan suci seperti meru.

Sehubungan dengan jenis bentuk-bentuk yang ada pada rarajahan Bali, apabila dikaitkan dengan fungsi dari masing-masing bentuk rarajahan tersebut, dapat dikelompokkan antara lain; (1), Untuk mendapatkan kekuatan dan perlindungan dari para dewata. (2), Untuk menyucikan pribadi seseorang. (3), Untuk memperoleh kekuatan gaib dari kekuatan alam. (4), Untuk memperoleh simpati “pamatuh”, dan menghentikan tindakan seseorang yang jahat. (5), Mencegah dan menangkal hal-hal yang tidak disukai yang dapat membahayakan seseorang, (6), Mengembalikan usaha pihak musuh untuk mencelakakan diri seseorang dengan kekuatan sihir dari rarajahan, sehingga menyebabkan pihak musuh meninggal.

Berdasarkan bentuk-bentuk dan fungsi yang terdapat pada rarajahan Bali sebagaimana yang diuraikan di atas, dapat ditangkap makna yang terkandung di dalamnya bahwa, kehidupan yang ada pada makrokosmos (alam besar) dan mikrokosmos (alam kecil), memiliki dua sifat yang berlawanan yaitu sifat dewa dan sifat bhuta, sebagai cerminan dari konsep dualistis yang merupakan dua pasangan berbeda, yang harus selalu ada dalam posisi seimbang. Ini berarti bahwa kehidupan manusia dalam mengarungi bahtera kehidupan ini, hendaknya senantiasa mampu mengelola potensi diri yang bersumber pada dua kekuatan besar, baik yang ada di dalam maupun di luar dirinya, sehingga keduanya dapat bekerja dengan baik secara sinergis, untuk mencapai suatu tujuan yaitu keseimbangan hidup lahir dan batin. Berkaitan dengan ini I Ketut Sunarya (2001: 92) menjelaskan bahwa: Konsep dualistis atau rwa bhineda tercermin juga dalam bentuk rajah yaitu bala dan penolak bala. Rajah bala yaitu rajah yang diyakini masyarakat Hindu di Bali sebagai jimat membuat penyakit, sedangkan rajah penolak bala diyakini sebagai pengayom atau menjaga dari serangan bala. Kemunculan rajah terkait dengan keinginan masyarakat menciptakan keharmonisan dan keseimbangan baik secara sekala (jagat raya ini) maupun niskala (alam abstrak). “… dengan rajah pengeleakan atau pendestian yang disebut juga dengan bala atau ilmu hitam, ilmu kiri yang mempunyai tugas menyakiti dengan kesaktiannya yang luar biasa. Leak adalah sifat dan tingkah laku manusia yang berpihak pada kejahatan seperti; ingin menguasai orang lain dengan cara memaksakan kehendak.

Dalam kaitannya dengan rajah penolak bala, Tulak dalam Sunarya (2001: 92-93) menjelaskan bahwa; manusia mempunyai keinginan untuk berbuat baik, hal ini menumbuhkan hasrat belajar ilmu pengobatan, dan juga mantra-mantra untuk membersihkan lingkungan sebagai penolak bala dari keletehan (energi negatif) yang  disebabkan oleh gangguan roh jahat, salah menempatkan posisi pintu rumah, hubungannya dengan tembok pembatas pekarangan rumah (penyengker) dan sebagainya.

Bentuk lain sebagai penolak bala dilakukan pula oleh pemuka agama, seperti Pemangku, Sulinggih/Peranda dan lain-lain, dengan melakukan upacara yadnya, berupa kurban suci untuk membersihkan/meruat jagat raya ini dari keletehan (energi negatif). Adapun sarana upacara yadnya tersebut dilengkapi dengan rajah penolak bala yaitu goresan berupa simbol-simbol dewa serta mantra-mantra yang dilakukan sesuai dengan tujuan dari rajah tersebut. Kedua pandangan ini agaknya telah cukup dijadikan acuan dalam menyikapi kehidupan ini yang berada dalam batas ruang dan waktu, untuk melakukan reinterpretasi mengenai kosmos dan jatidiri kita. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Atmaja (2003: 9)

Pendapat di atas lebih menegaskan betapa pelaksanaan nilai-nilai kearifan menjadi lebih penting ketimbang harus mengurai wacana, dan perlu dilanjutkan ke tingkat penghargaan/ruang apresiasi untuk bisa menghargai nilai-nilai yang dikandungnya dengan cara yang tepat dan kontekstual. Artinya nilai-nilai kehidupan bermasyarakat hendaknya dihargai secara proporsional, dimaksudkan dapat mengejewantahkannya ke dalam prilaku keruangan/interaksi yang didasari dengan sikap penuh kearifan untuk mencapai tujuan hidup yaitu mokhsartam jagadithaya ca iti dharma.

Berdasarkan pengalaman dari mengamati nilai-nila tersebut, telah melahirkan perasaan estetik dan imajinasi bagi munculnya ide-ide kreatif, untuk dijelmakan ke dalam bentuk karya seni lukis, mengingat fenomena yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat saat ini telah dijadikan lahan yang potensial untuk dijadikan ajang pertentangan dan pertikaian dalam mewujudkan kepentingan politik dan kekuasaannya. Hal tersebuti cenderung mengorbankan kepentingan yang lebih luas menyangkut sendi-sendi keutuhan dalam berbangsa dan bernegara, karena telah mengabaikan dan melakukan distorsi terhadap nilai-nilai /tata krama dalam kehidupan bermasyarakat serta keluar dari prinsip-prinsip keseimbangan dan keharmonisan.

Loading...