Genggong

Kiriman : Kadek Agung Sari Wiguna (Mahasiswa Pascasarjana ISI Denpasar)

Abstrak

Genggong merupakan sebuah instrumen musik yang sudah diwariskan turun-temurun oleh seniman tua terdahulu. Sebagai instrumen musik tua, genggong memiliki bentuk yang sangat unik, kecil dan terlihat sangat sederhana. Bahannya terbuat dari pelepah enau (Bahasa Bali pugpug). Dahulu, genggong sering dimainkan oleh para petani sambil melepas lelah di sawah. Bahkan, tidak jarang juga dulu seseorang memainkan genggong dengan maksud untuk menarik perhatian wanita (kekasihnya). Alat musik genggong merupakan salah satu instrumen getar yang sangat unik dan semakin jarang dikenal orang, khususnya di Bali. Genggong berhubungan erat dengan laras slendro empat nada, yang dipakai dalam gamelan Bali. Genggong yang semula merupakan instrumen tunggal, dalam perjalanan sejarahnya kemudian dikembangkan dan berkembang menjadi sebuah barungan (ensambel). Fungsi perangkat gamelan ini sekarang hanyalah terbatas untuk keperluan hiburan belaka. Pada masa lalu gamelan genggong juga sering dipergunakan dalam rangkaian upacara perkawinan, yaitu pada saat pengantin pria menjemput pengantin wanita atau pada waktu upacara permakluman secara religi (mepejati). Kini, genggong adalah musik tradisi yang harus dijaga, dilestarikan dan juga dikembangkan.

Kata Kunci: Unik, Enau, Petani, Musik Getar, Dilestarikan dan Dikembangkan

Selengkapnya dapat unduh disini

Bereguh, Alat Musik Aceh yang tertinggal

Kiriman  : Ichsan (Mahasiswa Pascasarjana Ps. Pengkajian Seni ISI Denpasar)

Abstrak

Bereguh merupakan alat musik sejenis alat tiup terbuat dari tanduk kerbau. Pada masa silam, bereguh banyak terdapat di daerah Aceh, antara lain di Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie dan Kabupaten Aceh Utara. Pada saat ini bereguh sudah beralih fungsi menjadi alat pengusir hama babi hutan. Fungsi tersebut banyak dilakukan oleh orang pedalaman di Aceh saat ini, sehingga bereguh memiliki keunikan tersendiri. Keprihatinan pun lahir dari keberadaan bereguh yang kian punah dari fungsi yang sebenarnya. Apakah karena keberadaan pengaruh alat musik modern ataukah karena keterbatasan seseorang dalam menggunakannya. Dalam menelisik keberadaannya bereguh saat ini, jenis alat musik ini hanya dapat dimiliki dengan memesannya terlebih dahulu jika ingin dibuatkan. Ditinjau dari segi harga, bereguh merupakan alat musik yang tergolong mahal, karena jumlahnya yang terbatas. Nilai estetika yang dimiliki bereguh terletak pada tekstur alat musiknya sendiri, karena terbuat dari bahan tanduk kerbau dan suaranya terdengar berbeda dengan alat tiup lainnya. Pada artikel ini, penulis mencoba mengulas peran seorang mahasiswa ISI Padangpanjang yang membuat karya bereguh dalam bentuk deformasi pada 2012. Karya yang dibuat berbahan kayu dengan bahan tambahan logam dan beberapa besi. Karya tersebut dipamerkan di Rumah Budaya Fadli Zon bersebelahan dengan Rumah Puisi Taufik Ismail. Karya tersebut juga merupakan Karya Tugas Akhir mahasiswa ISI Padangpanjang. Mengambil peran sebagai kritikus, karya yang dilahirkan terlihat mampu menginterpretasi keadaan bereguh saat ini. Karya yang terbentuk tanpa menghilangkan identitas, membuat penikmat tidak terlalu sulit. Dibutuhkan intelegensi dan pengetahuan tentang bereguh untuk memahaminya, karena banyak penikmat telah lupa dengan bereguh. 

Kata Kunci: Bereguh, Tertinggal, deformasi, Pameran, Mahasiswa

Selengkapnya dapat unduh disini

Turunnya Omset Kerajinan Bambu Di Desa Belega

Kiriman : Firman (Mahasiswa Ps. Kriya FSRD ISI Denpasar)

Abstrak

Kerajinan bambu merupakan salah satu kerajinan rakyat yang pada hakekatnya untuk memacu pembangunan ekonomi rakyat di wilayah pedesaan. Di pulau dewata khususnya di Desa Pakraman Belega, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar merupakan salah satu Desa di Bali yang memanfaatkan bambu sebagai bahan kerajinan yang diharapkan dapat meningkatkan perekonomian warga Desa. Karena keterampilan warga di Desa Belega yang dapat mengubah batang bambu menjadi berbagai macam kerajinan, menjadikan Desa ini terkenal sebagai sentral kerajinan bambu di pulau Bali bahkan terkenal sampai ke mancanegara. Namun pada saat ini kerajinan bambu mulai terancam akibat dari menurunnya order atau konsumen kerajinan bambu. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui apa yang mengakibatkan turunnya omset penjualan kerajinan bambu di Desa Belega, Kacamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar Bali. Jenis-jenis kerajinan bambu, jenis-jenis bambu yang dimanfaatkan untuk membuat kerajinan dan teknik pengawetan bambu yang digunakan. Metode penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang menggambarkan fenomena atau populasi tertentu yang diperoleh peneliti dari subjek yang berupa individu, organisasional atau prespektif yang lain. Adapun tujuannya adalah yaitu untuk menjelaskan aspek yang relevan dengan fenomena yang diamati dan menjelaskan karateristik fenomena atau masalah yang ada. Hasil penelitian yaitu pengertian bambu, kelebihan dan kekurangan bambu, cara mengawetkan bambu, jenis-jenis bambu yang dimanfaatkan di Desa Belega, beberapa jenis kerajinan bambu di Desa Belega, dan faktor-faktor penyebab berkurangnya omset kerajinan bambu di Desa Belega.

Kata kunci : Kerajinan, Bambu, Desa Belega

Selengkapnya dapat unduh disini

Karya Foto Kevin Carter : Anak Kecil Dan Burung Bangkai Di Sudan Dalam Perspektif Fotografi Jurnalistik

Kiriman : Ni Made Widiastuti (Mahasiswa Pascasarjana ISI Denpasar)

Abstrak

Fotografi memilki tiga kalsifikasi umum yaitu, fotografi seni, fotografi komersial dan fotografi jurnalistik. Dalam mengabadikan objek dengan tujuan sebagai dokumentasi dan informasi, maka foto masuk dalam fotografi jurnalistik. Banyak fotografer yang sukses dalam bidang fotografi jurnalistik dunia. Salah satunya Kevin Carter. Kevin Carter terkenal setelah karya foto yang dia buat di Sudan Afrika Selatan. Foto ini menggambarkan seorang anak kecil berkulit hitam yang kelaparan dan di belakangnya ada seekor burung pemangsa. Foto ini menjadi topik dunia karena kesuksesan visualnya untuk menghasilkan foto yang bermakna. Namun, dunia menjadi kesal dan marah terhadap sang fotografernya karena dinilai tidak memiliki sisi kemanusiaan. Oleh karena itu, karya ini menarik untuk diulas dengan menjabarkan unsur-unsur kritik seni berkaitan dengan: 1) deskripsi (medeskripsikan semua yang terlihat pada karya foto tersebut), 2) analisis (menganalisis unsur-unsur fotografi, mulai dari teknik dan prinsip estetikanya), 3) interpretasi (menafsirkan apa yang ada dalam karya foto tersebut) dan 4) memberi penilaian terhadap karya foto dari segi fotografi jurnalistik,  baik etika maupun estetikanya. Ulasan ini diharapkan agar masyarakat dapat memahami makna di balik foto ini, dan bagi para fotografer diharapkan dapat bersikap humanis, memiliki kepekaan terhadap kehidupan sosial masyarakat.

Keyword: Jurnalistik, anak kecil, burung pemangsa, humanis, sosial masyarakat.

Selengkapnya dapat unduh disini 

Kesenian Bali Di Tengah Industri Pariwisata Dan Gelombang Era Globalisasi

Kiriman : Kadek Suartaya (Dosen Jurusan Karawitan FSP ISI Denpasar) 

Abstrak

Sejak dulu atmosfir Bali tak pernah sepi dari merdunya suara gamelan, lenggang orang menari, senandung hening kidung, tutur dan petuah mangku dalang. Kehadiran beragam ungkapan seni itu seirama dengan denyut dan tarikan napas religius masyarakatnya dalam semangat kolektif sekaa-sekaa kesenian di banjar atau dalam ketulusan ngayah di pura. Tetapi ketika zaman berubah dan kini ketika globalisasi menerjang, masih utuhkah harmoni dan romantisme kesenian Bali itu. Tulisan ini menggambarkan posisi kesenian Bali di tengah industri pariwisata dan gelombang era globalisasi.

Kata kunci: kesenian, pariwisata, globalisasi

Selengkapnya dapat unduh disini

Komodifikasi Si Tektekan Calonarang Di Desa Baturiti, Kerambitan, Tabanan

Kiriman : I Ketut Sariada (Dosen FSP & Pascasarjana Seni ISI Denpasar)

ABSTRAK

Tektekan Calonarang merupakan sebuah dramatari Calonarang untuk pariwisata model baru, yang dalam penyajiannya diiringi oleh gamelan Tektekan, Pada umumnya masyarakat Bali tidak setuju menampilkan unsur budaya yang bersifat sakral untuk pariwisata. Namun masyarakat Desa Baturiti, justru mendukung komodifikasi Tektekan Calonarang dengan menggunakan barong dan rangda sakral untuk pariwisata. Hal itu menimbulkan berbagai pertanyaan, karena hal itu bertentangan dengan sikap masyarakat Bali pada umumnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) Masyarakat Desa Baturiti, Kerambitan, Tabanan mengomodifikasikan Tektekan Calonarang dengan barong dan rangda sakral untuk pariwisata dilatari oleh ideologi pasar, ideologi pembangunan, ideologi religi, dan ideologi konservasi; 2) Bentuk komodifikasi Tektekan Calonarang dengan barong dan rangda sakral dalam bentuk prosesi dan pertunjukan Tektekan Calonarang; 3) Implikasi komodifikasi Tektekan Calonarang pada peningkatan pendapatan pelaku, masyarakat (multiplier effects), kelangsungan kekuatan magis barong dan rangda tersebut, peningkatan animo pasar/pariwisata, serta sebagai penguat solidaritas sosial masyarakat setempat. Temuan baru penelitian ini adalah tidak terjadinya desakralisasi walaupun barong dan rangda sakral itu dikomodifikasikan untuk pariwisata, karena pada setiap penyajiannya masyarakat setempat melakukan upacara penyucian khusus terhadap barong dan rangda tersebut sesuai dengan konteksnya masing-masing.

Kata Kunci: Komodifikasi, Tektekan Calonarang, Barong dan Rangda Sakral,         Ideologi, Pariwisata, dan Budaya.

 Selengkapnya dapat unduh disini

Loading...