Gusti Made Sengog

Gusti Made Sengog

Oleh: A.A.Ayu Kusuma Arini, SST.,MSi

Menurut John Coast dalam bukunya Dancing Out of Bali, tahun 1950 Lotering tidak bersedia lagi mengajarkan Legong di Peliatan. Maka semenjak itu muncul pengajar perempuan Gusti Made Sengog yang berasal dari Peliatan. Dalam buku tersebut juga dipaparkan Coast tentang kesan pertamanya melihat Sengog yang digambarkan sebagai wanita yang telah berumur dengan rambut mulai memutih yang tebal bergelombang. Demikian pula bibirnya kemerahan karena terus menerus mengunyah  sirih.

Menurut cerita, ada yang mengatakan bahwa ilmu tari diperolehnya melalui wahyu Hyang Widhi. Sejak usia dini Sengog sebagai guru tari yag autodidak secara alami. Namun ada kemungkinan pengetahuannya didapatkan secara langsung ketika tinggal di rumah kakak perempuannya Gusti Putu Gianyar yang bersuamikan pengajar Legong terkenal Dewa Ketut Belacing dari Sukawati pada jaman A.A.Rai Perit. Sengog mendapat kesempatan melihat dan menyimak pengajaran tari Legong yang sempurna oleh kakak iparnya. Ada kemungkinan ia ikut aktif belajar dan bahkan mendapat tugas membantu mengajar. Jadi pada dasarnya Sengog menjadi ahli karena terus mengikuti proses pembelajaran dan pertunjukan Legong. Di samping itu ditambah daya kreatifnya yang alami serta daya ingatnya yang tinggi (Bulan Trisna, 2007: 20).

Waktu muda sebelum mengajar tari di puri Peliatan, konon ia sering meninggalkan rumah untuk pergi mengajar ke desa-desa lainnya, termasuk Seririt di Bali Utara. Ada saja orang datang menjemputnya, kadangkala dengan mobil atau berjalan kaki. Seperti umumnya seniman Bali, kesehariannya selain mengajar tari adalah bertani. Diwaktu senggangnya, Sengog sering ke ladangnya yang kecil untuk melihat perkembangan tanamannya serta membersihkan tumput dan pepohonan. Sebagai wanita Bali, ia rajin membuat banten (sesajian) untuk berbagai keperluan upacara dilingkungan keluarga dan banjar di desanya. Sengog kemudian bersama-sama Mandera berperan besar dalam mengembangkan Legong Peliatan yang memiliki identitas tersendiri.

Gusti Made Sengog selengkapnya

Kemendiknas Cabut Izin 18 RSBI

Kemendiknas Cabut Izin 18 RSBI

JAKARTA – Sebanyak 18 Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dicabut izinnya karena tidak memenuhi persyaratan pendirian RSBI.
Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Kemendiknas Suyanto mengatakan, 18 sekolah yang dicabut izinnya itu terdiri atas delapan SMP, delapan SMK dan dua SMA. Dia menjelaskan, pencabutan izin karena standard dan mutu pendidikan di 18 sekolah itu menurun.
Penurunan mutu tersebut contohnya karena kemampuan bahasa Inggris siswa dan atau guru menurun, pergantian kepala sekolah yang tidak memenuhi syarat, pengembangan silabus dan proses pembelajaran yang menurun. “Kita memang mengevaluasi sekolah-sekolah setiap tahunnya. Tidak kita sebut lokasinya karena ini  sama dengan aib,” katanya di gedung Kemendiknas, Minggu (6/6/2010).
Suyanto menjelaskan, status sekolah RSBI itu dicabut lalu dikembalikan ke Sekolah Standar Nasional (SSN) bagi SMP dan SMA. Sementara untuk SMK, jelasnya, diberikan waktu satu tahun untuk evaluasi. Kemendiknas pun saat ini sedang menjalin kerja sama dengan Dinas Pendidikan (Disdik) disetiap provinsi guna mengevaluasi RSBI yang ada.
Kedua pihak juga akan mengawasi apakah sekolah RSBI memungut biaya diluar yang dipersyaratkan. Dari itu, pencabutan izin RSBI dapat saja bertambah karena surat pendirian memang dikeluarkan oleh Kemendiknas.
Katanya, persyaratan sekolah menjadi bertaraf internasional memang cukup sulit. Diantaranya
komposisi guru untuk tingkat SD ialah 10 persen harus jenjang S2 dan S3, untuk SMP 20 persen dan SMA guru berstatus S2 dan S3nya harus 30 persen.
Kepala sekolah, lanjutnya, juga harus minimal S2 dan mampu berbahasa asing aktif. Sekolah juga harus mendapatkan akreditasi A dari badan standar sekolah terpercaya. Sarana dan prasarana juga harus lengkap dengan teknologi, informasi dan komunikasi terdepan. Kurikulum selainmenyesuaiakan dengan standar nasional juga diperkaya dengan kurikulum negara maju. “Untuk SMA harus menerapkan system Satuan  Kredit Semester (SKS),“ lanjutnya.
Pembelajaran juga harus bilingual serta manajemen sekolah juga harus berstandar ISO 9001:14000. Suyanto menjelaskan, sekolah RSBI juga harus diaudit oleh lembaga audit independen sehingga transparan dan akuntabel. Akibatnya, Suyanto menegaskan, fasilitas
pembelajaran serta mutu inilah yang menyebabkan biaya pendidikan di RSBI lebih mahal dari sekolah lainnya.
Suyanto menjelaskan, rumitnya persyaratan yang ada menyebabkan tidak semua sekolah di Indonesia bertaraf internasional. Minimal hanya satu SD, SMP, SMA dan SMK yang akan menyandang RSBI di satu kabupaten dan kota. Ini pula yang sesuai dengan bunyi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pasal 50 ayat 3. “Maksimal jumlah sekolah RSBI hanya 2.000 di Indonesia,” lugasnya.
Diketahui, Berdasarkan catatan Kemendiknas, jumlah sekolah RSBI di Indonesia mencapai 1.110 sekolah. Terdiri dari 997 sekolah negeri dan 113 sekolah swasta. Dari jumlah itu, jumlah SD RSBI tercatat sebanyak 195 sekolah, SMP RSBI sebanyak 299 sekolah, SMA RSBI sebanyak 321 sekolah,dan SMK RSBI sebanyak 295 sekolah. (Neneng Zubaidah/Koran SI/ram)

Sumber: http://kampus.okezone.com/read/2010/06/06/373/340077/kemendiknas-cabut-izin-18-rsbi

Yudisium Fakultas Seni Pertunjukan

Yudisium Fakultas Seni Pertunjukan

Meluluskan Total 53 orang dan 14 orang diantaranya Berpredikat Cum Laude

(Denpasar-Humasisi) Pada pagi hari (Senin, 7/6 ) Gedung Natya Mandala dipenuhi puluhan Mahasiswa Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar lengkap dengan jaket Almamaternya. Ternyata sedang dilaksanakannya acara yudisium Fakultas Seni Pertunjukan yang dihadiri oleh seluruh Mahasiswa , jajaran Struktural, Dosen Penguji dan Seluruh Panitia. Menurut Dekan FSP I Ketut Garwa, SSn, MSn Ini merupakan bagian dari rangkaian acara Ujian Tugas Akhir Mahasiswa FSP, yang dimana sebelumnya telah dilaksanakan Ujian Tugas Akhir Penciptaan yang telah dilaksanakan pada tanggal 24-27 Mei 2010 dan dilanjutkan dengan Ujian Skrip/Komprehensif dan Pengkajian/Skripsi pada tanggal 31 Mei sampai 1 juni yang lalu. Puncaknya tentu pada saat wisuda yang dilaksanakan pada Akhir Juli nanti.

Garwa menjelaskan untuk yudisium tahun ini telah meluluskan total 53 orang dan 14 diantarany meraih predikat Cum Laude. Untuk mahasiswa yang meraih 10 besar Ujian Penciptaan yaitu Ni Putu Yeti M, AA Gede Agung Rahma P., Ida Ayu Diah Setiari, I GA Savitri, I Ketut Agus Adi S, I Ketut Suarjana, I Putu Agus Pranata G, I Km Harianto Ardiantha, sedangkan untuk 3 Besar Skripsi adalah Ni Wayan Yuliani, I Putu Juliartha, I Gusti Ngurah Nurada. Untuk Mahasiswa dengan IPK Tertinggi tahun ini adalah AA Gede Agung Rahma P. dengan IP 3,93, Ni Luh Lisa Susanti 3,85, I Gede Anom Ranuara 3, 85, Ida Ayu Diah Setiari 3,77 dan I Putu Adi Sujana 3,77.

Garwa menyatakan sangat puas dengan hasil yang diraih mahasiswa Ujian Akhir pada tahun 2010 dan mengharapkan ke depannya agar tetap dipertahankan baik secara kualitas maupun kuantitasnya. Rektor ISI Denpasar Prof. Dr. I Wayan Rai S, MA tidak dapat menyembunyikan rasa bangganya melihat hasil yang diperoleh mahasiswa yang mengikuti acara yudisium pada hari ini. Ia mengingatkan bahwa tantangan sesungguhnya adalah pertanggung jawaban kita terhadap stakeholder atau masyarakat. Jadi diharapkan para calon wisudawan agar menjaga sikap dan terus mengembangkan disiplin ilmunya dalam konteks pelestraian dan pengembangan seni dan budaya Bali.

Seluruh mahasiswa mengikuti acara ini dengan khidmat dan sumringah, sambil membawa pengharapan untuk pelestarian kesenian Bali itu sendiri.

Humas ISI Denpasar

Dasar-Dasar Desain Interior Pelayanan Umum I

Dasar-Dasar Desain Interior Pelayanan Umum I

Oleh: Drs. Olih Solihat Karso, M.Sn

Elemen Pembentuk Ruang

Elemen Pembentuk Ruang adalah struktur wadah ruang kegiatan diidentifikasikan sebagai lantai, dinding, dan langit-langit/Plafond yang menjadi satu kesatuan struktur dalam sehari-hari. Elemen pembentuk ruang terdiri dari :

Lantai; Selain berfungsi sebagai penutup ruang bagian bawah, lantai  berfungsi sebagai pendukung beban dan benda-benda yang ada diatasnya seperti perabot,manusia sebagai civitas ruang,  dengan demikian dituntut agar selalu memikul beban mati atau beban hidup berlalu lalang diatasnya serta hal-hal lain yang ditumpahkan diatasnya.(Mangunwijaya, 1980 : 329). Dalam kelangsungan kegiatan, pemilihan jenis pelapis lantai akan ditinjau dari macam atau jenis kegiatannya, dan pada umumnya dikenal beberapa klasifikasi dari penyelesaian lantai seperti berikut: untuk lantai keras sifat pemakaian lebih baik dan banyak menguntungkan, karena pembersihan yang mudah. Sedangkan lantai yang jenisnya medium lebih bersifat hati-hati. Syarat-syarat bentuk lantai antara lain: (1) Kuat, lantai harus dapat menahan beban, (2), Mudah dibersihkan, (3) Fungsi utama lantai adalah sebagai penutup ruang bagian bawah.  lainnya adalah untuk mendukung beban-beban  yang ada di dalam ruang. (Ching,1996)

Dinding; dinding bangunan dari segi fisika bangunan memiliki fungsi antara lain :

1)      Fungsi pemikul beban di atasnya, dinding harus kuat bertahan terhadap 3 kekuatan pokok yaitu tekanan horizotal, tekanan vertikal, beban vertikal dan daya tekuk akibat beban vertikal tersebut.

2)      Fungsi pembatas ruangan, pembatasan menyangkut penglihatan, sehingga manusia terlindung dari pandangan langsung, biasanya berhubungan dengan kepentingan–kepentingan pribadi atau khusus. (Mangunwijaya, 1980 : 339)

Dasar Dasar Desain Interior Pelayanan Umum I selengkapnya

Sekolah Berlabel RSBI/SBI Palsu Akan Ditindak

Sekolah Berlabel RSBI/SBI Palsu Akan Ditindak

Bogor — Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), Mohammad Nuh akan menindak sekolah-sekolah yang mencantumkan label Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) atau Sekolah Berstandar Internasional (SBI) palsu. Menurutnya, sekolah yang mencantumkan label palsu tersebut dikategorikan sebagai pembohongan kepada publik.

“Kami punya daftarnya sehingga kalau ada sekolah yang mengaku berstatus sekolah bertaraf internasional itu berarti pembohongan publik,” kata Nuh usai memaparkan rencana strategis (renstra) Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) 2010 – 2014 di hadapan anggota Komisi X DPR RI, Jumat (4/06) di Wisma Arga Mulia, Bogor, Jawa Barat.

Ia menegaskan bahwa meskipun tanggung jawab terhadap sekolah bertaraf internasional tersebut ada di masing-masing provinsi dan kabupaten/kota, namun pihaknya tidak akan melepas tanggung jawab. Caranya, tambah Nuh, dengan menyiapkan regulasi untuk menata keberadaan sekolah berlabel RSBI/SBI itu.

Mendiknas mengakui bahwa dana yang diberikan pemerintah pusat dan daerah tidak cukup membiayai sekolah-sekolah unggulan tersebut. Dengan alasan tersebut, kata Nuh, sekolah diperkenankan mendapatkan tambahan dana dari masyarakat. “Tapi, bukan berarti sekolah berhak jor-joran memungut,” tegas Nuh.

Saat ini sekolah yang terdaftar berstatus RSBI/SBI berjumlah lebih dari 1.130. Nuh mengatakan bahwa ke depan jumlah tersebut akan terus meningkat, mengingat hal itu merupakan amanat Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). “Dalam UU Sisdiknas disebutkan bahwa pemerintahan daerah wajib menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan yang bertaraf internasional sehingga (ketentuan ini) tidak bisa diutak-atik,” ujarnya.

Lebih lanjut Nuh menjelaskan bahwa pada hakikatnya, RSBI/SBI pada memberikan kesempatan dan pendampingan agar sekolah-sekolah yang memiliki potensi sangat bagus untuk dijadikan sebagai pusat unggulan. Hal itu dimaksudkan sebagai pusat pembelajaran bagi sekolah-sekolah lainnya.

“Sekolah dengan label internasional itu juga menjadi semacam simbol bagi Indonesia kepada masyarakat dunia bahwa Indonesia juga memiliki sekolah-sekolah unggulan tersebut. Ini juga sekaligus menarik orang-orang asing untuk sekolah di Indonesia dan bisa mengerem orang-orang Indonesia sekolah di luar negeri,” paparnya. Ia menegaskan bahwa sekolah bertaraf internasional itu tidak boleh eksklusif.

“Eksklusivitas itu tidak boleh didasarkan pada status sosial seseorang, tetapi semata-mata harus didasarkan pada keunggulan akademik. Bahkan bagi siswa yang memiliki tingkat intelektual tinggi tetapi memiliki keterbatasan ekonomi harus kita berikan jaminan bisa masuk ke sekolah-sekolah unggulan tadi,” tuturnya. (ratih)

Sumber: http://www.kemdiknas.go.id/list_berita/2010/6/7/rsbi.aspx

Bogor — Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), Mohammad Nuh akan menindak sekolah-sekolah yang mencantumkan label Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) atau Sekolah Berstandar Internasional (SBI) palsu. Menurutnya, sekolah yang mencantumkan label palsu tersebut dikategorikan sebagai pembohongan kepada publik.

“Kami punya daftarnya sehingga kalau ada sekolah yang mengaku berstatus sekolah bertaraf internasional itu berarti pembohongan publik,” kata Nuh usai memaparkan rencana strategis (renstra) Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) 2010 – 2014 di hadapan anggota Komisi X DPR RI, Jumat (4/06) di Wisma Arga Mulia, Bogor, Jawa Barat.

Ia menegaskan bahwa meskipun tanggung jawab terhadap sekolah bertaraf internasional tersebut ada di masing-masing provinsi dan kabupaten/kota, namun pihaknya tidak akan melepas tanggung jawab. Caranya, tambah Nuh, dengan menyiapkan regulasi untuk menata keberadaan sekolah berlabel RSBI/SBI itu.

Mendiknas mengakui bahwa dana yang diberikan pemerintah pusat dan daerah tidak cukup membiayai sekolah-sekolah unggulan tersebut. Dengan alasan tersebut, kata Nuh, sekolah diperkenankan mendapatkan tambahan dana dari masyarakat. “Tapi, bukan berarti sekolah berhak jor-joran memungut,” tegas Nuh.

Saat ini sekolah yang terdaftar berstatus RSBI/SBI berjumlah lebih dari 1.130. Nuh mengatakan bahwa ke depan jumlah tersebut akan terus meningkat, mengingat hal itu merupakan amanat Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). “Dalam UU Sisdiknas disebutkan bahwa pemerintahan daerah wajib menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan yang bertaraf internasional sehingga (ketentuan ini) tidak bisa diutak-atik,” ujarnya.

Lebih lanjut Nuh menjelaskan bahwa pada hakikatnya, RSBI/SBI pada memberikan kesempatan dan pendampingan agar sekolah-sekolah yang memiliki potensi sangat bagus untuk dijadikan sebagai pusat unggulan. Hal itu dimaksudkan sebagai pusat pembelajaran bagi sekolah-sekolah lainnya.

“Sekolah dengan label internasional itu juga menjadi semacam simbol bagi Indonesia kepada masyarakat dunia bahwa Indonesia juga memiliki sekolah-sekolah unggulan tersebut. Ini juga sekaligus menarik orang-orang asing untuk sekolah di Indonesia dan bisa mengerem orang-orang Indonesia sekolah di luar negeri,” paparnya. Ia menegaskan bahwa sekolah bertaraf internasional itu tidak boleh eksklusif.

“Eksklusivitas itu tidak boleh didasarkan pada status sosial seseorang, tetapi semata-mata harus didasarkan pada keunggulan akademik. Bahkan bagi siswa yang memiliki tingkat intelektual tinggi tetapi memiliki keterbatasan ekonomi harus kita berikan jaminan bisa masuk ke sekolah-sekolah unggulan tadi,” tuturnya. (ratih)

Sumber: http://www.kemdiknas.go.id/list_berita/2010/6/7/rsbi.aspx

Loading...