Penting Tipografi Dalam Pembuatan Logo

Kiriman : Dwi egi sukmana  (Mahasiswa Jurusan DKV ISI Denpasar)

ABSTRAK

Di era teknologi dan informasi saat ini kehadiran tipografi  sangatlah dibutuhkan dalam pembuatan logo. Sesuai dengan namanya, tipografi tujuan untuk pemilihan bentuk huruf, besar huruf, cara dan teknik penyusunan huruf menjadi kata atau kalimat yang sesuai dengan karakter  pada logo yang dapat ditangkap oleh massa dengan benar. Salah satu elemen desain yang sangat penting dalam menunjang keberhasilan suatu desain itu adalah Tipografi. Tipografi dalam hal ini adalah seni memilih dan menata huruf untuk pembagai kepentingan menyampaikan informasi berbentuk logo. Jadi jika logo tidak terisi tipografi akan terlihat sedikit kurang, karena jika melihat logo saja masyarakat kurang jelas melihatnya dan saat di isi tipografi kelihatan lebih menarik dan mudah ditangkap oleh masyarakat.

Kata Kunci : Tipografi, Logo

Selengkapnya dapat unduh disini

Gaun Etnik Origami Tekstil Dalam Karya Adi Busana

Kiriman : Ni Putu Darmara Pradnya Paramita (Mahasiswa Jurusan Desain Mode ISI Denpasar)

Abstrak

Rancangan desain adi busana merupakan suatu karya dalam dunia fashion yang proses pembuatannya lebih banyak menggunakan tangan dari pada jahitan mesin. Origami yang berbahan dasar dari kain endek  yang merupakan sebagai sumber ide diawali dengan penelitian sumber ide, filosofi, inspirasi, sketsa desain.

Dalam karya adi busana dengan tema I love Bali yang mengambil judul karya yaitu Gaun Etnik Origami tekstil. Konsep dasar karya adalah origami. Origami merupakan sebuah seni lipat yang berasal dari Jepang. Bahan yang digunakan adalah kertas atau kain yang biasanya berbentuk persegi. Gaya etnik berarti gaya berpakaian menurut budaya tertentu. Sebuah hasil origami merupakan suatu hasil kerja tangan yang sangat teliti dan halus pada pandangan.Origami yang diaplikasikan pada karya adi busana.material atau bahan yang digunakan untuk mendukung ide yaitu kombinasi antara  bahan dasar endek motif dengan endek polos.

Adapun  Proses tahapan desain busana pada karya ini yaitu pembuatan sketsa desain adi busana, pembuatan pola dasar, pembuatan pola busana sesuai desain, pemotongan kain sesuai pola, proses penjahitan ,pembuatan serta pemasangan origami tekstil pada busana. Terciptanya karya adi busana yang terinspirasi dari origami tekstil yang mengangkat bahan tradisional Bali yaitu kain tenun ikat pakan Bali (endek)  yang berasal dari keunggulan budaya lokal, Kain tenun ikat pakan yang disebut endek merupakan kain tradisional berasal dari Bali warisan budaya nenek moyang. Pada kain endek terdapat berbagai macam motif yang diterapkan pada kain.Kain endek memiliki berbagai macam warna. Kain endek menjadi bahan dasar pembuatan busana dalam dunia fashion.

Harapan dalam pembuatan karya ini untuk  memperkenalkan endek ke masyarakat, untuk menumbuhkan rasa cinta dan kebanggaan terhadap kain endek. Agar dapat mengolah kain endek menjadi suatu rancangan busana yang sesuai dengan kebutuhan gaya hidup konsumen.

Kata Kunci : Adi Busana, Etnik, Origami, Endek

Selengkapnya dapat unduh disini

“Mengenal Karya Batik Edward HutaBarat”

Kiriman : Nyoman Ayu Permata Dewi (Mahasiswa Jurusan Desain Mode ISI Denpasar)

Abstrak

Edward Hutabarat adalah salah satu perancang busana terkemuka di Indonesia. Tak hanya sebagai perancang busana, ia juga dikenal sebagai kurator seni dan budaya. Edward Hutabarat yang biasa dipanggil akrab Edo ini, lahir di Tarutung, Sumatera Utara 31 Agustus 1958. Edo adalah salah satu perancang busana yang menggunakan kain tradisional Indonesia dalam setiap rancangannya terutama kain Batik. Batik adalah kain bergambar yang pembuatannya secara khusus dengan menuliskan atau menerakan malam pada kain itu, kemudian pengolahannya diproses dengan cara tertentu yang memiliki kekhasan. Batik sendiri baginya bukan sebatas kain biasa, batik perlu diperlakukan sangat special mengingat teknik pembuatan batik memakan banyak waktu dan tenaga. Selain itu, di setiap motif yang terdapat pada kain batik terdapat nilai filosifinya sendiri. Kecintaannya pada batik membawanya menjadi seorang desainer Indonesia yang Track Record-nya sangat baik. Sebelum pembuatan busana, Edo terbiasa untuk melakukan tahapan-tahapan proses pembuatan busana. Dari segi input ke proses dan output hasil karya jadi yang akan tercipta. Penerapan tahapan-tahapan tersebut dilakukannya untuk mendapatkan hasil karya rancangan busana yang memiliki nilai jual tinggi terhadap konsumen. Baginya, membuat suatu rancangan busana tak hanya berupa nilai estetika (keindahan) dan ergonomi (kenyamanan) saja yang diutamakan namun sangat penting baginya membuat sebuah karya disesuaikan dengan makna yang terkandung dalam motif yang ia pilih terutama kain tradisional Indonesia yakni kain batik. Cita-cita dan harapan dari Edo adalah untuk mempromosikan serta membangun kembali citra batik di mata masyarakat Indonesia sekaligus ingin mengubah gambaran kain batik yang hanya bisa dibuat formal kini dapat diolah menjadi karya cipta yang tinggi dengan disesuaikan perkembangan mode saat ini.

Kata Kunci  : Edward Hutbarat, Edo, Batik, Mode, Kain Tradisional

Selengkapnya unduh disini

Ritus Wayang Di Lumbung Wayang Bali

Kiriman : Kadek Suartaya, SSKar., M.Si (Dosen Jurusan Karawitan ISI Denpasar)

Bagi orang Bali, wayang secara takzim disebut dengan Sanghyang Ringgit, kesenian yang mendapat anugrah dan kekuatan Hyang Widhi. Seni pertunjukan wayang kulit bukan hanya dipandang sebagai objek  tontonan semata, namun sebuah nilai seni yang diwingitkan. Saat tumpek wayang—bersiklus 210 hari menurut kalender Baliseperti halnya pada Sabtu tanggal 11 April kemarin, adalah hari keramatnya wayang Bali. Wayang dan peralatan gamelannya diupacarai nan khusuk.

Prosesi ritual terhadap kesenian itu misalnya dapat disaksikan di lumbung seni pertunjukan wayang Bali, Desa Sukawati, Kabupaten Gianyar. Di Banjar Babakan, salah satu dusun desa itu, sekitar 19 dalang dengan keluarganya masing-masing disibukkan oleh rangkaian upacara itu. Seluruh wayang dikeluarkan dari kotak wayangnya. Semuanya dibeber rapi di sanggah—pura keluarga. Dalang, para pemain gamelan gender, katengkong—pembatu dalang, bersembahyang bersama mohon dianugrahi taksu–tuah estetik.

Ditengah keperihatinan terhadap kian redupnya binar wayang kulit Bali, nafas panjang wayang terjustifikasi oleh psikoreligi ritus tumpek wayang, hari transisional terpenting yang dikeramatkan oleh masyarakatnya. Di salah satu kantong seni pertunjukan wayang Bali itu, doa terhadap eksistensi kesenian ini terus dipanjatkan. Kaderisasi dalang berlenggang alamiah sambung menyambung seakan tak peduli dengan kian menjauhnya penonton wayang.

Dulu, ketika budaya agraris tradisional masih kental mewarnai kehidupan orang Bali, kesenian wayang memang sempat menjadi bagian  dari totalitas kehidupan masyarakatnya. Jagat wayang dicerap sebagai tuntunan dan falsafah hidup. Saripati cerita yang dituturkan tontonan wayang menjadi kiblat berprilaku. Tokoh-tokoh idolanya menjadi identifikasi diri.

             Kini di tengah transformasi budaya yang sedang menggelinding dengan fenomena perubahan yang cepat dan dahsyat, seni pertunjukan wayang rupanya terdistorsi.  Pamornya morosot. Interelasinya dengan masyarakat pendukungnya kian senjang. Sementara jagat wayang asyik dengan kesendiriannya, disisi lain, masyarakat pendukungnya kian gamang  dengan kompleksitas kehidupannya.

Perjalanan waktu dan atmosfir zaman berdampak pada pergeseran pola berpikir, prilaku, dan keyakinan  masyarakat. Kini jarang ada terdengar orang Bali yang ngotonan—peringatan hari kelahiran yang bersiklus 210 hari–atau berkaul menyelenggarakan pementasan wayang seperti dimasa-masa lalu. Sekarang juga jarang terjadi sebuah upacara perkawinan dimeriahkan dengan pementasan wayang dengan cerita “Arjuna Wiwaha” misalnya. Kini juga kian sulit menjumpai pementasan wayang dengan cerita “Bima Swarga” dalam rangkaian upacara ngaben.

Kegelisahan memang kini sedang menggayut di kalangan penggiat seni pertunjukan wayang kulit Bali. Kendati demikian, rupanya seni boneka pipih dua dimesi ini tak buru-buru dikubur. Dalang-dalang di Banjar Babakan, Sukawati, masih tabah melakoni dunianya. Bahkan lebih dari itu, mereka mencoba menggeliat. Dalang-dalang  senior seperti I Wayan Nartha, I Wayan Wija dan I Made Juanda serta dalang muda seperti Bagus Bharatanatya (Juara I Lomba Dalang Remaja PKB 2013) misalnya, masih setia mengawal wayang kulit Bali.

Selain mengawal kelestarian Wayang Parwa—bersumber cerita Mahabharata–dan Wayang Ramayana—bersumber darai epos Ramayana, para seniman wayang kulit di Banjar Babakan itu memang melakukan langkah-langkah kreatif. Adalah dalang I Wayan Wija pada tahun 1980 menciptakan Wayang Tantri, wayang kulit yang bersumber dari lakon Tantri. Pada tahun 1985, dalang I Ketut Klinik menggagas Wayang Babad, seni pertunjukan wayang yang bercerita tentang kisah-kisah semi sejarah. Kedua kreasi wayang tersebut, kini cukup eksis di tengah masyarakat Bali. Secara konseptual dan pola garap, kedua kreasi wayang itu tetap anut dengan konvensi klasik wayang kulit Bali.

Tak sungkan pula mereka menghadirkan garapan wayang yang mendobrak konvensi tradisi. Beberapa dalang muda yang sempat mengenyam pendidikan formal di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Ketut Sudiana dan Wayan Mardika, gelisah bereksplorasi memburu nuansa inovatif, menjajal berbagai kemungkinan, baik yang menyangkut tata konseptualnya maupun dalam implementasi pengejawantahan seninya. Elemen-elemen dari buah kemajuan teknologi seperti misalnya komputer dan LCD proyektor tak luput dimanfaatkan dan disiasati.

Para dalang Banjar Babakan itu memang telah memberi kontribusi yang signifikan bagi  perjalanan seni pertunjukan wayang Bali. Secara kualitatif, reputasi  para seniman wayang desa itu telah teruji dan diakui di    Bali, bahkan  telah unjuk kiprah dalam forum internasional. Dalang Wija dan  Wayan Nartha misalnya, telah berkali-kali  diundang pentas ke mancanegara. Sebaliknya, sejak beberapa tahun terakhir ini, orang-orang asing yang ingin  mempelajari wayang, banyak datang berguru kepada para dalang Sukawati tersebut. Maria, pekerja teater dari Amerika Serikat, adalah salah satu murid dalang Nartha yang kini sudah sering pentas di negerinya.

Akan tetapi, realita termarginalnya seni pentas wayang di tengah masyarakat Bali sendiri, bagaimana pun juga membuat gundah para dalang Sukawati tersebut. Anehnya, kegalauan itu bukan diekspresikan dengan berpangku diri. Mereka berusaha eksis dengan gereget  kreativitasnya. Dalang-dalang itu tetap tulus ngayah—pentas tanpa imbalan finansial dalam konteks upacara keagamaan. Dalang senior Wayan Nartha, 73 tahun, masih tampak bersemangat membimbing generasi muda yang ingin mengenyimpungi jagat wayang. Wayang rupanya telah menjadi totalitas ritus kehidupan mereka.        

Tari Pendet, Dari Pulau Dewata Mengerling Dunia

Kiriman : Kadek Suartaya, SSKar., M.Si (Dosen Jurusan Karawitan ISI Denpasar)

Tari Pendet, belakangan tersenyum sumeringah di Pulau Dewata. Pada pertengahan dan akhir April lalu, dua kabupaten bertetangga yang merayakan HUT kotanya, Gianyar dan Klungkung, menggelar tari pendet masal. Mengambil tempat di panggung terbuka Balai Budaya, Gianyar tampil dengan 600 orang penari. Sementara itu, tak mau kalah heboh, Klungkung mengerahkan 2015 orang penari yang melenggang di perempatan kota Semarapura. Tari Pendet yang dikembangkan dari ritual mamendet dalam prosesi agama Hindu di Bali, kini menggeliat mengerling dunia.

Pada umumnya masyarakat mengenal tari Pendet sebagai tari penyambutan atau tari selamat datang. Tetapi tiba-tiba pada tahun 2009, tari yang disajikan oleh para penari putri ini, mengundang perhatian masyarakat Indonesia. Adalah negara tetangga kita, Malaysia melambungkan tari Pendet menjadi topik wacana kebudayaan internasional gara-gara promosi  Visit Malaysia Year-nya yang memajang Pendet sebagai ilustrasi iklan pariwisatanya. Promosi kepariwisataan negeri serumpun tersebut mengundang tudingan sebagai penyerobot kebudayaan Indonesia. Kendati bentuk klaim Malaysia atas tari Pendet tidak jelas seperti apa kebenarannya, di sisi lain, setidaknya telah mengundang perhatian kalangan masyarakat luas–dari rakyat awam hingga presiden RI, terhadap tari Pendet.

Banyak yang beropini pendakuan tari Pendet oleh Malaysia dipicu oleh kepentingan pragmatis-ekonomis, dalam konteks ini industri keparawisataan yang memang dikelola sungguh-sungguh negeri tetangga itu dengan mempromosikan  bangsanya sebagai  Truly Asia. Pendet sebagai salah satu tari Bali yang sudah sangat familiar menyongsong wisatawan mancanegara,  mereka pinjam tanpa permisi untuk pencitraan eksistensi nilai keindahan budaya.

Sejak tahun 1970-an, tari Pendet mulai dikenal dan dipelajari di beberapa kota besar Indonesia lewat sanggar-sanggar tari. Di Jakarta misalnya, tari kelompok ini termasuk materi dasar wajib yang diberikan kepada para peminat tari Bali. Menasionalnya tari yang dikembangkan tahun 1950-an ini juga berkat andil presiden pertama RI Bung Karno, menampilkan tari Pendet yang dibawakan oleh 1000 orang gadis-gadis Bali dalam Asian Games tahun 1962 di Jakarta. Di Bali sendiri, dalam geliat jagat pariwisata,  tari Pendet sering-sering ditampilkan sebagai tari selamat datang dalam konteks pertunjukan turistik.

Sebelum dikenal sebagai tari penyambutan, pendet adalah bagian prosesi keagamaan hampir di setiap pura di Bali. Mamendet atau mendet adalah kegiatan untuk menyebut sebuah tahap upacara yang dimaknai sebagai penyambutan para dewa. Mamendet biasanya adalah tugas para pemimpin upacara atau pemangku, namun di beberapa tempat persembahan seni itu dapat dilakukan oleh siapa saja, tua muda, laki perempuan. Melalui iringan gamelan papendetan, seorang nenek misalnya bangkit spontanitas ngayah mengambil canang, dupa, pasepan lalu menari penuh ketulusan. Seorang atau beberapa pemangku juga lazim menggamit tombak, bandrangan dan atau keris menari-nari dengan lugu berimprovisasi. Bahkan bocah-bocah pun tampak sering berpartisipasi dengan keceriaanya.

Berangkat dari tradisi mamendet dalam aktivitas keagamaan itulah memunculkan kreativitas seni yang kemudian dikenal sebagai tari Pendet. Adalah seorang seniman Bali yang bernama I Wayan Rindi (almarhum) dari Banjar Lebah Sumerta  sebagai penggagasnya. Belum jelas apa motivasi seniman yang pada masa remajanya dikenal sebagai penari gandrung tersohor itu menciptakan tari yang konon dibawakan pertama kali oleh penari kawakan Ni Ketut Reneng tersebut. Namun yang pasti, tari yang pada awalnya disebut Pendet Pujiastuti itu berkembang cepat di tengah masyarakat Bali. Ketika ditampilkan dalam Asian Games 1962, tari ini sempat ditata kembali oleh seniman karawitan dan tari I Wayan Beratha.

Tari Pendet ditampilkan dengan busana adat wanita tradisional Bali, memakai kain dan penutup badan serta beberapa kembang menghias rambut berurai panjang. Bokor yang penuh dengan bunga warna-warni adalah properti satu-satunya tari yang berdurai sekitar 5-6 menit ini. Melalui untaian perbendaharaan gerak tari Bali, Pendet pada intinya melukiskan wanita Bali melakukan persembahyang ke hadapan para dewa atau Hyang Widhi. Bagaimana stilisasi estetik dari khusuknya saat bersembahyang itu dilukiskan pada bagian tengah tari ini. Dalam posisi bersimpuh dengan bokor ditaruh di depan lutut, setahap demi setahap bunga diambil dan diangkat ke dada dikepit kedua jemari tangan yang terkatup, lalu dilepas ke atas. Pada bagian akhir, dalam gerakan  ngumbang, bunga-bunga itu kembali disebar dengan hikmat. Dalam perjalanannya kemudian, entah atas kritik atau anjuran pihak mana, untuk menyambut turis di bandara atau di hotel, dibuat tari Pendet versi pendek, 2-3 menit, dengan menghilangkan bagian persembahyangannya.

Sekian tahun setelah kehadiran tari Pendet, ritual keagamaan yang disertai penyajian seni sakral kembali menjadi sumber inspirasi kelahiran beberapa jenis tari selamat datang pada tahun-tahun berikutnya. Setelah munculnya tari Gabor ciptaan I Gusti Raka Saba, pada tahun 1971 menguak tari Panyembrama karya I Wayan Beratha yang hingga kini masih populer, dipentaskan sebagai tari pembukaan. Jika tari Pendet, Gabor, dan Panyembrana adalah jenis tari putri, tari penyambutan yang diberi nama Puspawresti (1981) buah karya I Wayan Dibia menampilkan karakter tari putra dan putri. Era tahun 1990-an memunculkan tari Puspanjali dan tari Sekar Jagat ciptaan N.L.N Swasthi Widjaja Bandem, tari Selat Segara karya I Gusti Ayu Srinatih. Tak hanya di Bali, di Jakarta, Guruh Sukarno Putra menggarap tari (Bali) Rebong Puspa Mekar yang terinspirasi dari persembahan tari Rejang saat odalan di pura. Dari arena  PKB, sebuah grup tari Bali Basundari dari Jepang juga dengan bangga menyajikan cipta tari selamat datang bertajuk Puspa Buana.

Jagat seni dapat diusung sebagai media komunikasi estetik yang dianggap sebagai gudang bersemayamnya makna-makna kebudayaan. Salah satu makna kebudayaan dunia seni adalah keselarasan dan kedamaian. Tari Pendet telah menabur kembang kedamaian ke berbagai belahan dunia. Seledet-nya–gerak mata ke kiri dan ke kanan dalam tari Bali–telah mengerling masyarakat mancanegara dari California hingga Tokyo. Sekar Jaya, sebuah grup tari dan gamelan Bali yang beranggotakan orang-orang Amerika, sejak tahun 1980-an  telah pasih menarikan dan memainkan iringan tari Pendet. Di Tokyo, para seniman Jepang yang tergabung dalam grup tari dan gamelan Bali Sekar Jepun kini juga telah sering mementaskan tari selamat datang asal Pulau Dewata itu.

Keberadaan tari Pendet berpijak dari ritual keagamaan yang ditata menjadi ekspresi artistik  dalam sanggaan nilai estetika, etika, filosofis agama Hindu masyarakat Bali. Karenanya, Bali tak akan mungkin kehilangan tari Pendet, lebih-lebih akar dan sumber inspirasinya masih amat kokoh sebagai ritus yang dikawal secara takzim. Sebagai seni tari sub kebudayaan Indonesia, tari ini telah menjadi jembatan toleransi kemajemukan ekspresi kebudayaan kita. Sebagai sebuah nilai estetik dan kultural Nusantara, tari Pendet telah mengerling dunia, menyemai komunikasi universal dengan bangsa-bangsa sejagat.                

Tari Tarunajaya, Taruna Bali Nan Digjaya

Kiriman : Kadek Suartaya, SSKar., M.Si (Dosen Jurusan Karawitan ISI Denpasar)

Pada suatu hari, tahun 1950, sebuah cipta seni tari ditampilkan di depan Bung Karno dan tamu-tamunya di sebuah hotel di Denpasar. Presiden I Republik Indonesia yang dikenal sebagai penyayang seni itu tak menyembunyikan ekspresi takjubnya terhadap pentas tari yang begitu energik dengan dukungan tatabuhan gamelan yang gegap membuncah itu. Soekarno sangat mengagumi totalitas dan vitalitas sajian tari tunggal tersebut. Presiden yang berdarah Bali itulah yang kemudian memberi nama seni tari ciptaan I Gede Manik dari Desa Jagaraga, Buleleng, ini dengan sebutan Tarunajaya, taruna yang digjaya.

            Tari Tarunajaya memang adalah karya tari unggul yang masih mempesona, sering dipentaskan hingga hari ini. Ekspresi estetik yang disajikan dan gelora optimistik yang dipancarkan masih menggugah. Cipta tari yang cikal bakalnya menguak dari Bali Utara sebelum zaman kemerdekaan itu, berhasil menembus selera estetik masyarakat Bali secara lintas zaman. Tari yang lazim dibawakan oleh penari wanita itu masih konsisten menunjukkan energisitasnya di tengah kompleksitas kehidupan.  Tarunajaya dapat dipandang sebagai representasi dari konsistensi semangat pemuda Bali dalam rona artistik. Simaklah, betapa dinamisnya ungkapan estetik pada tari yang dibalut dengan busana ornamentik ini. Hayatilah, betapa berbinarnya semangat pantang menyerah yang terasa dalam tampilan gerak, mimik dan ayunan lincah iringan gamelannya. 

           Dibandingkan dengan tari sezamannya, Tarunajaya masih menunjukkan kedigjayaannya. Kini di usianya lebih dari setengah abad, tari Tarunajaya ternyata tetap monumental. Di sekolah dan institut seni dan sanggar-sanggar seni, tari ini diteruskan dari generasi ke generasi. Energisitas tari ini juga tak bosan-bosan ditampilkan dalam lomba-lomba tari Bali. Yang mengagumkan, daya pesonanya di tengah masyarakat tak pernah redup, tetap berbinar-binar. Pementasan seni kebyar sebagai balih-balihan saat odalan di pura misalnya, sering mempersembahkan sajian tari Tarunajaya. Di arena PKB, beberapa grup seni pertunjukan yang menguguhkan tari kreasi atau seni kebyar, banyak yang menjadikan Tarunajaya sebagai nomor pamungkas yang mampu memukau penonton. Padahal tari yang dibalut dengan busana perada meriah itu mungkin sudah berkali-kali disaksikan.

            Cikal bakal munculnya tari Tarunajaya didahului oleh hadirnya tari Kebyar Legong. Tersebutlah seorang seniman dari Desa Jagaraga, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng yang bernama I Wayan Paraupan atau  Pan Wandres. Pada tahun 1915, seniman tabuh dan tari tersebut menciptakan sebuah tarian yang dibawakan oleh dua orang penari. Elemen-elemen yang dijadikan konstruksi tari yang berdurasi panjang itu  merupakan kombinasi tari Baris, Jauk, dan Legong. Tak jelas, apakah karena ada penggalan pengawak  Legong-nya yang menyebabkan tari ini disebut Kebyar Legong. Yang pasti tari ini sejak awal memang diiringi dengan Gong Kebyar, gamelan yang kini hampir dimiliki oleh setiap banjar atau desa di Bali.

            I Gede Manik, bersama pasangannya, Mangku Ongka, adalah penari pertama dari tari Kebyar Legong. Pada tahun 1925, Gede Manik menunjukkan jati dirinya sebagai seorang kreator tari. Berorientasi dari tari Kebyar Legong yang sering dibawakannya, ia menggagas karya tari Kebyar Legong versi lain, lebih pendek durasinya namun tetap menunjukkan karakteristik tari yang dinamis. Tari yang bernuansa gelora taruna nan heroik yang belum diberinya nama itu–saat disaksikan pertama kali oleh presiden Soekarno–diberi nama Tarunajaya. Manik menerima dengan bangga.

            Bersama tari Kebyar Duduk atau Kebyar Terompong yang diciptakan I Ketut Marya, tari Tarunajaya karya Gede Manik mengibarkan sejarah baru seni pertunjukan Bali yaitu euporia Gong Kebyar yang menggelinding dari Bali Utara dan merebak hingga ke seluruh Bali. Tari Kebyar Duduk dan Tarunajaya adalah sebuah inovasi seni pentas yang berpengaruh besar terhadap kesenian Bali pada umumnya, khususnya dalam seni tari dan karawitan. Konsep artistik seni kebyar kemudian berlaku umum dalam paradigma berkesenian dan dunia penciptaan seni pentas di Bali. Dan, tari Tarunajaya adalah sang maskot.

            Ketika Tarunajaya bertransformasi dari Kebyar Legong yang kemudian bergulir di tengah masyarakat, sudah pasti mengalami perubahan-perubahan, variasi, dan pengkristalan di beberapa komunitas. Namun yang tetap tampak membumbung dalam tari ini adalah kegairahan yang membuncah, ekspresi lugas dan lagak nan tangkas, serta berona humanis-romantis. Keseluruhan struktur koreografi tari ini dan komposisi musik pengiringnya, saat pementasan, menggiring penonton untuk tidak mengalihkan perhatian.

            Di tengah kehidupan masyarakat masa kini yang demikian kompleks, tari Tarunajaya masih mampu mencuri perhatian penonton. Bagi generasi muda Bali, kandungan semangat, keuletan, sikap tahan banting yang disundut tari ini patut disimak, dijadikan inspirasi, dan diteladani. Mungkin, bagi masyarakat Bali pada umumnya yang dikenal sebagai penyayang seni,  keindahan yang membinar dalam tari ini dapat membangun pencerahan diri. Khusus, bagi kreator tari dan karawitan masa kini, eksistensi tari Tarunajaya dapat menjadi cambuk untuk mengibarkan kejayaaan seni pertunjukan Bali, di masa kini dan ke depan.

            Belakangan ini, tari Tarunajaya menerjang girang di seluruh penjuru Bali. Membumbungnya tari ini berkaitan dengan perayaan 100 tahun seni kebyar—seni kebyar lahir tahun 1915. Dalam PKB 2015, program pagelaran seni kebyar diberi porsi besar. Parade gong kebyar se-Bali yang menjadi salah satu pentas unggulan PKB, menjadikan tari Tarunajaya sebagai sajian tari pilihan. Oleh karena itu, tampak persiapan masing-masing duta gong kebyar kabupaten/kota cenderung lebih kepincut untuk menampilkan tari Tarunajaya.

            Pekan seni dan olahraga pelajar (Porsenijar) se-Bali 2015 yang juga berlangsung pada bulan-bulan awal tahun ini sangat afdol bila memprogramkan tari Tarunajaya dan tari-tarian kebyar lainnya dalam materi lomba seni tarinya. Selain dapat menjadi wahana melibatkan generasi muda mengapresiasi seni kebyar yang telah mendunia, juga melalui gelora yang dikobarkan dalam aspek estetiknya dan pesan moral yang dilontarkan Tarunajaya—jagat seni pada umumnya–dapat mengisi sudut-sudut kekosongan batiniah generasi muda masa kini untuk berevolusi bahkan memancangkan revolusi mental, membenahi moralitas destruktif yang mendera dan mencederai harkat dan martabat bangsa kita ini. 

Loading...