Para Pakar dari 61 Negara di Dunia Akan Tukar Pandangan Dalam The 3rd SSEASR Conference di ISI Denpasar

Para Pakar dari 61 Negara di Dunia Akan Tukar Pandangan Dalam The 3rd SSEASR Conference di ISI Denpasar

SSEASR

SSEASR

DenpasarSouth and Southeast Asia Association For Study of Culture and Religion (Satu organisasi ditingkat Asia dan Asia Tenggara untuk studi agama dan budaya) bekerjasama dengan ISI Denpasar dan UNHI Denpasar akan melangsungkan konfrensi internasional SSEASR ke-3 pada tanggal 3-6 Juni 2009 di ISI Denpasar dan UNHI Denpasar dengan tema : Water in South and Southeast Asia: Interaction of Culture and Religion, dimana perspektif air dari Selatan dan Tenggara Asia sebagai interaksi budaya dan agama akan dibahas dalam konfrensi yang berlangsung selama 4 hari. Konfrensi tersebut akan dihadiri oleh pakar dari berbagai multidisiplin dari 61 negara didunia dengan melibatkan sekitar 506 peserta. Menurut ketua panitia Prof. Dr. I Wayan Rai S., M.A., awalnya keterlibatan peserta mencapai 600 dari 63 negara di dunia, namun akibat isu flu babi yang mengkhawatirkan dunia berdampak pula pada kehadiran peserta asing yang membatalkan kehadirannya untuk mengikuti konfrensi. Mereka akan mengadakan tukar pandangan dalam rangka mengembangkan upaya-upaya untuk memelihara, mengembangkan serta mencari solusi terhadap berbagai permasalahan berkaitan dengan kehidupan agama dan budaya. Prof. Rai menambahkan sesungguhnya keputusan untuk menjadikan Bali sebagai tempat konfrensi sudah diputuskan di Bangkok pada Konfrensi internasional SSEASR ke-2 tahun 2007. Ini membuktikan para peserta sangat antusias untuk datang ke Bali dan kesempatan ini sangat baik untuk meningkatkan citra positif Bali dan membantu meningkatkan pariwisata Bali. Kegiatan ini juga sangat berdampak pada dunia pendidikan Bali khususnya dan Indonesia pada umumnya, karena nantinya akan hadir ratusan akademisi dari berbagai multidisiplin untuk berdiskusi tentang seni budaya khususnya Bali. Sehingga keindahan alam, seni dan budaya Bali nantinya tidak hanya menjadi daya tarik wisatawan, tapi juga para ilmuwan. Konfrensi besar ini juga akan berdampak positif bagi para ilmuwan lokal untuk dapat menunjukkan jati dirinya di kancah internasional, karena peserta yang hadir adalah akademisi multidisiplin dari universitas-universitas besar dan ternama di dunia.

Pelaksanaan konfrensi ini tidak lepas dari dukungan berbagai pihak diantaranya dukungan dari Walikota Denpasar, Rai Dharmawijaya Mantra, yang dalam audiensi panitia ke walikota mengungkapkan bahwa kegiatan ini nantinya benar-benar bisa memberi peluang kepada masyarakat bali untuk mengungkapkan sesuatu dengan tersurat bukan tersirat yang artinya mampu mengungkapkan adat, budaya dan agama lewat tulisan bukan sekedar wacana saja. Rai Dharmawijaya Mantra juga menyampaikan bahwa peningkatan jati diri masyarakat Bali tidak hanya terfokuskan pada “monument fisik” tapi juga harus membangun “monument maya”. Untuk pelestarian Bali “monument pisik” seperti bangunan harus diimbangi dengan pembangunan “monument maya” dalam hal ini adalah pembangunan spiritual. Sehingga banyaknya “monument pisik” yang ada di Bali akan dapat dilestarikan karena masyarakat bali memiliki kekuatan “monument maya” untuk menjaga dan melestarikannya. Hal tersebut terungkap saat audiensi ke walikota.

Sementara dukungan keamanan juga diberikan oleh para jajaran Polda Bali, lewat ungkapan Kapolda Bali IRJEN POL Drs. T. Ashikin Husein dengan diadakan dan suksesnya konferensi ini merupakan pembuktian atas keamanan daerah Bali sebagai daerah tujuan pariwisata internasional. Kapolda dan jajarannya juga menyatakan siap untuk mendukung dan menyukseskan kegiatan ini dari segi pengamanannya. Gubernur Bali lewat Wakil Gubernur Balipun, A.A. Puspayoga sangat bangga atas terpilihnya Bali sebagai tempat konfrensi internasional. Apalagi dalam konfrensi melahirkan 3 jenis buku yaitu buku berbahasa Indonesia, Inggris serta Bahasa Bali, yang mampu memberikan sumbangsih sangat berarti bagi dunia pendidikan Bali khususnya dan internasional secara umum. Sementara dukungan lainnya diungkapkan oleh Ketua DPRD Bali, I.B. P. Wesnawa. Pihaknya menyampaikan dipilihnya tema konfrensi ini adalah “air” sangat tepat. Karena di jaman sekarang ini perlu ada inspirasi yang mampu membuka pikiran seluruh umat untuk berlaku positif terhadap “air”. Menurutnya air adalah simbul kehidupan yang dilambangkan dengan Dewa Wisnu untuk kesejukan. Jika ditelusuri dari ceritanya, Dewa Wisnu pernah menikah dengan Dewi Pertiwi yang melahirkan Boma. Dari cerita itu filosofi yang kita temukan adalah Dewa Wisnu (air) yang bergabung dengan Dewi Pertiwi (tanah) melahirkan boma yang berarti pohon atau kehidupan. Begitulah perlakukan kita terhadap air. Jika kita memperlakukan air dengan baik maka hal baik pula yang kita terima, namun jika perlakuan sebaliknya kita berikan, maka murkalah yang kita dapatkan. Wesnawa mengharapkan, kegiatan ini menjadi tonggak sejarah yang nantinya terdapat 3 proses yaitu diawali dari pemehaman, dilanjutkan dengan penghayatan dan diakhiri dengan pengamalan. Sehingga setelah konfrensi ini mampu mengaplikasikan hasil dari konfrensi untuk menjaga keberadaan “air” tersebut tidak hanya di Bali namun juga di mancanegara.

Profesor. Amarjiva Lochan presiden SSEASR yang juga penggagas Konferensi ini mengungkapkan, agama adalah satu kondisi yang meliputi hampir tiap-tiap bagian dari hidup kita, apakah ini adalah budaya kita, bahasa dan literatur, riwayat atau peradaban, perilaku sosial atau pemahaman dari kemanusiaan, agama yang membentuk kita. Ciri umum yang tidak bisa dipisahkan dari berbagi peradaban kita di masa lalu tiga millennia membuat agama di selatan dan tenggara asia satu model peran dari keberadaan dimana unsur eksternal dapat diterima, disesuaikan, dicerna dan dihormati. Begitu juga dengan air yang merupakan suatu unsur yang penting di alam untuk kelangsungan hidup manusia. Inti dari konferensi ini adalah membahas bagaimana kebudayaan manusia yang didasari oleh agama dan penghormatan terhadap air, yang kedepannya diharapkan tumbuh suatu kesadaran akan pentingnya air.

Sementara Rektor Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar, Prof. IBG Yudha Triguna mengungkapkan bahwa kegiatan ini juga sepenuhnya mendapat dukungan dari Direktorat Jedral Bidang Masyarakat (Bimas) Hindu apalagi kapasitasnya yang juga sebagai Dirjen menjadikannya merasa terpanggil untuk turut menyukseskan kegiatan baik skala maupun niskala, termasuk dukungan dana. Pihaknya sangat berharap semoga konferensi international yang bertujuan mulia ini berjalan dengan sukses dan dapat merumuskan sesuai dengan yang diharapkan.

Humas ISI Denpasar melaporkan

“Foto Seni” Konsep Estetika Dalam Fotografi

“Foto Seni” Konsep Estetika Dalam Fotografi

Sebuah karya atau foto kita katakan sebagai benda seni, ia harus bukan sekedar hasil upaya proses reproduksi belaka. Foto seni semestinya berasal dari suatu kontemplasi yang intens. Pemunculan gagasan/idea tidaklah serentak dan berkesan dadakan. Ada suatu proses pengamatan empirik, komparasi, perenungan, dan bahkan serangkaian mimpi-mimpi yang panjang yang lalu berwujud sebagai titik akhir sebuah eksekusi: konsep dan visi/misi yang transparan serta “baru”. Dengan begitu sebuah foto seni tidak hanya sebentuk “seni instan” belaka.            Foto Seni, merupakan bagian dari cabang seni rupa yang paling muda

Lebih satu abad yang lalu fotografi ditemukan sebagai suatu teknologi baru di bidang perekaman visual yang cukup revolusioner. Walaupun prinsip dasar fotografi telah dikenal orang sejak lama (melalui cara kerja kamera Obscura) akan tetapi sebagai alat yang dapat mengabadikan objek ke atas permukaaan lempengan tembaga dan kertas. Mereka yang melakukan hal tersebut kemudian dikenal sebagai tokoh pionir fotografi seperti, Josep Necepphore, Louis Jacques Mande Daguerre (keduanya dari Perancis) dan Henry Fox Talbot (Inggris).

Selanjutnya secara bertahap fotografi berkembang ke arah penyempurnaan teknik dan kualitas gambarnya sampai pada akhir abad ke-19 saat George Eastmen mempopulerkan produk kamera KODAK-nya ke pasaran Amerika, fotografi telah mencapai kualitas hasil yang mendekati seperti yang kita kenal sekarang sampai teknologi digital yang paling mutakhir dengan hasil akhir sama seperti fotografi analog.

Foto Seni Indonesia

Tapi sebenarnya  perkembangan foto seni di Indonesia sendiri telah berkembang diakhir abad delapan belas, ada orang Indonesia yang telah membuat foto-foto indah menawan baik di dalam studio maupun di alam bebas, foto-foto itu jelas sekali bernafaskan seni seperti yang kita kenal sekarang ini. Objek, lighting dan komposisinya jelas sekali diperhitungkan dengan matang saat pemotretan. Pencetakan fotonyapun juga sangat brelian, sehingga hasil fotopun menjadi indah menawan bagaikan lukisan-foto piktorial. Perbedaan yang dapat kita lihat dengan jelas adalah sebagian besar, bahkan hampir semua foto terekam beku. Jika memotret manusia, maka simodel diwajibkan untuk diam beberapa saat. Hal ini dapat dimaklumi karena teknologi fotografi saat itu masih sederhana, body kamera berukuran besar sedangkan filmnya masih dalam bentuk lembaran (bukan rol), bahkan bahan dasarnya kaca atau seloloid, dengan kepekaan (ASA) yang masih rendah. Mekanis pada lensa juga sangat sederhana, bahkan banyak lensa yang mempunyai satu bukaan diafragma dan tidak disertai lembaran daun diafragma, sehingga pemotretan dilakukan dengan cara membuka dan menutup lensa/lenscap.

Foto Seni

Pengertian “foto seni” adalah suatu karya foto yang memiliki nilai seni, suatu nilai estetik, baik yang bersifat universal maupun lokal atau terbatas. Karya-karya foto dalam kategori ini mempunyai suatu sifat yang secara minimal memiliki daya simpan dalam waktu yang relatif lama dan tetap dihargai nilai seninya.

Sebuah karya atau foto kita katakan sebagai benda seni, ia harus bukan sekedar hasil upaya proses reproduksi belaka. Foto seni semestinya berasal dari suatu kontemplasi yang intens. Pemunculan gagasan/idea tidaklah serentak dan berkesan dadakan. Ada suatu proses pengamatan empirik, komparasi, perenungan, dan bahkan serangkaian mimpi-mimpi yang panjang yang lalu berwujud sebagai titik akhir sebuah eksekusi: konsep dan visi/misi yang transparan serta “baru”. Dengan begitu sebuah foto seni tidak hanya sebentuk “seni instan” belaka.

Foto Seni, merupakan bagian dari cabang seni rupa yang paling muda. Walau tidak bisa dipungkiri, secara teknikal foto seni memberikan kontribusi kepada cabang fotografi lainnya, semisal foto jurnalistik.

Berbagai kalangan fotografi mengakui, perkembangan dunia fotografi di Indonesia memang belum sepenuhnya menggembirakan,walaupun sejak “reformasi” foto baik dari foto jurnalistik, foto studio, komersial ataupun yang bernuansa salonis, foto seni, dunia fotografi Indonesia memang tengah memasuki era baru.

Fotografer Seni

Kassian Cephas orang jawa, lahir di Yogyakarta tanggal 15 Januari 1845, oleh banyak pihak diakui sebagai fotografer pertama Indonesia. Fotografer lainnya yang ada di Indonesia sebagian besar adalah keturunan Belanda.

Kassian Chepas yang tinggal dan mempunyai studio di Yogyakarta juga merupakan “pemotret resmi” Kraton Yogyakarta. Selain memotret kalangan elit, Kassian Chepas juga banyak memotret candi dan bangunan bersejarah lainnya terutama yang ada disekitar Yogya.

Selain karya Chepas, foto-foto kuno yang dibuat pada akhir dan awal tahun 1900-an sayangnya banyak yang tidak diketahui siapa pemotretnya, banyak juga yang menampilkan sisi keindahan dengan objek panorama maupun human interest.

Selain itu Ansel Adam seorang “fine art photographer” Amerika terbesar dari abad ke-20. Ansel Adam tidak hanya dihargai dari karya foto-fotonya saja tapi juga dari dedikasinya dalam dunia pendidikan fotografi. Ansel bersama Fred Archer pada awal tahun 1940-an memperkenalkan suatu metode yang dikenal dengan nama Zone System (ZS).

Metode temuan Ansel ini secara umum adalah proses terencana dalam pembuatan foto mulai dari pra-visualisasi kemudian mengkalkulasi pencahayaan secara tepat sampai menproses film secara akurat. Hasil akhirnya adalah negatif foto yang prima sebagai pondasi utama membuat cetakan foto yang berkualitas juga maksimal. Metode ZS ini bila dipahami secara benar akan sangat membantu fotografer untuk menghasilkan foto yang semaksimal mungkin sehingga tidak lagi mengharapkan suatu keberuntungan semata dalam menentukan perhitungan pencahayaan. Segalanya telah diprediksi dan direncanakan dengan baik.

Kategori Foto Seni (fine art)

Foto seni (fine art) adalah foto-foto piktorialisme, yakni jenis foto yang menonjolkan estetika yang meniru pencitraan gambar (picture) atau lukisan (painting). Jenis foto ini lebih menyerukan keindahan atau nilai artistik instriknya ketimbang kandungan makna foto itu sendiri. Elemen -elemen yang diekploitasi oleh fotografer foto seni ialah komposisi, penyinaran yang dramastis ( chiroscuro) dan nada warna(Paul I. Zacharia)

Foto seni (fine art) bisa disimpulkan sebagai foto yang dalam proses yang berkesinambungan. Ada hal yang yang tidak bisa dipisahkan mulai dari konsep perencanaan, pembuatan, penerapan teknis secara akurat termasuk didalamnya pemrosesan film ataupun pembuatan file digital. Menyikapi kontroversi tentang digital, menarik mengutip pendapat seorang jurnalis kawakan bahwa hanya foto jurnalis yang tidak boleh dimanipulasi. Foto-foto jurnalistik harus menyampaikan suatu kebenaran apa adanya sedangkan dalam foto (fine art), proses digital hanya merupakan alat pembantu dalam berkarya.

Dalam mencipta suatu karya seni, konsep utama yang harus kita persiapkan adalah idealisme pribadi. Pengembangan konsep tersebut, lalu penyesuaian dengan sarana yang ada, pengaruh lingkungannya, kesulitan yang mungkin terjadi, dan tentu saja harus didukung dengan peralatan yang memadai sebagi faktor teknis penciptaan.

Sebagai ilustrasi untuk hal ini adalah foto-foto karya Do Qong Hai yang mirip dengan lukisan bergaya China. Karya-karya ini dibuat dengan melakukan sandwich dari beberapa negative yang dalam pembuatannya telah direncanakan dengan matang.

Estetika dalam Foto Seni

Estetika di dalam foto seni didapatkan apabila telah ditemukan titik estetika yaitu momentum pengalaman kesadaran roh manusia seniman maupun pengapresiasi seni yang persis berada di tengah-tengah antara yang rohani dan yang jasmani, di mana titik ini di alami sekejap namun bernuansa mendalam di dalam yang “tragis” (manakala:roh”dikalahkan”jasmani”), yang sublim (manakala roh menang atas kebaikan), dan yang asri (gracious:manakala kebaikan menang atas kebenaran) (lihat Mudji Sutrisno dan Chris Verhaak, Estetika Filsafat Keindahan, Kanisius,1993).

Dalam estetika di kenal dua pendekatan: yang pertama ingin langsung meneliti keindahan itu dalam benda-benda / alam indah serta seni itu sendiri atau mau lebih; yang kedua menyoroti situasi kontemplasi rasa indah yang sedang dialami (pengalaman keindahan dalam diri orangnya). Pengalaman estetika berkait erat dengan soal perasaan, dimana bila foto seni dikatakan memiliki estetika dengan ciri foto tersebut tidak hanya mampu  mengeploitasi keindahan tersebut melainkan foto seni menyumbangkan nilai-nilai humanisme universal kepada umat manusia. Fotografi tidak hanya sebagai ekses kemudahan alat rekam, namun di sana tercermin sebuah proses pencitraan gagasan dan estetika yang lebih transenden.

Perkembangan Foto Seni

Banyak yang tidak menyangka bahwa perkembangan foto seni di Indonesia sangat pesat termasuk Bali di era digital ini tumbuh dan mewarnai pefotografian di Indonesia. Dari segi ekonomi sekarang ini sebuah foto bisa dihargai puluhan juta rupiah selembarnya. Namun bukan sekedar dari segi ekonomi saja, dari segi seni rupa lainnya perkembangan foto seni semakin dapat mensejajarkan diri dengan seni lainnya. Mereka yang tidak percaya tentang hal ini menganggap bahwa sebuah cetakan foto seni hanyalah sebuah replika dari negatif pembentuknya. Foto mudah dibuat berapa lembarpun asalkan negatif fotonya masih ada sehingga tidak bisa disamakan dengan karya seni lain.

Hal ini lebih membangkitkan fotografer menekuni bidang foto seni ini, karena sekarang tumbuh sekelompok orang yang mengoleksi foto dan menganggapnya sama dengan benda seni lain. Walaupun dapat dikatakan perkembangan foto seni di Indonesia masih belum maksimal, karena belum banyak yang menekuni foto seni itu sendiri. Foto seni tidak selalu apa yang menjadi obyek, melainkan lebih pada proses ketika memotret dan memroses hasil cetakannya. Ketika kita memotret kita harus sudah tahu akan seperti apa hasilnya hingga sedetail mungkin. Perkembangan foto seni yang begitu pesat dapat kita nikmati setelah bergulirnya era reformasi 1998 dan memasuki era fotografi digital yang sangat pesat dan juga menjadi tonggak perkembangan bidang lain.

Penutup

Membuat foto seni yang merupakan bagian fotografi, yang memiliki konsep estetika yang memperhitungkan terlebih dahulu unsur-unsur penciptaan sebuah foto, dari pencahayaan sampai proses pencetakannya. Semua direncanakan dengan matang dan terencana, karena kini foto seni telah sama rumitnya dengan seni lain. Apalagi jika kita membincangkan posisi fotografi dalam konteks kesenirupaan (fine art). Bisakah dan mampukah fotografi disandingkan dalam keluarga seni rupa (High Art). Koeksistensinya ini tidaklah berpretensi saling menegasikan. Justru sebaliknya, dan siapa tahu, dunia High Art makin diperkaya dengan hadirnya fotografi di komunitasnya. Sejalan Dengan perkembangan teknologi sekarang ini fotografer yang mau menekuni foto seni akan lebih mudah dengan hadirnya fotografi digital. Apalagi mau bekerja keras mencoba dan mau belajar terus-menerus. Sebuah foto akan dapat menjadi representasi fotografer yang menciptakannya. Sehingga lahir maestro-maestro fotografi punya ciri khas masing-masing, sehingga mengenalkan diri ke publik yang lebih luas.

I Komang Arba Wirawan,SSn._ Dosen  Fotografi, Fakultas Seni Rupa dan Desain_ Institut Seni Indonesia Denpasar_ (arba’s photography)_ Jl. Astasura I Gang Amerta 10 Denpasar Utara._mobile phone: 081338738806_E-mail: [email protected]

I Wayan Mulyana Kusuma Mengangkat Fenomena Rendahnya Pendidikan Budi Pekerti Menjadi Garapan Pakeliran

I Wayan Mulyana Kusuma Mengangkat Fenomena Rendahnya Pendidikan Budi Pekerti Menjadi Garapan Pakeliran

Salah Wadi, foto by GC

Salah Wadi, foto by GC

Dewasa ini ada kecendrungan dalang-dalang kita memainkan wayang kulit untuk menghibur ( menyajikan tontonan ) dari pada memberikan tuntunan kepada masyarakat penonton. Akibatnya masyarakat cenderung untuk datang ke pertunjukan wayang kulit untuk mendapatkan hiburan ringan,(I Wayan Dibia, “Seni Pewayangan Bali Dewasa Ini” dalam Kegiatan Program Semi-Que, 2004, p.3) maka atas dasar itulah penulis ingin menggarap pakeliran inovatif” Salah Wedi ” yang ingin menarik minat penonton untuk kembali melihat indahnya seni budaya yang tentunya akan dikemas sekian rupa agar kelihatan  menarik. Adapun beberapa aparatus yang akan dipakai ialah : kelir wayang Jawa lengkap dengan gawangnya , memakai penerangan dari LCD untuk menambah khasanah pertunjukan, menampilkan teknik permainan wayang ( tetikesan ), dengan tidak mengurangi struktur pewayangan tradisi.

Fenomena-fenomena yang sering terjadi pada jaman sekarang, yang kita jumpai juga dalam sebuah berita di majalah, koran, tv, radio, maupun siaran-siaran lainnya, yaitu banyak para orang tua tidak bertanggung jawab yang sering tidak menginginkan hasil darah daging dari mereka sendiri. Oleh karenanya banyak para orang tua sering membuang bayi mereka sendiri. Sehingga seorang anak yang lahir tanpa orang tua, mengakibatkan pendidikan budi pekerti dan mental seorang anak itu berkurang. Mengakibatkan anak itu merasa diri paling kuat, apa ia inginkan harus terpenuhi, ini dikarenakan pendidikan dari orang tua sangat penting. Dengan adanya fenomena seperti ini, penggarap ingin mentransfer ke dalam suatu pertunjukan seni pewayangan.

Kesenian wayang sangat berkaitan erat dengan kehidupan manusia karena dalam perkembangannya hidup manusia ,wayang sangat relevan dipakai sebagai  sumber penerangan dalam bertindak. Kita sebagai manusia bisa mencontoh dan bercermin pada nilai-nilai yang terkandung didalamnya baik nilai lahiriah  maupun rohaniah dari sebuah pertunjukan kesenian wayang. Wayang dipandang sebagai symbol hidup dan kehidupan manusia yang lebih bersifat rohaniah daripada lahiriah(Sri Mulyono, Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang, Sebuah Tinjauan Filosofis, diterbitkan oleh PT. Gunung Agung, Jakarta, 1983, p.15).

Masa depan seni pewayangan nampaknya perlu ditingkatkan lagi kualitasnya untuk mampu mewujudkan perannya secara maksimal sebagai salah satu pilar pertahanan serta elemen penguat kehidupan budaya Bali sebagaimana yang diharapkan oleh banyak orang. Dengan adanya pertunjukan inovasi yang evolusi pertunjukan wayang telah berkembang sedemikian rupa dengan menggunakan dukungan media elektronik, diharapkan wayang tetap eksis sejalan dengan berkembangnya zaman agar kesenian leluhur tidak punah.

Kita bisa lihat dari jenis-jenis kesenian yang ada, seni pertunjukan wayang merupakan suatu pertunjukan yang multi kompleks dan multi fungsional. Dibuktikan dengan masuknya berbagai unsur seni diantaranya : seni tari, seni suara, seni lukis, seni kria, seni musik, dan seni sastra di dalam setiap kali pertunjukannya. Sedangkan, fungsi multi fungsional yaitu sebagai sarana upacara, sebagai sumber penerangan, filsafat, pendidikan moral, serta ajaran-ajaran budi pakerti kepada para penonton. Keterkaitan antara wayang dengan upacara khususnya di pulau Bali tidak terlepas dari upaya pelestarian kesenian wayang tersebut. Hal ini tampak dalam berbagai kegiatan upacara dimana pertunjukan wayang tidak terlepas dari upacara yang berlangsung serta disesuaikan dalam fungsi dan kegunaannya. Sehubungan dengan hal tersebut di atas serta untuk melakukan suatu upaya untuk pelestarian wayang, melalui ini penggarap ingin mengambil judul ‘Salah Wedi’(Bapak I Ketut Kodi Wawancara di rumahnya (Singapadu), Senin, 19 Januari 2009) yang bersumber dari cerita  Lontar Kala Tattwa dengan cerita lahirnya Kala ke dunia yang mencari orang tuanya.

Cerita ini sebelumnya sudah pernah digarap dalam bentuk pakeliran layar lebar oleh I Gusti Putu Sudarta,SSP, MSn dengan memakai judul “Kama Salah”. Dalam kesempatan, walaupun cerita ini sudah pernah digarap, tetapi penulis akan mencoba lagi menggarap ceritanya ke dalam bentuk garapan pakeliran yang bentuk teatrikal dan penyajiannya berbeda. Istilah garapan mempunyai banyak pengertian, apalagi istilahnya juga digunakan dalam percakapan sehari-hari. Di dalam dunia pedalangan istilah garapan disamakan dengan istilah sanggit (kawi dalang) yang artinya kretivitas dalang di dalam menafsir unsur-unsur pakeliran untuk mencari kemantapan penyajiannya, yakni memakai layar atau kelir wayang Jawa lengkap dengan gawang kelirnya.

Memperhatikan perkembangan pewayangan Bali yang terjadi dalam arus global ini dimana  banyak nilai – nilai yang sarat akan makna agaknya menjadi sesuatu  yang sangat membosankan. Sebuah realita yang ada bahwa belakangan ini ( sejak awal tahun 1980-an )”dominasi” seni pewayangan terutama wayang kulit dikalangan masyarakat Bali sudah jauh berkurang. Walaupun pertunjukan wayang kulit oleh dalang – dalang tertentu masih mampu menyedot penonton dalam jumlah besar, secara umum minat masyarakat terhadap seni pertunjukan wayang kulit sudah jauh menurun.

3rd SSEASR Conference, Bali, Indonesia INAUGURAL EVENT

Wednesday June 03, 2009

Inaugural Session 8:30-09:30

Dignitaries take their position at the Stage 08:20- 08:30

Inaugural Prayer/Music 08:30 -08:35

Organising Chair, Prof  Dr.  I Wayan Rai welcome speech        08:35 -08:40

Chair, Steering Committee Prof IBG Yudha Triguna invitation speech 08:40 -08:45

IAHR( CIPSH, UNESCO) President  Prof Ms Rosalind Hackett  addresses 08:45 -08:50

SSEASR President Prof   Amarjiva Lochan speaks       08:50 -09:00

Hon’ble  Governor, Bali H.E. Mr I Mangu Pastika’s address 09:00 -09:05

Hon’ble Indian Ambassador H. E. Mr Biren Nanda’s address 09:05 -09:15

Hon’ble Culture Minister, RI, Ir. Jero Wacik inaugural speech 09:15 -09:25

Vote of Thanks and the VIP Group Photo on Stage 09:25 -09:30

Keynote Session 09:30 -10:30

Introduction of the Keynote Speaker

Prof. Wang Gungwu, Chairman, the East Asian Institute, National University of Singapore

Cultural Diffusion and Inter-Ocean Exchange: Past and Present (Chaired by Amarjiva Lochan, President, SSEASR)

Full Schedule Download in here

Pameran Lukisan “Nuansa Alam” Mahasiswa Lukis Semester 2 ISI Denpasar

Pameran Lukisan “Nuansa Alam” Mahasiswa Lukis Semester 2 ISI Denpasar

Pameran

Pameran

Alam merupakan sumber inspirasi bagi manusia dalam berkesenian. Bagaimana manusia yang jaman dulunya berusaha “mempelajari” alam dengan kontemplasi dan perenungannya, sehingga menghasilkan karya seni yang bersifat religius spiritual. Hendaknya pada jaman sekarang ini alam agar dijaga sedemikian rupa agar harmonis, dapat memberikan inspirasi berkesenian dan kesinambungan kehidupan manusia itu sendiri. Itu terungkap dalam sambutan Pembantu Rektor I ISI Denpasar Drs. I Ketut Murdana, MSn dalam pembukaan Pameran Lukisan “Nuansa Alam” oleh mahasiswa lukis semester 2 ISI Denpasar yang tergabung dalam kelompok KUAS 2008 (Komunitas Anak Seni 2008) di gedung Kriya Art Centre Denpasar. Terdapat 32 karya yang dipamerkan dalam kesempatana ini, 30 mahasiswa lukis dan 2 mahasiswa Kriya dan rencananya pameran ini akan berlangsung dari tanggal 23 Mei-6 Juni 2009. Acara tersebut dihadiri oleh dekan FSRD, Kaprodi Kriya, Cokorda Ngurah Gede Pemecutan dari Museum Sidik Jari, dosen-dosen FSRD ISI Denpasar, mahasiswa peserta pameran, pengunjung dan pengamat seni rupa. Murdana juga mengingatkan tantangan seniman saat sekarang adalah bagaimana menggali identitas diri sebagai seorang seniman akademis dengan selalu menciptakan inovasi-inovasi baru dalam berkarya. Juga pentingnya pengetahuan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) bagi seniman untuk melindungi hak dan kesejahteraannya secara hukum.

Menurut ketua Panitia Pameran I Ketut Alit Wijaya tujuan dari terselenggaranya pameran ini adalah untuk mengangkat kredibilitas seni lukis di khalayak umum, memberikan citra positif bagi kampus ISI Denpasar khususnya FSRD Jurusan Seni Lukis, mengangkat nama komunitas dan kelompok seni dan memperkuat rasa persaudaraan antar mahasiswa 2008. Harapannya ke depan adalah untuk bersama-sama berjalan melangkah ke depan dengan menghasilkan karya yang berkualitas dan bertaksu. Untuk Teknik yang dipakai pada pameran ini kebanyakan dipakai cat air, transparan, plakat, realis, tradisi modern, impressionism dan abstrak. Uniknya di bagian Kriya mahasiswa mengangkat ukiran Dayak-Kalimantan yang cukup eksotik dan menarik. Dosen pembimbing dalam kegiatan ini Drs. I Wayan Mudana. M.Par menerangkan bahwa kegiatan pameran ini merupakan hasil karya rangkaian dari mata kuliah Menggambar I dan menggambar II Jurusan Seni Lukis. Dimana mahasiswa diharapkan mampu untuk memindahkan alam ke dalam media gambarnya dengan mengasah kemampuan psikomotoriknya, sesuai dengan kurikulum berbasis kompetensi. Semoga ke depannya mahasiswa mampu mengasah kemampuan teknis, menggali potensi diri dan menambah wawasan, sehingga berimbas kepada kualitas karya mahasiswa itu sendiri.

Dekan FSRD Dra. Ni Made Rinu, MSi mengucapkan selamat dan berterima kasih terhadap pihak-pihak yang berkreja keras agar pameran ini dapat terlaksana, juga para dosen pembimbing yang telah membimbing mahasiswa sehingga dapat menyelesaikan karya sesuai dengan yang diharapkan. Dilihat dari kualitas karya sungguh mengejutkan, bagaimana tidak karya-karya mahasiswa semester 2 ini terlihat seperti karya mahasiswa semester 6. Rinu juga mengucapkan salut atas keberanian mahasiswa untuk mengadakan pameran, itu membuktikan kemauan atau keinginan mahasiswa yang kuat yang mengasah kemampuan yang didapatnya di kampus di dalam ajang pameran. Mungkin ke depannya perlu dicarikan tempat pameran yang lebih luas dengan ditambah hadirnya para kritikus seni, sehingga lebih mengasah dan menambah wawasan kemampuan mahasiswa dalam berkesenian. Sebagai jajaran struktural Rinu tidak henti-hentinya mendorong jurusan lain agar mengadakan ajang untuk mengasah kemampuan mahasiswa di luar kampus seperti pameran, workshop, seminar, dll. Sehingga mahasiswa dapat dimatangkan dengan interaksi langsung dengan masyarakat/stakeholder yang akan menggunakan jasa mereka kelak. Dengan jalan demikian mahasiswa memahami kemampuan dan potensi yang dapat mereka kembangkan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, selain menggali identitas dirinya dalam konteks penciptaan karya yang berkualitas.

Pameran ini seyogyanya dilakukan 3 bulan yang lalu namun terganjal ujian tengah semester dan rencananya kedepan akan dilaksanakan tahunan. Semoga pemeran ini menginspirasi kita semua agar mencintai alam dan memberikan respon positif bagi kemajuan ISI Denpasar.

Yudisium Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar meluluskan 47 Orang Mahasiswa

Yudisium Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar meluluskan 47 Orang Mahasiswa

img_1020

(Denpasar-humasisi) Sebanyak 47 orang mahasiswa Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar telah  diyudisium pada hari Sabtu (30 Mei 2009), yang bertempat di gedung Natya Mandala ISI Denpasar.  Acara tersebut merupakan Runtutan dari acara Ujian Akhir Mahasiswa FSP ISI Denpasar yang  sebelumnya menggelar pementasan karya tugas akhir yang bertempat di gedung Natya Mandala ISI  Denpasar dari tanggal 18 – 21 Mei 2009 bagi mahasiswa yang mengambil penciptaan, dan ujian  konprehensif pada tanggal 26 Mei 2009 bagi mahasiswa yang menempuh jalur pengkajian, dan  terakhir Yudisium yang merupakan pengumuman kelulusan para mahasiswa yang dilaksanakan pada  hari Sabtu (30/5) ini. Acara tersebut dihadiri oleh seluruh mahasiswa yang telah mengikuti Ujian  Tugas Akhir, seluruh dosen Penguji, para Pembantu Rektor, kepala Biro Akademik Institut, jajaran  struktural FSRD, seluruh Dosen dari FSRD, staf dan panitia.

Dalam kesempatan itu ketua Panitia sekaligus pembantu Dekan I FSP ISI Denpasar Ni Ketut Suryatini, S.SKar., M.Sn. menerangkan bahwa dari 47 orang para lulusan tersebut 19 orang berasal dari jurusan tari, 24 orang jurusan karawitan, dan 4 orang dari jurusan Pedalangan. Pada kesempatan tersebut Suryatini juga mengumumkan mahasiswa-mahasiswa yang memperoleh IPK tertinggi, nilai karya terbaik serta 3 besar skripsi terbaik pada Ujian Tugas Akhir semester ganjil tahun ajaran 2008/2009 ini. Adapun mahasiswa tersebut adalah, untuk IPK peringkat pertama diraih oleh I Gde Made Indra Sadguna dari Jurusan Karawitan dengan IPK akhir 3,94. Posisi kedua diraih oleh I.B. Gde Surya Peradantha dari Jurusan Tari dengan IPK 3,91 serta pada peringkat ketiga, I Wayan Mulyana jurusan Pedalangan dengan IPK 3,77.

Sedangkan untuk 10 besar penyajian karya seni terbaik diraih oleh I Gede Gusman Adhi Gunawan (Tari), I Kadek Indra Wijaya (Karawitan), Putu Tiodore Adi Bawa (Karawitan), Ni Putu Ariani (Tari), I.B. Gede Surya Peradantha (Tari), Putu Wika Setia Budi Artiningsih (Tari), I Putu Pery Prayatna (tari), I Made Mujana (Karawitan), I Kadeak Astawa (Karawitan), serta Putu Arif Mahendra (tari).

Ni Ketut Suryatini tidak bisa menyembunyikan kebanggaannya terhadap hasil yang diraih dari para lulusan yudisium sekarang ini, setelah beberapa tantangan yang dihadapi namun mereka dapat menunjukan karya terbaiknya. Terbukti dari nilai yang diperoleh dari para mahasiswa yang mengikuti yudisium yang rata-rata memuaskan.

Pendapat serupa juga diungkapkan oleh Pj. Dekan FSP ISI Denpasar I Ketut Sariada, S.ST. dalam sambutannya pada acara tersebut. Sariada sangat bangga terhadap hasil yang telah dicapai oleh para lulusan dan diharapkan dapat dipertahankan. Sehingga ketika memasuki dunia kerja karyanya dapat diterima oleh stake holder atau masyarakat yang membutuhkan karya seni. Pada kesempatan itu pula Sariada mengungkapkan rasa bangganya atas yudisium ini apalagi hasil yang telah dicapai mahasiswa yang sangat memuaskan. Pesannya agar para lulusan menjaga kualitas karyanya dengan maksimal dalam hubungannya nanti dengan masyarakat di dunia kerja nanti. Apalagi tahun 2009 ini pemerintah mencanangkan sebagai Tahun kreatif yang harus dijawab oleh para kalangan akademisi seni sebagai tantangan dalam berkesenian.

Acara tersebut diikuti dengan sangat antusias oleh para pesertanya dan diakhiri dengan acara jabat tangan antar mahasiwa dan dosen, sebagai ucapan perpisahan dan terima kasih atas bimbingannya selama ini. Sungguh mengharukan sekaligus membanggakan dan harapan untuk kelangsungan masa depan dunia kesenirupaan dan desain di bali maupun secara mengglobal.

Humas ISI Denpasar melaporkan

Loading...